Gugur gerimis menyentuh-nyentuh biru bola mata Nun yang sedang tenggelam dalam pelukan Alif. Di bawah rimbun pohon cengkih, berdiri Bai Guna—sang dukun sakti dari bukit Tobona—di antara harapan dan keputusasaan.
Kenyataan melesat perlahan melalui kicau burung Kasturi yang bergelayut turun bersama kabut tipis dari lereng-lereng gelap gunung Gamalama, sehingga kegagapan yang tengah dihadapi Alif memberinya gigil yang sempurna. Gigil yang mengatasi gusar di hatinya.
“Kawinkan aku dengan mayat ini, Bai Guna,” pinta Alif.
Namun, Bai Guna belum penuh jiwanya untuk memutuskan, karena tak ada mantra yang bisa ia pikirkan matang-matang untuk menikahkan manusia dengan kematian—saat waktu membeku di tubuh Nun, bersama telunjuknya.
Telunjuk Nun membentuk sebuah penanda yang mengarah lurus ke tengah samudera, ke tengah laut, ke tepi pantai, ke pesisir pulau itu. Di sana, perahu-perahu tersesat—perahu-perahu yang membawa sosok-sosok yang belum dikenali oleh orang-orang di pulau Gapi, sosok-sosok yang entah dari mana—tergeletak bersama perahu-perahu yang koyak dihantam badai laut Arafura. Diam. Membisu.
***
Beribu-ribu purnama sebelum jarum kompas mengarahkan tahun-tahun masehi menggaris jalur sutra. Malam itu, angin bertiup pelan menerpa lidah api di pucuk pelita, di bukit Tobona. Nyala itu menggantung di depan rumah-rumah beratapkan rumbia.
Alif bersandar di bahu pintu, menunggu—menyaksikan anak-anak dituntun menuju rumah obat milik kepala marga bukit Tobona.
Sebuah ritual akan dilaksanakan untuk mensyukuri musim panen cengkih. Alif sebenarnya kelelahan setelah seharian mengangkut karung-karung cengkih, tetapi malam itu adalah pengecualian, bagi Alif dan semua orang di bukit itu.
Tifa dan gong ditabuh, para tetua telah duduk memanjatkan doa-doa untuk Diki Amoi, syair-syair dan kidung pun didendangkan. Alif melangkah malas menuju kerumunan kecil yang sedang terbentuk di depan rumah obat. Harum bunga gambir menguar begitu saja di udara ketika Bai Guna—perempuan sakti pelindung bukit Tobona—menghentikan langkah kecilnya di ujung tangga.
“Bidadari lagi!” pikir Alif, sebelum ia duduk di bagian paling belakang kerumunan itu.
“Pergilah sebelum Diki Amoi memarahimu, Alif,” ujar Bai Guna.
Sebagaimana para perempuan sakti di tiga bukit lain pulau Gapi—mereka para dukun sakti—selain bisa menyembuhkan, mudah sekali membaca laku dan tingkah macam itu. Sebagai penakluk cengkih Afo—pohon cengkih terbesar di pulau itu—Alif memang terkenal di seantero pulau Gapi, dan Bai Guna menghargainya.
Orang-orang menunduk, berbaris sejajar di saat bulan terik membasuh kepala-kepala mereka yang sedang menunggu Bai Guna bersenandung. Dari kejauhan dekut burung Nuri berhenti perlahan untuk sebuah alasan, suara Bai Guna terdengar:
Akan turun para bidadari untuk mandi di Telaga Santosa…
Saat cahaya matahari terhalangi lingkar cincin bulan…
remang, gelap, tak ada hujan…
Para bidadari akan turun dari langit…
Di Telaga Santosa, mereka akan melepas selendang emasnya…
Pulau ini adalah pulau yang diberkati Diki Amoi, sang pemilik langit…
dengarkanlah peringatan ini… siapapun yang melihat mereka… kuperingatkan!
Putus-putus. Senandung cerita itu putus-putus di telinga Alif yang diam-diam mundur menjauhi kerumunan. Alif memang menyimpan riak kesumat pada apa pun yang dikatakan Bai Guna tentang bidadari. Sudah delapan purnama ia menunggu di tepi Telaga Santosa dan tak pernah melihat apa pun kecuali sepasang bola mata kuso dan kumpulan kodok kawin. Sesungguhnya dongeng tentang para bidadari itu pernah ia dengar sewaktu masih seumur pohon pala muda.
Tete Pala—tetuah bukit Tobona yang memeliharanya sejak kecil akan menceritakan perihal bidadari turun mandi sebelum ia terlelap tidur. Dan penyakit yoyoga yang dialami Tete Pala menjadi alasan, kenapa kini, meskipun berpuluh purnama berlalu, Alif masih saja menunggu di tepi telaga Santosa, sekadar membuktikan kepada Bai Guna bahwa kakeknya tidak sakit.
Tete Pala mungkin menaruh hati pada salah satu bidadari itu. Sebagaimana pernah ia ceritakan kepada Alif. Dan entah apa yang terjadi setelah peristiwa itu, kakeknya terbiasa bicara sendiri: pada pohon, pada lantai di gubuk, pada jendela dan pintu dengan menggumamkan kemarahan yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
saharnawi…
saharnawi…
aku mencintainya dan dia mencintaiku…
Kepada angin bisu di bukit Tobona, Alif mengenang kisah gelap itu; membuat orang-orang merahasiakan kejadian yang menimpa salah satu tetua paling dihormati di bukit Tobona.
Apa yang di percaya oleh kebanyakan orang adalah bahwa jika seseorang terjangkit yoyoga berarti ia pernah melihat para makhluk gaib, indah nan halus itu—jatuh cinta pada mereka, dan…
jika kewarasan membuatmu mencintai manusia, aku telah melampauinya; aku mencintai bidadari, cucuku! aku lebih waras dari manusia….
Aib itulah yang dibawa kakeknya sebelum jadi mendiang.
Alif mengelus dadanya, menggerutu rahangnya sesekali, sehingga parang yang dipegangnya terasa demikian ringan.
Alif masuk ke dalam hutan sambil menendang ranting-ranting basah. Ia tebas alang-alang dan juga pekik api ingatan yang membakar rasa penasarannya agar tersingkir dari jalanan hutan berkerikil tajam, turun dari bukit Tobona menuju gubuk kecil yang menunggunya di tepi telaga Santosa.
Tekad Alif sebulat lingkar bulan di atas kepalanya. Tak ada awan yang mengganggu pandangannya. Hanya sepoi angin yang menyentuh lutut dan telapak kakinya. Hingga lelah— Alif akhirnya rebah seketika saat burung hantu bersiul-siul dari dalam hutan—membawa sebuah alunan yang membuat Alif tenggelam di dalam mimpi; mimpi yang terasa kian nyata terjaga; Alif melihat mereka melayang melingkar di atas air yang memantulkan putih rembulan, riak-riak kecil berkecipak ketika tangan-tangan lembut itu melepas gelung rambut, dan helai-helai rambut mereka tergerai jatuh menyentuh permukaan air. Panjang.
Berhati-hati Alif mendekati tepian telaga. Matanya mengintai kemeriahan itu, satu-satu dalam gerak yang sama, selendang emas terlepas dari pundak mereka; tubuh yang tak pernah sekali seumur hidup dilihat Alif; ketelanjangan yang ilahi, pikir Alif.
Bukan daging atau kulit, bukan lekuk pinggang atau kecantikan yang biasa diperhatikannya. Sebuah perasaan merangkum jiwanya yang manusia, tabir-tabir pembatas membentuk selubung makna saat jari-jari Alif sibuk menghitung, mereka bertujuh… tujuh? Mereka bidadari! Dengan benaknya sendiri Alif menyimpulkan.
Demikianlah malam dan mimpi membikin Alif tersadar bahwa hari telah senja. Ia bangun dan keluar dengan bebunyian dari dalam perutnya. Dengan sigap ia cegat ekor-ekor ikan kakatua dari pinggir telaga ke atas bara yang sedang ditiupnya, sebagai pemanis untuk lidahnya, ia belah bonggol buah cokelat dan air kelapa untuk menyegarkan kerongkongannya. Alif tersadar dalam lamunan, ia menangkap dengan jelas apa yang disaksikannya semalam.
“Tete Pala bukan gila, Bai Guna dan orang-oranglah yang gila karena menganggap kakek yoyoga.” Gumam Alif.
Tetapi apa yang tampak lebih nyata dari sekadar melihat bidadari dalam mimpinya justru terjadi ketika cahaya matahari menyingsing di puncak Gamalama, dan bias pendar itu memantul; membentuk warna-warni pelangi yang jatuh melengkung ke tengah telaga.
Tiba-tiba Alif bangun dari duduk dan lamunannya. Di seberang telaga, Alif melihat seseorang sedang berlari, mungkin ia sedang dikejar anjing hutan, bersisian dengan pohon-pohon pala yang rindang, ia keluar dari mulut hutan dan terdiam di sana, lekas-lekas Alif memasukkan parang ke dalam sarungnya.
Perempuan itu panik merintih. Ia tak takut dengan kehadiran Alif yang kini hanya berjarak sedepa dengannya.
Alif ragu, tetapi ketika empat mata itu bertemu, mereka seperti sudah saling kenal. Seperti dalam mimpi, meskipun bukan bidadari, perempuan itu juga berambut panjang, rambut itu menjuntai sampai ke tumit dan yang terpenting ia manusia. Tubuhnya terbalut kain satin putih yang menandakan bahwa perempuan ini bukan perempuan biasa. Separuh tubuhnya terbalut bedak badaka. Ia mungkin sedang melewati masa gadisnya, pikir Alif.
Sebuah gelang mutiara melingkar di tangan kirinya dan darah kental yang lekas disadari Alif; mengucur deras di telapak kakinya. Dengan cepat Alif mengumpulkan tanaman obat yang ada di sekitar batas hutan. Mulut Alif lincah mengunyah ramuan: daun cengkeh, serutan kulit pohon pisang, dan sedikit aroma tak sedap dari mulut lelaki asing itu akhirnya membikin hati perempuan itu tenang. Alif memandu perempuan itu mengatur napasnya, setelah memoles luka sobek di telapak kaki itu. Darahnya terhenti.
Alif memang bukan penakluk perempuan. Kulitnya yang sehitam biji pala juga otot-otonya yang kekar membukit di tubuhnya itu belum juga mengundang rasa suka dari lawan jenisnya.
Bai Guna tahu, orang-orang di bukit Tobona juga tahu, bahwa Alif hanyalah yatim piatu yang diselamatkan Tete Pala pada suatu malam ketika jabang bayi itu menggigil di kaki pohon cengkih Afo. Setelah itu, semenjak belia, yang ia lakukan hanya memanjat pohon dan Tete Pala tak pernah menegurnya, hingga orang-orang di pulau Gapi mulai mengagumi keahliannya.
Alif tumbuh dengan demikian perkasa, sehingga ia dibuat kikuk oleh pertemuan di senja ini. Tanpa permisi, Alif menggendong perempuan yang juga mendekap dada kekar Alif tanpa permisi. Malam segera tiba dan desah napas perempuan itu terasa di leher Alif yang hangat. Sampai di depan gubuk, mereka duduk dan suara hutan melesat melalui dengkang suara kodok dan kerik jangkrik; timbul tenggelam dengan sejumlah pertanyaan.
“Aku Mim.” Perempuan itu menepuk bahu Alif. “Aku sulung dari kepala marga di bukit Tubo, sukur dofu!”
“A… ku Alif.” Tergagap, ia menyambung.
“Aku tahu!” perempuan itu memotong, dan sebelum Alif benar-benar meringkuk malu, “orang-orang di empat bukit pulau Gapi juga tahu, kalau kau adalah sang penakluk cengkih Afo.”
“Aku juga tahu!” sergah Alif sedikit berani dengan mengubah posisi duduknya, menghadap penuh wajah Mim, “orang-orang di seantero pulau Gapi juga tahu, kalau kau bukan bidadari yang turun dari surga hanya untuk mandi di telaga ini.”
“Bidadari?” berkerut dahi Mim menanggapi penuh wajah Alif. Empat mata itu kembali saling menatap, kian lekat.
“Ya, bidadari!” Alif menutup percakapan itu dengan tawa Mim yang membuat suasana di tepi telega itu semakin membaur. Alif tertawa, Mim juga membalas. Sebelum bara api di tungku kecil di depan gubuk itu benar-benar mati. Alif dan Mim masih bertukar tawa dan cerita. Lalu, sesuatu sedang berubah di tengah-tengah keriangan itu, dengan berani Alif menuruti kata hatinya, “tetapi kau lebih nyata dari bidadari, Mim.”
Mim menyimpul senyumnya. “Aku tak mengira jika penakluk cengkih Afo juga pandai bercanda.”
Dari dalam sanubari Alif, sesuatu menghalanginya untuk curiga. Bekas bedak badaka dan juga gelang mutiara tak dihiraukan oleh keduanya. Mereka seperti sudah saling mengenal dan mungkin saja menutup rapat-rapat kenyataan itu.
Namun, Alif tentu tak ingin melampaui batas. Ia sadar bahwa Mim mungkin sedang lari dari suatu ritual perkawinan. Adat adalah adat, pikir Alif. Wajah Bai Guna berkelebat dalam kepalanya.
Di pulau Gapi, tak ada perempuan yang berani lari dari gelang mutiara apalagi bedak badaka yang menjadi tanda bahwa para perempuan telah beranjak menjadi gadis atau ia telah diikat dalam suatu ritual perkawinan.
Mim masih belum berani mengakuinya dan tak ada alasan apa pun bagi Mim untuk menolak wajah sendu nan berani sang penakluk cengkih Afo itu. Dari tubuh kekarnya yang jenjang dan berisi, Mim yakin bahwa Alif bisa melindunginya.
Kabut tipis berarak tertiup angin gelisah ke tepi telaga Santosa. Aroma bunga Telang menguar ke segala penjuru, memasuki gubuk dan lubuk hati Alif dan Mim yang bersama-sama mendorong pintu.
Alif dan Mim rebah di dalam sana dengan semua perih dan ketakutan yang berusaha diatasi dengan berpeluk mesra. Alif tak bisa menunda dorongan hatinya, Mim pun sama.
“Namanya Pilatu,” Mim menatap wajah Alif.
Napas Alif terhirup oleh Mim, begitu juga sebaliknya. Terlalu dekat, nyaris melekat.
“Ia anak tetua marga di bukit Tabanga. Tolong selamatkan aku, Alif.”
Air mata Mim berderai di pipi Alif yang telah mengikrarkan keputusan. Tak ada lagi keraguan malam ini. Diki Amoi menyaksikan peristiwa itu. Mereka bertemu untuk sesuatu yang tanpa alasan harus mereka perbuat. Alif merasuk ke dalam Mim, Mim pun mengalami kerasukan itu dan pengandaian dari sebuah cerita tentang bidadari itu mereka lupakan. Beradu sebagai dua tubuh asing yang kenal mengenali.
Cinta mungkin bukan alasan untuk mengikat dua tubuh. Tetapi, Alif tahu bahwa Mim juga mengerti, pertemuan yang tak pernah mereka minta itu harus selesai sebagai malam-malam penuh desah hutan dan calak Kasturi.
Dan tak ada seorang pun—meskipun itu bidadari atau dukun sakti—tahu, bahwa itu darah suci pertama bagi Mim dan kelelakian Alif menemukan pasangannya.
Hingga pagi membangunkan Alif dari lelap tidurnya. Sebuah janji telah mengikat hati mereka.
Setelah dua purnama yang akan datang, temui aku di batas teluk Nita.
Begitulah janji Mim kepada Alif sebelum mereka benar-benar tertidur.
Bergulung gelombang ingatan menyiksa Alif yang berputus asa dalam pencarian. Mim menghilang begitu saja setelah pertemuan malam itu. Dan kini Alif terkulai lusuh di pesisir teluk Nita. Mimpi dan kenyataan merebus isi kepala dan jiwanya.
Dari purnama ke purnama Alif menunggu dengan sabar, membuatnya tersiksa oleh kegilaan yang menakutkan. Tak ada satu pun orang yang berani mendatangi gubuk kecil di tepi teluk Nita. Hanya Bai Guna.
***
Apa pun yang tejadi maka terjadilah. Gerhana telah datang menyungkup pulau Gapi saat Alif menggali lubang di kaki pohon cengkih Afo—sebuah ingatan dan rasa bersalah melintas di ujung keningnya.
Alif mengingat satu kata terakhir yang dikatakan Nun sebelum menutup mata. Kata yang melambatkan tangannya, yang membuatnya pergi dalam sebuah kenangan.
Tubuh itu terpukul ombak ke pesisir teluk Nita. Saat itu, Alif sedang menatap kosong samudera di depannya dengan menyiksa dirinya sendiri dengan sebuah janji yang tak pernah datang.
Alif baru menoleh ketika cahaya matahari membiaskan selendang keemasan yang melingkar di leher tubuh itu.
Alif melepas parang dari genggamannya dengan sambil lalu mengangkut beberapa kerikil. Burung-burung yang mematuk tubuh itu terusir dengan kehadiran Alif.
Sebelum ombak benar-benar surut ke tengah teluk. Alif telah mengungsikan tubuh itu ke dalam gubuknya. Dialasi serat enau dan rumbia, Alif meniti dari ujung kaki sampai ke kepala. Tak ada yang berarti dari tubuh itu kecuali selendang emas yang melingkar di lehernya.
Hari mulai gelap saat pelita ia nyalakan dan saat cahaya menghambur dalam gubuk itu. Alif sadar bahwa kulit perempuan itu seputih daging sagu muda dan tak ada satu pun perempuan di pulau Gapi yang menyerupai tubuh itu.
Aroma Gambir menguar di sekujur gubuk, membikin Alif disibukkan dengan pertanyaan di kepalanya. Kenapa bukan Mim, pikir Alif. Apakah ini hukuman untuknya karena melanggar adat, di malam ketika ia mengikrarkan keputusan untuk memasuki tubuh Mim yang sudah terikat ritual pernikahan.
Alif mengobarkan ingatan itu untuk menyadari kesalahannya. Dengan sengaja ingatan itu kembali berkelindan.
Jika kewarasan membuatmu mencintai manusia, maka aku telah melampauinya, aku mencintai bidadari, cucuku, aku lebih waras dari semua manusia.
Tubuh ini seperti tubuh orang mati; berulang-ulang Alif meraba dadanya, memastikan jantungnya terpompa. Tak detak di dalam sana, tak napas. Tubuh ini sudah mati.
Tetapi ada daya yang tak bisa ia tolak. Itu bukan semacam niat untuk memasuki tubuh itu. Alif tertuju pada kain keemasan yang melingkar jatuh di bahu kirinya, turun menutupi sebidang dadanya, melewati pusar dan melingkar di pinggang dan menghijab bagian atas lututnya. Tubuh itu. Lebih mengganggu perasaan Alif.
“Bidadari!” gumam Alif.
Dan itulah yang terjadi. Saat bola mata itu terbuka, Alif terhempas berdepa-depa menabrak dinding gubuknya. Alif mendekat lagi dengan memegang lehernya. Perempuan ini hidup, tapi ia tak bernapas.
“Nun!” kata itu keluar dari mulutnya.
Alif tersadar dengan mengingat malam-malam ketika ia menunggu bidadari di tepi telega Santosa. Bidadari ini mungkin tersesat dan dipukul ombak sebagai takdir yang diberikan Diki Amoi untuk keputusasaannya. Tetapi dengan jelas ia mengingat Tete Pala yang yoyoga, dan Bai Guna yang telah memberi peringatan. Wajah Mim mulai surut ia lupakan perlahan, dan bola mata biru itu membantunya menimbun semua duka sesal dari masa lalunya.
Nun hanya menggunakan telunjuknya untuk bicara. Jika ia ingin makan maka ia akan mengarahkan telunjuknya ke kawah api gunung Gamalama. Jika ia ingin tidur, jari telunjuknya lurus mengarah ke laut, tak terkecuali jika ia ingin memeluk Alif, maka Nun akan melakukannya dengan suatu kemesraan yang dimengerti oleh Alif hanya bisa dilakukan ketika sudah terikat tali suci—seperti mereka yang telah diikat tali ritual perkawinan.
Bola mata biru milik Nun tak mencemaskan Alif. Sepasang mata itu indah dan menyembuhkan. Meskipun Alif dihantui rasa takut—jika sewaktu-waktu Nun akan pergi seperti Mim.
Dan benar saja itulah yang terjadi. Demi mengubur semua ketakutan itu, Alif pulang berkeluh kesah kepada Bai Guna, dengan memohon, Bai Guna tahu bahwa Alif sebenarnya telah yoyoga, tetapi ikatan cinta yang kuat, yang diceritakan Alif membuatnya harus memenuhi permohonan itu. Ia kawinkan Alif dan mayat Nun.
Di kaki cengkih Afo pulau Gapi. Seperti mimpi, seperti dongeng dan legenda, seperti kekuatan yang menautkan jiwanya pada sengkarut kenyataan. Alif meneroka hatinya kembali. Nun adalah bidadari, tetapi cintanya pada Mim adalah nyata. Untuk itu, setelah melingkarkan gelang mutiara ke tangan Nun, mata biru sang bidadari itu akhirnya benar-benar kembali ke surga.
“Mim.” Kata itu berbunyi.
Sebelum dikubur telunjuknya mengarah ke arah laut, ke arah samudera, ke arah pesisir. Dan sebuah penantian panjang di telaga Nita terus ia lanjutkan.
***
Hingga suatu waktu sejarah mulai tertulis dalam angka-angka yang dibawa oleh tahun-tahun masehi. Pulau Gapi mengubah dirinya sebagai mantra pulau cengkih yang menyihir para raja-raja di seberang benua.
Demikianlah akhirnya, seorang perempuan yang dikenal orang-orang di pulau Gapi sebagai Mim itu turun dari perahu koyak. Angin membawa kabar itu ke telinga Alif yang masih menunggu di tepi teluk Nita. Ia bukan lagi sang penakluk cengkih Afo. Tubuh dan otot-ototnya telah melemah. Rambutnya memutih.
Bai Guna telah dikubur oleh orang-orang di bukit Tobona pada suatu malam putih dengan membacakan kidung untuk kematian.
Tergopoh langkah Alif mendekati Mim yang sedang berbicara pada seorang gadis muda di sampingnya. Alif mengenali gelang mutiara dan bekas luka di telapak kakinya yang lemah dan renta. Sekali lagi, untuk selamanya, Alif dan Mim bertemu di tepi teluk Nita yang telah menjadi pelabuhan. Bibir Mim mendatangi daun telinga Alif yang masih meringkuk malu. Dan sebuah bisik berbunyi.
“Namanya Nun dan dia bukan bidadari. Dia anak kita.”
***
Editor: Ghufroni An’ars
sangat menarik!! saya menunggu cerita selanjutnya