Fajar Gilar hanya bisa mengenang kebahagiaan. Fotografer itu terpuruk atas kehilangan istri yang sangat dicintai. Dia seperti kehilangan nyawanya sendiri. Setiap hari, dia habiskan hanya dengan menenggak miras dan berandai-andai. Bagaimana kalau dia bisa memutar waktu dan memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu? Apakah dia harus mati dulu? Agar bisa kembali bersama dengan Purnama Teduh?
Rumah tangga Fajar Gilar dan Purnama Teduh telah diujung tanduk. Setiap hari, hanya ada pertengkaran. Atau justru saling diam. Perbedaan prinsip seperti tak pernah habis untuk dipantik dan tak pernah terselesaikan. Akar masalahnya, Purnama Teduh merasa bersalah telah memutuskan pergi diam-diam dari Sebrang Kulon dan tinggal bersama Fajar di Jakarta. Dia merasa bodoh sempat dibutakan cinta dan berani mengkhianati bapaknya. Sedangkan Fajar Gilar tetap mempertahankan egonya sebagai imam keluarga. Dia punya karir, dia punya mimpi-mimpi yang harus diraih, bukan terkurung selamanya di Sebrang Kulon. Lagipula dari awal Purnama Teduh sudah sepakat. Dia akan ikut keputusan suaminya.
Puncak kehancuran rumah tangga mereka terjadi saat kabar dukun baru Tengger telah melenyapkan kehidupan duniawinya. Dukun itu melepas jiwanya untuk dibilas di kawah gunung Bromo karena merasa berdosa memiliki putri seperti Purnama Teduh!
***
Fajar Gilar bertemu dengan Purnama Teduh saat dia mendapat job sebagai fotografer di upacara kosodoan di desa Sebrang Kulon. Malam itu, kamera Fajar Gilar seolah menemukan cahaya paling indah melebihi cahaya bulan. Dan tanpa sadar, dia membidik Purnama Teduh berkali-kali dengan kameranya. Malam itu, dia jatuh hati. Fajar pun nekat mendekati diam-diam Purnama Teduh. Segala cara dia lakukan untuk mendekati gadis ayu itu. Gayung bersambut, ternyata Purnama Teduh pun memiliki rasa yang sama. Mereka diam-diam berjanji selalu bertemu di hutan pinus tiap senja sedang merah-merahnya. Namun, rahasia itu akhirnya terendus juga. Sebagai dukun adat, Bapak mengundang Fajar Gilar ke rumahnya. Dia ingin Fajar Gilar datang secara baik-baik. Tidak sembunyi-sembunyi.
Kebijaksanaan Bapak sebagai dukun adat membuat Fajar Gilar memberanikan diri mengutarakan perasaannya kepada Purnama Teduh. Dan tak Fajar Gilar sangka, Bapak Purnama Teduh merestui dan berbaik hati menerimanya dengan syarat harus mengikuti adat Sebrang Kulon.
Fajar Gilar pun pulang ke Jakarta untuk membawa keluarganya melamar Purnama Teduh. Syarat-syarat untuk upacara adat pernikahan suku Tengger dipenuhi tanpa kurang. Bahkan, Fajar Gilar juga menyanggupi bahwa suami harus ikut istri hidup di kampung setelah menikah. Namun, setelah beberapa lama menikah, Fajar Gilar mulai tidak tahan dengan kehidupan barunya. Dia tidak suka menjadi petani. Dia masih ingin mengejar karier, dan rindu kegemerlapan ibu kota. Akhirnya dia mengusulkan kepada Purnama Teduh untuk kabur diam-diam dari Sebrang Kulon ke Jakarta. Dia berpikir bahwa sebagai imam rumah tangga, dia berhak membawa istrinya. Dan dengan mengatasnamakan cinta, Purnama Teduh pun memutuskan memilih Fajar Gilar dibanding bapak dan adatnya.
***
Awal tragedi hidup Fajar Gilar dimulai saat dia menerima kerjaan dari redaksi untuk memotret keeksotisan budaya Tengger di malam Kasada. Tak tanggung-tanggung, sejak H-4 dari hari yang sudah ditetapkan dukun adat di Bromo, Fajar Gilar telah memulai perjalanan. Berkali-kali lensanya membidik dengan nafsu dan rasa ingin tahu. Matanya tak bisa lepas dari dukun adat yang sedang mengadakan japa mantra untuk sesajen-sesajen yang akan dilabuhkan di kawah gunung Bromo.
Malamnya, bulan purnama menyinari segara wedhi. Prosesi pelabuhan ongkek pun segera dimulai. Dengan berjalan menembus gigil, kabut pekat, semua warga Tengger beriringan naik menuju penanjakan kawah gunung bromo. Ongkek yang telah dimantra, dipanggul dengan khidmat, merelakan sebagian harta yang dipunya untuk diikhlaskan membaur bersama alam. Mata Fajar Gilar mengerjap, melihat hasil jepretan lensanya yang selalu tertuju pada sesosok gadis ayu berambut panjang dengan gaun sederhana warna putih. Purnama Teduh telah mencuri hatinya. Mulutnya terus berucap takjub, menyaksikan maha karya Tuhan yang begitu terlihat sempurna. Hingga, rencana untuk lebih mengenal Purnama Teduh pun menguasai jiwa. Ya, Malam itu juga, Fajar Gilar akan mencari rumahnya!
Setelah berhasil menemukan rumah Purnama Teduh, Fajar Gilar disambut baik. Dia dipersilakan duduk bersama Bapak, sang dukun adat baru, Ibu, dan Purnama Teduh yang menunduk. Bapak Purnama Teduh meminta tangan Fajar Gilar. Fajar memberikan tangannya meski sedikit ragu. Setelah tangan dukun adat itu menyentuh telapak tangan Fajar Gilar, kepingan-kepingan kejadian yang belum pernah terjadi di hari-hari esok seolah berputar. Perceraian, kematian bapak Purnama Teduh, kehilangan, keputusasaan setelah perpisahan, semua begitu detail dirasakan Fajar Gilar! Semuanya terasa sangat nyata!
Setelah tangannya dilepaskan oleh dukun adat, Fajar Gilar terus bertanya-tanya. Apakah ini ramalan pahit masa depannya, jika dia nekat mendekati Purnama Teduh si Gadis Tengger?!
***
Editor: Ghufroni An’ars