Pembaca kadang penulis

Menyambut 25 Tahun Film Titanic: Mengenang Kisah Cinta yang Tak Mungkin

Didik W. Kurniawan

2 min read

Kabar tentang film karamnya kapal besar itu saya dapatkan di Youtube. Trailer film yang rilis pertama kali tahun 1998 itu cukup mengejutkan ketika saya tonton ulang beberapa waktu lalu. Saya kira semacam remake, berganti aktor dan aktrisnya. Ternyata tertulis informasi ‘remastered’ yang artinya kualitas visual audionya disesuaikan dengan teknologi kiwari.

Tak ayal memori melayang ke lebih dari dua puluh tahun silam, ketika film Titanic menjadi salah satu dari sekian film yang menemani masa-masa beranjak remaja saya.

Mungkin ini bukan tulisan tentang ulasan film. Ini adalah tentang bagaimana sebuah karya punya pengaruh terhadap manusia. Semoga begitu adanya.

Saat itu tahun 1998. Indonesia sedang berada pada masa-masa yang wingit. Gaung reformasi menggema di kota-kota besar. Terasa mencekam sekaligus membawa kabar perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik tentunya.

Namun, tidak begitu yang saya rasakan di kota Pati saat itu. Semua terasa adem ayem saja. Mungkin, karena kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah ini tidak memiliki universitas besar layaknya Semarang, Solo, atau Jogjakarta. Kondisi militer siaga ada, tapi tidak terlalu wingit. Bahkan ada kabar saat itu, bahwa banyak aparat militer yang dikirim ke beberapa kota besar yang memiliki potensi kerusuhan. Pati masih terasa baik-baik saja.

Lewat televisi tabung berwarna 14 inci merk Sony, saya menikmati apa pun acara yang disajikan. Namun yang menjadi favorit hanya ada dua: MTV dan Layar 21.

Kalau tidak salah ingat MTV (Music Television) itu bisa dinikmati di jam-jam tertentu dan berada di channel yang sama dengan ANTV. Sedang Layar 21 adalah program dari RCTI (Rajawali Citra Televisi) yang menayangkan trailer film-film yang akan tayang di bioskop.

Informasi tentang film Titanic saya dapatkan dari kedua program itu. Kabar yang cukup menyenangkan mengingat Leonardo Dicaprio, sang aktor, saat itu memang lagi naik daun. Kate Winslet juga tak kalah memikat.

Namun kesenangan itu tidak langsung terbayar tuntas. Saya harus bersabar untuk waktu yang cukup lama. Karena di kota Pati saat itu hanya tinggal satu gedung bioskop yang masih aktif: Gelora 45.

Sebelumnya ada bioskop Indra dan bioskop Delta. Kedua gedung itu sudah tidak beroperasi lagi. Bioskop Gelora 45 tidak berada dalam jaringan Cineplex 21, sehingga regulasi filmnya juga tidak stabil. Kadang ada film yang pernah tayang diulang lagi dan lagi. Lebih laku film panas-nya! Tahun 80-90an Indonesia memang masih banyak memproduksi film panas yang dibalut nuansa tragedi atau komedi. Sebab memang film seperti itu yang lebih laku.

Terhitung sekitar satu tahun, mungkin lebih, film Titanic baru tayang di kota Pati. Untungnya selama menunggu filmnya tayang, original soundtrack film Titanic, My Heart Will Go On sering diputar di MTV. Hampir setiap sore lagu itu muncul. Kehadirannya cukup mengobati kerinduan dan rasa penasaran saya pada film Titanic saat itu.

Suara Celine Dion sangat menghipnotis. Terasa sangat pas menyanyikan lagu dengan intro suara flute yang terngiang sampai detik ini.

Ketika poster film Titanic yang dilukis (di masa itu poster film bioskop semuanya dilukis dengan ukuran yang cukup besar) berada di kotak tayang, segera saya meluncur menuju gedung bioskop peninggalan pemerintah kolonial di tengah kota itu. Untuk apa lagi kalau bukan menuntaskan rasa penasaran dalam penantian yang cukup panjang.

Dan dua puluh lima tahun kemudian film ini akan kembali ke big screen. Film yang lebih mengedepankan timeless love story ketimbang cita rasa sejarahnya ini harus saya tonton lagi dengan ekspektasi sewajarnya saja. Karena jelas, meski memenangkan beberapa penghargaan, termasuk best director di Academy Award (1998) untuk James Cameron yang juga menyutradarai dua film Avatar yang ‘indah’ secara visual itu, film Titanic juga tak lepas dari kritik.

Tidak mudah memang mengemas film romantis berlatar belakang sejarah atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Pasti banyak lubang yang bisa dikritik.
Saya kira ekspektasi yang sewajarnya adalah keputusan yang tepat untuk menikmati film ‘remastered’.

Memang yang ditawarkan adalah memanjakan mata penonton dengan format 3D dan 4K. Tiga setengah jam lebih baik digunakan untuk bernostalgia saja. Menurut saya cukup seperti itu. Sambil mencari-cari rasa yang ada di dalam diri. Apakah sama rasanya menikmati film di usia menginjak remaja dan memasuki usia senja.

Film yang sama yang ditonton di usia berbeda, bagaimana rasanya? Terlepas dari teori-teori yang sudah beredar tentunya.

Lagu yang ditulis Will Jennings tahun 1997 dan diaransemen oleh James Horner itu juga masih menjadi playlist wajib putar saya. My Heart Will Go On yang juga memenangkan beberapa penghargaan. Kolaborasi antara Will Jenings yang juga menulis lagu Tears in Heaven-nya Eric Clapton dan James Horner yang banyak terlibat di film garapan James Cameron, salah satunya Avatar (2009), menghasilkan karya yang lagi-lagi menurut saya adalah masterpiece.

Sebagai penutup, kisah cinta Jack (Leonardo Dicaprio) dan Rose (Kate Winslet) dalam tragedi tenggelamnya kapal Titanic menurut saya adalah salah satu dari sekian jenis ‘kisah cinta yang tak mungkin’. Tapi, mengapa dirilis ulang? Apakah kisah cinta yang tak mungkin memang selalu menarik untuk disajikan? Bahkan setelah dua puluh lima tahun lamanya.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Didik W. Kurniawan
Didik W. Kurniawan Pembaca kadang penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email