“Mencintaimu merupakan plot hole dalam naskah cintaku. Kamu semestinya tidak ada. Setidaknya, tidak muncul tiba-tiba.”
Lelaki itu tertawa. Mungkin dia merasa pernyataannya barusan begitu lucu. Setelah tawanya berhenti, ia memandangmu.
“Kalau begitu, kamu harus memperbaiki perasaanmu,” katamu kalem. Lelaki itu kembali terbahak. Katamu dulu, dari sanalah cintamu meluap-luap untuknya, untuk lelaki itu.
“Tapi, kita mesti bicara serius.” Lelaki itu berdeham beberapa kali seolah sesuatu tersangkut di tenggorokannya. “Aku serius.”
Dari wajahmu, jelas ada khawatir yang mulai membanjir. Gerak tubuhmu mendadak begitu gelisah. Jemarimu sibuk menggulung ujung kemeja dan tatapanmu teralih dari mata lelaki itu, ke tiang-tiang, untuk kemudian kembali pada mata yang menjerat hatimu sejak pertama.
“Kamu mau bikin buku panduan menang lomba menulis cerita? Atau panduan memperbaiki plot hole dalam cerita?” Kata-kata itu meluncur dari bibir tipismu yang dilengkapi sapuan warna merah yang tebal.
Lelaki itu kembali tertawa. Tawa dari jenis yang katamu memang kau suka.
Kadang kau bertanya, apakah lelaki itu tertawa karena itu sekadar lucu atau justru tawa itu muncul dari hati yang tak lagi beku? Maksudmu jelas, kau mempertanyakan isi hati lelaki itu saat kalian bercakap-cakap dan dia malah sibuk tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba lelaki itu diam. Ini tampak sedikit menakutkan. Matamu mengerjap lebih cepat, dan ada kerut di ujung bibirmu. Kedua bibirmu laju saling melipat hingga tampak seperti gigimu menekannya kuat. Apakah kau tidak kesakitan menahan sedemikian rupa?
“Kenapa kamu berpikir aku akan bikin buku?”
“Ah, tidak. Maksudku, kamu penulis dan selalu menulis … menerbitkan buku ….”
“Buku-buku yang tak laku dan berakhir jadi sampah, maksudmu?”
Kamu tampak begitu cemas. Kali ini jelas gigimu menggigit bibir bawah dan matamu makin cepat mengerjap. “Bu-bukaan.”
Lelaki itu kembali tertawa. Lebih keras seolah ingin meruntuhkan langit-langit kamar. Mestinya kamu takut sekarang. Sesuatu yang membuatmu jatuh cinta telah membuatmu tiba-tiba perlu merasa waspada.
“Manusia selalu menghasilkan sampah. Benar bukan? Jadi, kalau aku mengaku diriku penulis dan tulisanku adalah sampah, anggap saja aku menjalankan kodratku sebagai manusia.”
Kau perlahan mengangguk. Entah apa yang membuatmu mengangguk. Mungkin ingin mengakhiri perdebatan. Bisa jadi ingin memberinya dukungan. Atau jangan-jangan begitulah caramu selama ini menyelesaikan masalah: selalu memberi persetujuan pada pendapat orang-orang.
“Tadi kubilang, mencintaimu adalah plot hole dalam kisah cintaku. Ada yang tidak logis. Ada yang tidak semestinya. Tapi semesta dalam cerita kita bekerja. Kini bukan aku, atau kamu. Dalam semesta cerita kita itu, ya yang ada adalah kita. Tapi sekali lagi, mencintaimu adalah plot hole. Harus diperbaiki, bukan?”
Kau mengangguk lagi. Tanganmu meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Kau keluarkan asap dari bibir tipismu dan asap itu melengkung, kembali masuk dalam hidung, untuk kemudian keluar lagi lurus-lurus. Itu tampak sedikit menakjubkan.
Mengisap sebatang rokok bisa jadi membuatmu tak lagi gugup. Buktinya, kau mulai memberi pendapat. “Dalam semesta cerita, penulis selalu dituntut menjalin cerita yang logis. Serba sebab akibat. Tak bisa sesuatu terjadi kebetulan, mendadak, tiba-tiba, atau apapun istilahnya. Tapi, apa kau lupa kalau dalam hidup ini, kita sering menghadapi sesuatu yang tiba-tiba terjadi? Misalnya, kau tiba-tiba ingin berhenti mencintai …”
“Bagaimana kamu bisa berpikir begitu? Lelaki tidak bisa berhenti mencintai tiba-tiba. Dia bisa saja bosan …”
“Bosan? Lalu, mengapa bisa berhenti tiba-tiba?”
“Aih, bisa pula ada orang lain di hatinya. Lelaki tidak bisa menyakiti perempuan yang dicintainya. Maksudku, kalau itu lelaki sejati ya. Dia akan bilang mencintaimu, lalu …”
“Aku tidak bicara tentang diriku.” Keheningan meraja. Jika didengar-dengarkan, suara detak jam begitu nyaring jadinya.
“Lalu, kamu bicara tentang siapa?”
Kau memandang ujung rokok yang terbakar. “Aku tidak bicara tentang siapa-siapa. Aku hanya bertanya saja padamu.”
Lelaki itu mendekat. Wajah tampannya berjarak sekitar dua atau tiga jengkal tanganmu saja. Bisa jadi, embusan napasnya menerpa wajahmu dan itu membuatmu malu. Mukamu memerah. Kau tak bisa memungkiri sesuatu memaksa jantungmu berdegup kencang saat bersamanya, bukan?
“Buatlah cerita!”
“Bu-buat apa?” Tanyamu. Matamu lebih menyorotkan rasa heran dan kebingungan dan menghapus rasa canggung yang sempat muncul sejak kalian berdekatan.
“Buatlah cerita tentang seorang lelaki yang berhenti mencintai secara tiba-tiba.”
“Untuk apa? Aku tak pernah bisa menulis cerita untuk orang yang tidak spesial. Lelaki pengecut yang meromantisasi perpisahan macam itu tidak pantas mendapat penghargaan dariku berupa sebuah karya untuk dikenang.”
“Oh, ya?” Lelaki itu menarik jarak. Kau tampak mengembuskan napas sarat kelegaan. “Kamu pasti bisa. Cobalah!” Lelaki itu masih berusaha meyakinkanmu.
Kau diam. Tapi mungkin kau berpikir dan menimbang-nimbang. “Lelaki yang bilang secara tiba-tiba kalau dia berhenti mencintai itu … plot hole. Itu tampak seperti plot hole,” katamu dengan suara lirih.
“Hmmm, lalu?”
“Itu … harus diperbaiki, bukan?”
Lelaki itu memandangmu dan terbitlah senyum di bibirnya. “Perhatikan ini, kamu berpikir dengan cara perempuan yang sebagian besar punya naluri memperbaiki. Kenapa tidak biarkan saja lelaki itu? Sekarang, mari menulis. Bukan, lebih tepatnya, ayo tuliskan itu! Buatlah sebuah panduan, setidaknya untuk dirimu sendiri, tentang cara meminimalisir plot hole dalam naskah cintamu …”
“Tapi, meski dalam semestaku sendiri, dalam kisah cintaku, plot hole itu muncul tiba-tiba, aku tentu tak bisa menuliskan apa adanya. Aku tetap harus mendramatisir dengan berbagai petunjuk sebelumnya.” Untuk pertama kalinya kau berani memutus kata-kata lelaki itu. “Dan, memang demikianlah cerita. Dia bisa kubuat menjadi penjahat dalam ceritaku, sama seperti aku menjadi penjahat dalam ceritanya.”
Lelaki itu masih mendengarkanmu dan tampaknya tak marah karena kau memutus kata-katanya. “Tapi, aku tidak ingin memperbaikinya. Sebab aku adalah tuhan kecil dalam kisah cintaku sendiri,” katamu membuat keputusan.
Lelaki itu kembali mendekat. Matanya bersinar, bahkan lebih tepat disebut berkilat-kilat. “Dengar, aku tahu dan paham perasaan dan pikiranmu. Tapi, pikirkanlah ini: kamu bisa menuliskannya dan biarkan dunia tahu. Ambil keuntungan dari kemalangan yang kau dapatkan. Tulislah sebuah buku tentang kisah cintamu dan …”
“Aku akan menghasilkan sampah sebagaimana fitrah manusia.”
Lelaki itu terbahak setelah mendengar satir yang kau lontarkan. Begitu kerasnya ia tertawa, badannya sampai terguncang-guncang. Perlahan ia menjadi serpih-serpih serupa abu rokok yang kau jentikkan dan gagal masuk dalam asbak. Tampak berkelip hidup sesaat, lalu mati begitu saja.
Lalu tinggallah kau sendiri, bersama jutaan puntung rokok yang bertebaran. Kau masih saja bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang lelaki tiba-tiba pamit berhenti mencintai? Bagaimana cara memperbaiki plot hole dalam naskah cintamu itu?
*****
Editor: Moch Aldy MA