Prinsip

Christiaan

3 min read

Apa pentingnya prinsip hidup bagi orang seperti saya. Saya hidup untuk mengisi perut saya, juga perut adik-adik saya. Agar kami tak kelaparan. Kalau kami tak kelaparan, kami dapat terus hidup. Kalau ini dapat dikatakan sebagai prinsip, maka inilah prinsip hidup saya.

Sedangkan yang dikatakan Abdul pada saya adalah semacam memelihara prinsip, tapi dengan begitu saya mesti menahan lapar dan tak bisa memberi makan adik-adik saya. Rasanya itu seperti saya mengabdi pada seseorang dan bersedia mati untuknya, sementara orang tersebut tak sedikitpun memedulikan saya.

Bagi saya itu bukan prinsip. Itu lebih mirip sikap seseorang yang merasa kesepian seumur hidup, lantas menyerahkan diri pada kematian. Tapi saya tak sekali-kali akan melakukannya. Saya tak pernah kesepian. Dan saya memilih menyerahkan diri pada kehidupan.

***

“Tinggal di rumah sanak famili di perantauan tak ubahnya hidup sebagai terhukum. Dipandang sebelah mata, dinilai dengan gampangan, seakan kehilangan harkat sebagai manusia.”

Itu yang selalu dikatakan Abdul kepada saya. Dia merantau ke kota ini untuk belajar di universitas. Orangtua Abdul di kampung sederhana saja hidupnya. Maka adalah berkah kalau kebetulan ada kerabat yang sudi menampung Abdul di perantauan. Tentu akan sangat meringankan beban orangtuanya di kampung, sebab tak perlu bersusah pikir keluar duit untuk biaya tempat tinggal Abdul di rantaunya.

Pun Abdul merasa tidak keberatan atau canggung tinggal di rumah kerabatnya, lebih tepatnya kerabat jauh, pamannya dari pihak ibunya. Dari awal Abdul juga memahami betul situasi Ibu-bapaknya. Dari keluarga macam apa dia berasal.

Selaras dengan orangtuanya, Abdul juga merasa beruntung pamannya mau menampung dia di rumahnya yang tergolong besar dan mewah ini. Tempat saya telah bekerja selama setahun terakhir sebagai tukang kebun.

Jabatannya saja tukang kebun, sehari-harinya sering pula saya disuruh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tak ada kaitannya dengan kebun. Membersihkan kolam ikan, membetulkan genteng, menyapu kamar tidur Paman Abdul jika Kak Tina datang terlambat, atau menanak nasi kalau Kak Sari turut datang terlambat. Kadang saya merasakan ini sebagai sebentuk kesewenangan, tapi mau tak mau, suka tak suka saya kerjakan juga pada akhirnya. Saya belum tahu ke mana harus mencari penghidupan kalau saya didepak dari rumah ini.

Beberapa bulan belakangan pekerjaan-pekerjaan itu sudah jarang saya kerjakan. Kini ada Abdul yang mengerjakannya. Awalnya saya merasa enggan melihat dia melakukan pekerjaan itu karena saya kira dia keponakan majikan saya. Masak iya disuruh kerja-kerja babu seperti itu. Saya lantas berkata pada Abdul agar pekerjaan itu ditinggalkannya, dan biar saya saja yang mengerjakannya. Tapi Abdul berkilah dan tetap melakukan pekerjaan itu.

Saya pun hampir tak pernah lagi mendapat perintah menyapu kamar tidur Paman Abdul. Tidak juga menanak nasi. Kalau Kak Tina dan Kak Sari datang kesiangan, pasti Abdul yang jadi pelaksana perintah itu. Saya, hanya mengurusi taman saja dan sesekali membersihkan kolam ikan. Bahkan tak jarang pula Abdul tiba-tiba menghampiri lalu ikut membersihkan kolam ikan. Saya kembali merasa tak enak dan menawarkan pada Abdul agar dia masuk saja ke rumah. Membaca, belajar, atau apalah. Bukankah itu tugas seorang mahasiswa? Lagi-lagi Abdul hanya berkilah, tapi kali ini agak lain. Dari taman depan rumah, Abdul sekilas melirik ke belakang ke arah rumah. Lalu dengan setengah suara dia mulai berkata pada saya.

“Kau kira aku suka melakukan pekerjaan ini? Aku punya banyak pekerjaan. Tugas-tugas kuliahku belum juga selesai aku kerjakan.” Sebentar-sebentar dia melirik lagi ke arah rumah.

“Di sini aku seperti budak saja. Tak dihargai. Seolah dia sengaja ingin membentuk mentalku menjadi mental kacung.”

Sejenak saya tertegun. Apa yang dimaksud oleh Abdul dengan mental kacung? Apakah seperti mental saya? Tapi saya kesampingkan pertanyaan itu, dan beralih ke permasalahan Abdul. Kenapa dia menggerutu seperti itu?

Abdul menceritakan semua keluhnya pada saya. Dia mengatakan bahwa dia sudah tak tahan tinggal di rumah mewah ini. Dia bahkan tak bisa optimal belajar. Setiap saat hanya disuruh-suruh saja seperti pembantu. Dia juga mengatakan pada saya bahwa dia telah membicarakan ini pada orangtuanya di kampung.

“Bapak dan ibuku di kampung sudah setuju.” Berkata Abdul kepada saya.

“Bahkan mereka juga merasakan kemarahan setelah aku ceritakan semuanya. Mereka setuju kalau aku keluar dari rumah ini. Nanti aku akan pergi mencari kos-kosan,” lanjut Abdul.

Saya hanya mengangguk. Itu adalah terakhir kalinya kami bekerja bersama-sama di rumah Paman Abdul.

***

Saya tertegun ketika melihat sesosok pria duduk tertunduk di pelataran bangunan peninggalan kolonial itu. Sengaja saya pelankan laju sepeda motor untuk memastikan wajah itu. Wajah saya semringah setelah yakin bahwa dia adalah Abdul. Dua tahun sudah saya tak bertemu dengannya. Kenapa dia tak meninggalkan sepatah pun kata saat meninggalkan rumah pamannya?

Saya menepi. Tepat di depan rambu bertuliskan huruf P yang dicoret. Abdul mendongak, menyadari kehadiran saya. Seketika tawa kami beradu sebagai reaksi atas pertemuan tak diduga-duga itu.

Kepada Abdul saya bercerita bahwa saya masih bekerja di rumah pamannya. Saya melintas dari jalan ini hendak menjemput adik perempuan saya dari rumah temannya. Abdul menyimak dengan senyum yang tak kunjung lepas dari wajahnya. Dia tak menyangka bertemu saya lagi. Abdul balas bercerita cukup panjang setelah saya menanyakan apakah kuliahnya sudah selesai.

“Aku menunda perkuliahan untuk satu tahun ini. Aku mau coba cari kerja dulu. Ibu tak sanggup lagi mengirimkan uang kuliah dan biaya hidupku sehari-hari.”

Saya mendengarkan dengan masygul. Selintas saya curiga kenapa cuma ibunya yang dia sebutkan. Tapi dia sudah memberi jawab sebelum saya menanyakannya.

“Bapak meninggal tak lama setelah aku keluar dari rumah Paman. Jatuh saat bekerja membangun rumah berlantai tiga. Hampir setiap malam Ibu menangis.”

Abdul menepuk pundak saya. Saya tersenyum getir. Harusnya saya yang melakukannya.

Saya lalu bertanya kenapa Abdul tidak kembali ke rumah pamannya. Di sana dia tak perlu keluar uang untuk biaya hidup sehari-hari. Untuk uang kuliah, ibunya mungkin bisa menalangi. Abdul berkata bahwa dia tidak mungkin kembali. Atau lebih tepatnya, Abdul menolak untuk kembali.

“Kau lihat sendiri. Aku diperlakukan tidak baik di rumah itu. Dan aku tidak akan membiarkan diriku diperlakukan tidak baik hanya untuk memperoleh sesuatu. Sama saja artinya melacurkan diri.”

“Hidup harus punya prinsip. Dan kita harus berani bertindak demi mempertahankan prinsip,” kata Abdul.

Dia juga berkata agar saya turut belajar menumbuhkan dan memelihara prinsip. Abdul menyarankan agar saya meninggalkan rumah pamannya dan mencari pekerjaan yang lebih layak dan manusiawi. Saya mengiyakan, tapi dalam hati saya sama sekali tidak tertarik dengan saran Abdul itu.

Abdul dan saya berjabat tangan erat sebagai tanda perpisahan. Saya meminta maaf tidak bisa mengantarnya ke kos-kosannya karena saya harus segera menjemput adik perempuan saya.

Saya berjalan menghampiri sepeda motor. Saya sempatkan melirik ke belakang sekali lagi. Abdul kembali duduk tertunduk. Sekali lagi, di pelataran bangunan peninggalan kolonial yang konon dihuni oleh arwah sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda dengan senyuman yang menawan.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Christiaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email