Silet yang terselip di antara telunjuk dan jari tengah Mbah Yuk itu berkarat. Sebelum kain hitam dililitkan untuk melapisi matanya, Layla sempat melihat benda tajam tersebut. Berkat penerangan remang-remang dari sebatang lilin yang berdiri lesu di nakas, dia berani bersumpah masih ada noda darah kering yang membasahi ujung silet.
Ketika setengah tubuh Mbah Yuk mulai menyusup masuk ke dalam sarungnya, Layla mengatupkan kakinya rapat-rapat.
“Tolong disterilkan dulu pisaunya. Ndak sehat,” protesnya sia-sia. Tiada yang mendengar.
Ketakutan Layla hanya disahuti oleh desisan Mbah Yuk. “Ssst, diam, Nduk.”
Kaki Layla menendang-nendang liar. Lek Sumantri sampai harus menahan erat kedua pergelangan kaki Layla supaya tetap terbuka lebar. Seperti orang kerasukan yang terjebak dalam fase majnun, Layla meraung-raung histeris. “Lek, keluar!” jerit Layla pada Lek Sumantri, lelaki paruh baya berkulit keriput yang mengangkangkan kakinya. “Anda kan laki-laki. Saya mohon keluar!”
Layla menoleh ke Bidan Hanun yang duduk membatu di tepi ranjang, berusaha meminta pertolongan. Namun, Bidan Hanun memalingkan wajahnya ke selembar kertas di pangkuannya sendiri. Matanya pura-pura sibuk membaca dokumen yang nantinya akan ia goresi dengan dusta.
Tiada seorang pun di ruang praktik bernuansa kuning remang itu yang sudi mendengar. Mereka semua tuli. Mbah Yuk, yang sedang kembali berusaha menyusup masuk ke celah di antara kedua kaki Layla, sudah berusia nyaris tiga per empat abad. Mungkin gendang pendengaran di ujung telinga keriputnya memang sudah tersumpal kotoran-kotoran yang menggumpal sejak zaman kolonial. Namun, Lek Sumantri dan Bidan Hanun belum begitu tua. Telinga mereka masih kemerahan, tapi agaknya mereka berperan jadi orang tuli hari ini.
Sewaktu Mbah Yuk menempatkan diri di antara selangkangan Layla yang diregangkan, mata Layla terpejam erat. Bulir-bulir air mata timbul di kedua ujung mata Layla. Aliran air matanya tidak mengalir deras hingga menyentuh dagu. Ia sesaat terhenti seakan-akan angin mencekal bulir-bulir tersebut tepat ketika mata silet berkarat itu menyayat lapisan daging di puncak kelaminnya. Tiada jeritan yang lolos dari mulutnya. Kelak orang-orang di desa menceritakan bahwa Layla Azizah bin Sulaeman membisu sehening putra-putra Hamengkubuwono yang melangkah mengelilingi benteng keraton pada epilog warsa Muharram.
***
Sepasang kuda sehat berbahu tegak dan kebun cabai merah yang terhampar di kaki gunung itu adalah mas kawin yang ditawarkan Mardi. Dalam bahasa Layla sendiri, ia menyebutnya sebagai harga atas dirinya yang akan dibayarkan Mardi kepada Bapak dan Ibu bila dia setuju dipinang.
Layla beberapa kali lancang melirik kedua kuda muda berkaki ramping yang terikat di pohon sirsak di pembatas halaman. Setelah tiga lirikan menelisik, akhirnya Ibu yang duduk di samping Layla diam-diam langsung menghadiahi kekurangajaran putri sulungnya dengan cubitan kuat di pinggang. Setelahnya, Layla tidak berani menoleh lagi, berusaha menjaga kepalanya agar tetap setegak leher kuda pacuan. Namun, dalam tiga curi-curi pandang tersebut, Layla sekilas menangkap mata belok kedua kuda yang berbinar-binar seolah-olah bersimbah air mata kesedihan. Kedua kuda itu berbulu kelabu mengilap seperti perak. Jelas mereka diberi perawatan terbaik. Menurut dugaan Layla, mungkin keluarga Mardi memperlakukan mereka layaknya mesin pencetak uang yang dipaksa berkeliling di atas aspal panas perkotaan, mengangkut sekumpulan manusia berbobot ratusan kilo dengan dandanan konyol.
Itulah yang ditawarkan Mardi kepada keluarga Sulaeman. Selaku kepala keluarga sekaligus ayah yang sudah mulai mencemaskan nasib putrinya sebagai perawan tua, Bapak menyambut mas kawin Mardi dengan tangan yang terentang lebar. Siap merengkuh apa pun yang dilemparkan lelaki itu ke halaman rumahnya. Sepanjang acara kunjungan Mardi yang mendadak, menyambangi kediaman Sulaeman di tepi hutan, para perempuan mengatupkan erat-erat mulut mereka. Di antara Ibu, Layla, dan Rohaya—ibunda Mardi—tidak ada yang berani menyela pembicaraan kaum lelaki. Mereka bertiga duduk manis dengan kaki terlipat rapat di lincak. Sesekali Ibu beranjak ke dapur dan kembali lagi sembari membawa nampan yang menjunjung seikat slondok serta enam gelas teh manis.
“Tiga tahun enam bulan, Pakdhe,” ujar Mardi sesumbar. “Di angkatan saya, saya termasuk cepat merampungkan kuliah bisnis.”
Kelima jari Mardi menyugar rambut hitamnya yang disisir klimis ke belakang. Rupanya kuliah bisnisnya selama tiga tahun di kota lebih mendidiknya sebagai pria metroseksual daripada seorang pebisnis andal. Penampilan Mardi serupa pemuda desa kaya yang salah pergaulan. Kemeja polo berkerah yang tidak dikancingkan dan celana jins tampak gemerlap di atas kulit cokelat lusuhnya.
Ayah Mardi, seorang pria gempal berkepala plontos dengan kulit lembut kemerah-merahan yang biasa dipanggil Bos Yudi, menepuk pundak putra termudanya. Ia berkata. “Mardi ini gesit sekali. Dia sudah mendirikan warung ayam geprek di kota. Bersama Mardi, nafkah untuk anakmu terjamin.”
Sekilas Layla melihat telapak tangan Bos Yudi yang bundar berlemak itu berkilau akibat bilasan keringat. Pertanda tubuh Bos Yudi dijangkiti lemak berlebih atau mungkin dalam skenario terburuk bisa jadi tumor.
Sulaeman mengangguk-angguk, berpura-pura menimbang tawaran tersebut. Apa gunanya menipu diri sendiri, Pak? Tiada gunanya. Setiap ayah yang mengepalai rumah tangga di seluruh pelosok desa ini tidak pernah ragu memperdagangkan putrinya di altar pernikahan asalkan bayarannya bagus. Tunggu apa lagi, Pak?
Kedua mata Sulaeman terpejam erat. Jika dia mampu mendapatkan lebih dari kebun cabai dan sepasang kuda yang sesungguhnya takkan bisa ia beli dengan bulir-bulir keringatnya sendiri, mengapa harus sungkan? Pandangan Sulaeman mengerling sepasang kuda yang terikat di pohon. Dipujinya kuda itu.
“Kuda ya? Kelihatannya sehat. Warnanya bagus.”
Bos Yudi dan Mardi bertukar pandang sesaat. Berkat ikatan batin ayah-anak yang menjalin benak keduanya, mereka langsung memahami apa maksud Sulaeman. Tawa Bos Yudi meledak. Derai tawanya begitu membahana di antara dedaunan beringin rimbun yang memagari hutan, sampai-sampai kawanan bebek piaraan keluarga Sulaeman yang sedang mematuk-matuk tanah lari terbirit-birit mendengarnya. Jemari Bos Yudi yang lonjong seperti gulungan sosis gemuk, memukuli dadanya sendiri. Berjuang meredam tawa.
“Lebih dari itu, Sul. Esok, setelah anak kita menikah, kamu akan memiliki kandang besar berisi kuda putihmu sendiri. Bahkan kalau kamu mau, keluargamu bisa jadi peternak kuda.”
Mardi mengiyakan. “Iya, Pakdhe. Andong-andong kepunyaan Pakdhe akan jadi primadona turis-turis di Tugu.” Telunjuk Mardi menunjuk kedua kuda berbulu putih yang kini sedang meringkik girang. “Siapa yang tidak tertarik menunggangi kereta kencana yang ditarik kuda berwarna putih murni yang cantik seperti itu?”
Tanpa memandang Layla sedikit pun, Mardi berkelakar. “Bahkan kalau kamu mau, Layla, besok kita boleh-boleh saja digiring andong kuda putih ke altar pernikahan. Seperti putri-putri kerajaan di cerita barat. Itu impian semua perempuan, kan?”
Tangan Layla terkepal erat. Ujung roknya terpilin kusut di dalam genggaman. Dihirupnya udara sebanyak yang ia bisa, lalu dalam satu embusan napas, segala kelancangan serta amarah yang sedari tadi menggelegak di ulu hatinya menyembur.
“Sekadar informasi buat Mas Mardi dan Pakdhe Yudhi, jika ada seekor kuda yang berwarna putih sempurna, itu artinya dia terjangkit sindrom Lethal White, suatu kondisi di mana anak kuda terlahir dengan usus rusak. Kuda putih akan mati beberapa hari setelah ia dilahirkan.”
Layla melompat meninggalkan lincak. Dia berlari menghampiri kedua kuda.
“Mereka ini…” Layla membelai leher kuda betina yang sekarang menggosokkan kepala kokohnya. Ia menyibakkan bulu si kuda, menampilkan sepetak kulit leher keabu-abuan yang dihiasi totol-totol hitam samar, “…berwarna kelabu!”
***
Pagi ini, di dalam kamar pengantin yang berbanjir cahaya putih dari bohlam lampu baru, Layla bersitatap dengan si iblis jalang yang berlenggak-lenggok di cermin. Tubuhnya terbalut kebaya brokat putih berpotongan rendah yang menampilkan kulit leher serta pundak kuning langsat yang bertabur bedak. Lehernya begitu terbuka. Seluruh helai rambut hitamnya yang semalam sebelumnya dibaluri minyak kemiri, kini terangkum rapi dalam gelungan sanggul kencang yang membuat keningnya terlihat kian tinggi.
Layla hampir tak mengenali iblis itu. Wajah si iblis yang serupa persis dengannya terlihat lebih pucat, tertimbun lapisan bedak tebal. Pipinya merona-rona kemerahan, begitupula bibirnya yang tampak bak rekahan kelopak mawar di musim semi. Berkat polesan arang, alisnya yang biasanya hanya mendatar tipis, sekarang melengkung tebal dan dengan apik membingkai matanya.
Layla mengintip secarik langit yang terbingkai oleh jendelanya. Ceruk antara dua pegunungan landai di utara sana masih gelap gulita. Mentari bahkan belum memulai pendakiannya. Layla berharap matahari selamanya tertidur di balik raga kedua gunung, membiarkan desanya diselimuti kegelapan yang tak berkesudahan. Pasalnya, jika mentari terbit, itu artinya si iblis di hadapan Layla ini harus segera menikahi Mardi. Layla cemas bila setelah ijab diucap, iblis itu akan lari meninggalkan suaminya dan membiarkan marganya diludahi warga seribu kali.
“Melihat anak perempuannya menikah adalah kebahagiaan terbesar seorang ibu,” celetuk Ibu dari belakang pundak Layla. Sejenak ia mengagumi hasil riasannya di cermin.
Layla bertanya. “Bagaimana dengan kelahirannya?” Tenggorokan Layla terasa pahit bagai menelan biji pala ketika melontarkan pertanyaan.
Entah karena semu pantulan lampu bohlam yang terlampau benderang atau memang reaksi alami, wajah Ibu memucat. Rohnya seakan pergi meninggalkannya. Suara Ibu kedengaran serak, Layla hampir merasa asing mendengarnya. “Menyakitkan. Memalukan,” gumam Ibu parau. “Bayi perempuan terlahir berbilas darah dosa dagingnya sendiri, yang dicurahkan Siti Hawa sejak ia melahap buah khuldi. Perempuan terlahir sebagai dosa. Jika jabang bayi yang dikandungnya juga perempuan, maka dia akan melahirkan segumpal dosa pula.”
Layla terkesiap, nyaris menyerupai isakan.
Ibu menyambung. Suaranya melembut, kembali pada tutur kata yang mendayu-dayu. “Namun, betapa beruntungnya kita sebagai kaum perempuan. Dunia memberi kita kesempatan untuk menebus dosa asal. Setelah persunatanmu yang silam,” jemari Ibu membelai sisi wajah Layla, “sengkala sundal dalam diri kita telah dijinakkan. Maka kita dilimpahi kehormatan sebagai istri yang berbakti bagi suami kita.”
“Kalau nyatanya saya tidak sanggup melayani Mas Mardi dengan baik?”
Seolah bermonolog, mata segelap buah badam Ibu memandang lurus ke kaca. Ibu menegaskan. “Ya pasti bisa, Nduk!”
“Kamu sudah disunat. Kamu jinak sekarang. Menikahi Mardi dan berbakti kepadanya adalah tebusan atas dosa asal perempuan,” tandasnya. “Mbah Yuk belum pernah gagal menjinakkan sengkala jahat dalam tubuh perempuan.”
Seandainya Ibu tahu, setelah genap setengah abad lamanya Mbah Yuk mengadakan praktik sunatnya di desa, baru tahun ini upacara yang dia kerjakan menghasilkan produk gagal. Iblis binal sudah terlalu kuat bercokol di raga Layla hingga mustahil diusir. Layla sadar. Dirinya tidak dirasuki iblis manapun. Layla sendirilah sang iblis jalang yang hasratnya tak berambang. Setengah mati ingin terbang meninggalkan cangkang. Tiada dukun sakti dari seluruh penjuru pertapaan desa yang mampu menjinakkannya.
“Ndak, Bu. Ndak!” bentak Layla. Bukan kepada Ibu, melainkan kepada nasib. “Saya terberkati sejak lahir karena saya ditakdirkan untuk menjadi seorang perempuan!” Layla berlari menjauhi Ibu yang jatuh bersimpuh sembari mengelus-elus dada, kaget setengah mati.
Tanpa memedulikan Ibu, Layla bergegas keluar. Sebelum membanting pintu rumah sampai tertutup, ia berseru. “Dan saya akan menggunakan berkat itu untuk menolak pinangan dari lelaki yang bahkan tidak saya cintai!”
Lantas, Layla terus berlari meninggalkan bayang-bayang rumah yang makin mengecil di belakang punggungnya. Selagi kakinya melangkah tergesa-gesa dalam lilitan erat kain batik di pinggul, Layla menarik selinting tembakau beserta korek gas yang selalu ia sembunyikan di lipatan pakaiannya. Begitu tiba di jalan setapak di tepi hutan yang berbatasan langsung dengan jajaran rapat pepohonan beringin yang membentuk pagar rindang, Layla memelankan langkahnya.
Api dari korek menyulut ujung lintingan tembakau. Dia menjepit bagian padam tembakau di antara bibirnya yang berpoles gincu. Dalam-dalam diisapnya asap beraroma harum itu untuk menghangatkan paru-paru, lalu diembuskannya segumpal asap kelabu ke udara. Tanpa halangan berarti, asap itu meliuk-liuk seperti gerakan gemulai seorang penari. Melayang-layang bersama hawa dingin subuh. Terbang sebebas burung yang mengejar udara.
“Mungkin,” batin Layla, “jauh lebih beruntung dilahirkan sebagai asap bakaran tembakau ketimbang terlahir dalam raga perempuan. Setidaknya asap bebas menentukan ke mana ia akan pergi, entah mengikuti arus angin atau berpadu dengan kabut.”
***
Editor: Ghufroni An’ars