Mara begitu senang sebab penyesalan yang kadang menyusup ke kepalanya sirna. Bukan karena kenikmatan pergulatan birahi, bukan tip besar dari pelanggan yang habis menyelami tubuhnya dengan rakus. Namun, sebuah pembenaran jika untuk alasan itulah ia mestinya tak menyesali alur hidupnya.
Mara berdiri di depan cermin bulat yang menempel di dinding. Dari balik jendela kaca besar yang tertutup separuh gorden di sisi kirinya, mengintip lampu-lampu kota dan kendaraan yang merayap padat seperti semut di bawah sana. Mara mencoba menaksir-naksir penampilannya, memerhatikan hal-hal yang mungkin terlewatkan, sehingga membuat dirinya kurang sempurna.
Setelah yakin, ia menjatuhkan bokongnya di sisi ranjang lantas menarik tas di meja di hadapannya dan mengeluarkan telepon pintar miliknya. Pukul sembilan malam. Sudah lewat setengah jam dari waktu yang ditentukan. Lelaki yang ia tunggu belum terlihat batang hidungnya. Mara mulai bosan. Dia membaca brosur layanan hotel untuk mencari kesibukan. Di situ tertera menu makanan, jasa penatu, dan body massage.
Mara menggonta-ganti siaran televisi yang menempel di dinding hingga berakhir pada aksi baku tembak antara dua lelaki, si pria tua dengan satu mata tertutup dan tampak temperamen menggunakan senjata Sharps 1874 Cavalry Carbine, dan pria satunya dengan pistol Remington 1875 yang moncongnya diacungkan ke pria berpenutup mata. Aksi itu sedikit menyedot perhatian Mara, sebelum akhirnya mengganti ke siaran kartun. Mara lupa judulnya meski pernah menontonnya.
Saat masih kanak-kanak ia menghabiskan waktu di ruang keluarga bersama adiknya di depan televisi seharian sampai ibunya mengomel dari dapur. Kenangan itu seperti pusaran yang menarik dirinya ke sebuah ruang gelap dan pengap yang menyimpan tumpukan-tumpukan perasaan sentimental.
Sudah tiga tahun Mara tidak menemui mereka, pertemuan terakhir diwarnai rentetan pertanyaan, Mara hanya menjawab pekerjaannya sebagai karyawan toko kue berpenghasilan lumayan.
Tidak ada jalan lain buat Mara. Baginya menjadi seorang pelacur adalah pilihan satu-satunya yang bisa ia andalkan untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adiknya. Tujuh tahun lalu dengan bekal ijazah lulusan sekolah menengah atas dan tas lusuh, ia menguji nasibnya di kota Makassar. Mara yakin dengan tekad dan kerja keras ia bisa dengan mudah memperoleh pekerjaan. Kalimat semacam itu sering ia dengar dari orang tuanya.
Namun kenyataannya lain, kerja kerasnya berujung sia-sia dan rasa putus asa. Pikiran untuk kembali ke kampung melintas, tapi ia khawatir bikin kecewa ibunya.
Sore itu, di pinggir Pantai Losari di bawah rindang pohon trembesi dan saat keputusasaan mencapai puncaknya, seorang perempuan datang menghampiri.
Perempuan itu duduk di samping Mara, tersenyum manis dengan bibir merah sempurna. Bau cologne menyengat dari tubuhnya, menguar oleh angin laut. Dewi Utami, dia memperkenalkan dirinya demikian. Setelah berbincang-bincang, perempuan itu menawarinya sebuah pekerjaan.
“Apakah kamu tertarik dengan pekerjaan itu?”
Mara berpikir sejenak setelah sebelumnya perempuan itu menjelaskan sedikit gambaran pekerjaan yang bisa Mara lakukan. Riak ombak menari di bawah kakinya bergemerisik saat menerpa dinding tanggul.
“Cukup temani tamu di tempat Ibu?” Tanya Mara memastikan. Angin memain-mainkan rambut Mara yang kering seperti seseorang yang jiwanya lelah dan tak bergairah.
“Benar dan kamu akan dapat penghasilan lumayan bagus,” kata Dewi Ayu.
Mara berpikir sejenak kemudian seorang pengamen menghampiri mereka, dan mulai memainkan sebuah intro lagu Dewa 19 dengan gitarnya sebelum akhirnya Dewi Ayu mengangkat tangan dan tersenyum seolah memberi tanda jika mereka tak ingin diganggu. Setelah berpikir, Mara lantas mengangguk setuju dengan tawaran itu, Dewi Ayu tersenyum dan sesaat kemudian menawari Mara pisang epe. Mara mengangguk sungkan.
Kecantikan Mara, membuat banyak lelaki meliriknya. Tamu-tamu di tempat Dewi Ayu dibuat saling rebutan. Awalnya Mara merasa senang, tetapi lama-kelamaan ia mulai takut. Para lelaki itu tidak hanya memeluknya, menciumnya tapi berusaha menyelami tubuhnya lebih dalam. Di saat Mara mulai berontak, Dewi Ayu mulai mengomeli dengan kalimat kasar dan menuduhnya tidak bisa bersikap santun kepada tamunya. Dua tiga kali Mara bahkan menerima tamparan Dewi Ayu.
Rasa takut terus membayangi Mara, sementara Dewi Ayu terus menyodorkan Mara kepada tamu-tamunya. Hingga pada satu titik setelah Mara susah payah menolak, salah satu tamu Dewi Ayu berhasil memasuki tubuh Mara dengan rakus. Kenyataan itu memberi luka di hati Mara.
Pernah terlintas di benaknya untuk mengakhiri hidupnya tapi bayang ibu-adiknya hadir di benaknya. Ia khawatir keputusannya itu hanya akan membuat mereka sedih.
Suatu malam yang gerah saat keputusannya bulat, ia menyusup ke luar jendela berjingkrak seperti maling melewati halaman. Berusaha lepas dari cengkraman Dewi Ayu, tetapi usahanya sia-sia. Dini hari di terminal Mallengkeri dengan wajah-wajah kantuk, Mara diringkus oleh preman-preman Dewi Ayu dengan mobil Toyota Kijang Hitam dan menyeretnya kembali ke hadapan Dewi Ayu.
Dewi Ayu menunggunya dengan dada penuh kemarahan. Ruangan itu hanya terdiri satu kursi dan meja. Di sisi kamar terdapat sebuah jendela, berlembar papan kayu dipaku melintang pada kosen. Posisinya berada di sebelah kiri pintu masuk. Di antara papan itu tidak ada celah sedikitpun, sehingga tidak ada cahaya yang bisa lolos dari jendela itu. Di atas jendela ada tiga lubang ventilasi seukuran bola tenis. Pola cahaya yang masuk ke situ terlihat seperti lampu senter, sorotnya lurus ke sisi lain tembok. Kendati demikian ruangan itu pengap dan panas.
Lampu kuning redup menggantung tepat di tengah langit-langit ruangan. Seolah ruangan ini khusus dipersiapkan sebagai tempat penghukuman. Mengetahui kelakuan Mara, Dewi Ayu kesal dan menghajarnya hingga tersungkur. Mara menangis, ia memohon agar Dewi Ayu bersedia melepaskan dirinya dari pekerjaannya. Namun Dewi Ayu hanya diam memandangi dingin Mara.
Dewi Ayu mundur mengambil jarak, lantas duduk sebuah kursi dan melipat kakinya. Keringat yang berkilauan di bawah sinar lampu memenuhi kening Dewi Ayu. Dengan metodis dia menyalakan rokoknya, mengisap perlahan dan menanggalkan rokok dari bibirnya. Dari mulutnya, keluar asap tebal seperti corong kereta api, tampak seolah pembunuh berdarah dingin yang memberi kesempatan pada korbannya untuk merasakan penderitaan.
Dewi Ayu mengangkat sebelah alis memberi perintah kepada kedua anak buahnya. Seolah paham, dua lelaki itu sekelebat melepas celana jeans Mara. Mara memberontak menendang-nendang dengan sekuat tenaga, tapi usahanya gagal.
Kedua anak buah Dewi Ayu berhasil menanggalkan jeans Mara, menyisakan celana dalam berwarna merah muda. Tanpa membalikkan badan si anak buah melempar celana jeans Mara secara tidak acuh ke sudut ruangan.
Setelah perintahnya beres, Dewi Ayu berdiri bertolak dari kursinya lantas menghampiri Mara dan berjongkok. Dewi Ayu mengisap rokok, menghembuskan ke wajah Mara, lantas menyundut rokok ke paha bagian dalam Mara. Mara menjerit histeris, ia berontak namun satu lelaki memegang tangan dari arah belakang dan lelaki satunya memegang kakinya dari arah depan. Si anak buah bertekad penuh membuat Mara tidak bisa berbuat semaunya. Mara berteriak memohon ampun, dan berjanji tidak akan mengulangi hal bodoh itu lagi.
Sebulan sejak kejadian itu, hari demi hari satu persatu lelaki mulai menikmati tubuhnya dengan bebas. Dirinya pun mulai pasrah dengan nasibnya. Karena usahanya yang berusaha kabur, maka pengawasan terhadap dirinya diperketat.
Dewi Ayu tidak ingin melepaskan Mara semudah itu. Mara merupakan primadona di tempatnya, orang-orang rela bayar mahal demi menikmati tubuhnya. Baik seniman, pengusaha, mahasiswa, politikus, rentenir, pemuka agama, pejabat pemerintahan sampai pegawai rendahan. Dewi Ayu tidak peduli latar belakang mereka selama mereka bisa membayar mahal, Dewi Ayu akan melepas Mara.
Namun dibandingkan dengan teman-teman Mara yang lain, Dewi Ayu hanya mengizinkan Mara melayani satu tamu setiap malamnya. Kecuali jika ada lelaki yang siap bayar dengan biaya sangat mahal, tentu akan jadi pengecualian.
Pikiran Mara untuk mengakhiri hidupnya selalu terlintas, tetapi ide itu selalu kandas ketika diperhadapkan pada pikiran-pikiran tentang kondisi ibunya dan kedua adiknya di kampung, apalagi sejak ayahnya meninggal saat mempertahankan tanah yang menjadi sumber penghidupan keluarganya.
Saat itu tanah mereka hendak dirampas pemerintah dengan dalih program pembangunan. Pemerintah pun menawarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya agar warga melepas lahan miliknya. Satu demi satu warga tergiur dengan tawaran itu, bahkan ada di antara mereka yang sudah memenuhi halaman rumahnya dengan kendaraan terbaru.
Namun tidak dengan Salim, ayah Mara yang tetap ngotot mempertahankan tanahnya. Salim bahkan berusaha meyakinkan beberapa warga yang tersisa untuk tidak melepas lahannya. Karena sikapnya yang terlalu mencolok dalam menolak pembangunan, ia dianggap menentang pemerintah. Untuk alasan itu ia dipukuli oleh orang-orang berbadan besar yang tidak suka dengan sikap membangkangnya. Warga yang menolak pembangunan berusaha menolongnya tapi mereka kalah jumlah.
Mara dan ibunya yang menyaksikan situasi itu, tak kuasa menahan amarah, mereka berusaha memberontak melawan tapi tanpa daya mereka berdua hanya bisa menyaksikan dengan tangisan dan jeritan semasih orang-orang itu memukuli dan menendang tubuh Salim secara membabi buta.
Sore itu menjadi hal yang tidak bisa dilupakan Mara dan ibunya. Dunia seperti runtuh, keduanya tak sanggup menerima kenyataan itu. Ibu Mara kehilangan kesadaran dan Mara hanya bisa memeluk tubuh ibunya di tengah teriakan dan kepulan debu. Salim dilarikan ke rumah sakit kepalanya bocor beberapa bagian tubuhnya robek serta tulang-tulangnya patah, sehingga ia harus menjalani operasi.
Meski sudah mendapatkan perawat intens dari rumah sakit, sesaat sebelum adzan zuhur berkumandang Salim mengembuskan napas terakhir. Berita kematian Salim tersebar di media sosial, membuat orang bersimpati. Mahasiswa di beberapa kota melakukan unjuk rasa menuntut keadilan. Namun seminggu lewat seperti angin lalu kabar kematian Salim perlahan hilang, digantikan dengan berita perselingkuhan artis dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemilik pesantren.
Mara dan ibunya serta kedua adiknya lantas hidup dalam kondisi sulit. Uang hasil pembebasan lahan miliknya habis untuk bayar utang selama Salim dirawat di rumah sakit serta untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Kondisi serba sulit itu memaksa Mara mengambil keputusan mencoba peruntungan di Makassar. Setelah beberapa tahun menjadi pelacur, Mara bisa membantu memenuhi kebutuhan ibunya dan membiayai kebutuhan sekolah kedua adiknya.
***
Seseorang mengetuk pintu kamar hotel. Mendengar itu, Mara beranjak dari kasur. Mungkin itulah lelaki yang akan dilayaninya malam ini, pikirnya. Dia segera membuka pintu, di hadapannya terlihat lelaki berkepala botak, lemak tergantung pada pipi, dan perut yang buncit umurnya mungkin sekitar 50 tahunan. Mara menduga.
Mara menyingkir dan memberikan jalan masuk lelaki itu. Lelaki itu berjalan melewati kamar mandi menuju ranjang. Kemudian lelaki itu duduk di kaki ranjang dan matanya memindai sosok Mara dari ujung kepala sampai kaki lantas beranjak. Dia tersenyum tampak mesum.
Setelah memerhatikan lelaki itu beberapa saat, sekelebat ingatan Mara seperti ditarik ke masa silam, samar-samar ia mengenali wajah lelaki itu. Lelaki yang sama yang memberi perintah kepada sekumpulan orang-orang itu untuk memukuli ayahnya. Lelaki dengan tahi lalat sebesar biji semangka di dahinya.
Air muka Mara seketika berubah. Tubuhnya mulai gemetar, tengkuknya seperti disirami es, degup jantungnya semakin terpompa cepat, berdebur naik di kepala hingga memukul saraf-saraf otaknya, suaranya bahkan terdengar lebih jelas di telinganya ketimbang siaran televisi di belakangnya, rasa panas mulai menjalar di dadanya.
Mara berusaha mengendalikan diri, memanfaatkan momen yang mungkin hanya datang sekali seumur hidupnya. Betul, kaulah si brengsek yang merenggut hidup ayahku, pikirnya. Tiba-tiba saja ia merasakan ada kekuatan besar mengalir di tubuhnya untuk digunakan menghabisi lelaki yang ada di hadapannya.
Air muka Mara yang menantang seolah menjadi daya tarik bagi lelaki itu. Birahi lelaki itu memuncak dan sudah tampak tidak terkendali.
Tanpa basa-basi lelaki itu dengan cepat menyambar tubuh Mara, memeluknya dan mencium bibir hingga lehernya. Bau alkohol menguar dari mulut lelaki itu. Lelaki itu menanggalkan satu persatu pakaian Mara dengan cepat dan kasar. Mara membiarkan tubuhnya dijamah sambil memikirkan langkah tepat akan diambil selanjutnya.
Lelaki itu mulai meremas dan mengisap buah surganya. Mara mendesah secara dibuat-buat untuk memancing birahi lebih lelaki itu. Setelah puas memainkan buah surga Mara, lelaki itu lekas menanggalkan pakaiannya.
Saat lelaki itu sibuk, Mara mengamati di sekitarnya, berusaha mencari hal yang bisa ia gunakan. Dia menemukan telepon, pemanas air elektrik, pulpen, air botol mineral, tas, dan dua gelas berwarna merah.
Saat lelaki itu bersiap memasuki tubuh Mara, dengan sigap Mara menarik dan memeluk tubuh lelaki yang ada di atasnya itu, kemudian mendorong tubuh besar lelaki itu ke samping agar posisinya berubah. Mara berbisik di belakang telinganya, “Biar kutunjukkan keahlianku”. Lelaki itu pasrah, dan sekarang Mara mengendalikan permainan.
Mara menciumi dan menjilati bagian-bagian tubuh lelaki itu, memainkan lidahnya dengan penuh akrobatik. Setelah tuntas, ia memandu salah satu bagian tubuh laki-laki itu yang sudah mengeras masuk ke dalam tubuhnya. Mara menggoyangkan tubuhnya seperti seorang profesional. Lelaki itu mengerang penuh nikmat, saat itu Mara yakin itulah waktu yang tepat.
Dia menurunkan tubuhnya agar mengurangi jangkauan pandangan lelaki itu, lantas menjangkau pulpen yang ada di atas nakas di sisi ranjang. Mara menarik nafas dalam-dalam, menghelanya dalam satu sentakan. Sekelebat dengan tenaga penuh ia menusuk pulpen hitam itu ke salah satu matanya dan dengan cepat menusukkan ke mata yang satunya lagi. Pulpen hitam itu lengket berlumur darah.
Lelaki itu mengerang kesakitan, ia memberontak dan menendang perut Mara. Mara terpelanting dan terjerembab ke lantai karena hilang keseimbangan. Namun tanpa buang waktu, ia segera berdiri dan meraih pemanas elektrik di atas meja di dekat televisi lantas menyiramkan tepat ke tubuh lelaki itu. Lelaki itu menjerit kesakitan dan dengan insting membunuh ia menerjang ke segala arah untuk mendapatkan Mara.
Mara berlindung ke sudut ruangan di dekat ranjang namun lelaki itu berhasil menarik rambut Mara. Satu pukulan keras ia layangkan dan tepat mengenai muka Mara. Satu pukulan itu cukup membuat kesadaran Mara berkurang, dengan sedikit kekuatan yang tersisa Mara mendorong lelaki itu ke atas ranjang.
Lelaki itu hilang keseimbangan tapi tidak melepas rambut Mara saat jatuh. Lelaki itu kembali melayangkan tinju tapi meleset. Tidak sampai di situ, tangan lelaki itu lantas meraba lalu meremas leher Mara dengan sekuat tenaga.
Darah berceceran terlihat kontras di atas seprai dan selimut putih. Mara mencoba mengendalikan situasi, dan ia kesulitan mengatur napasnya. Matanya mulai berurai air mata, masa lalu menyedot pikiran Mara saat mereka menghabiskan waktu bersama keluarganya, senyum ayahnya, wajah ibu dan adiknya, kemudian berakhir pada kematian ayahnya. Semuanya hadir seperti puzle-puzle yang tersusun satu demi satu.
Ingatan itu memberi semacam kekuatan bagi Mara, jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dengan cepat masuk ke mata lelaki yang menghitam dan lengket karena darah. Lelaki itu tidak bisa mengendalikan diri saat Mara menarik bola mata keluar dari rongga matanya. Beberapa urat pembuluh darah yang terhubung ke bola mata lelaki itu menjuntai, seolah berusaha merangkak keluar dari rongga matanya yang terasa terbakar. Darah kental kehitaman muncrat mengenai wajah Mara. Lelaki itu menjerit kesakitan lantas semakin meremas leher Mara.
Mara kemudian meraih telepon di atas nakas lantas melilitkan kabelnya di leher lelaki itu. Mara menggunakan kekuatan yang tersisa untuk menarik kabel telepon dengan arah berlawanan. Kakinya menendang sekitar selangkangan lelaki itu beberapa kali dan menggunakan lututnya untuk mendorong dadanya sementara kedua tangannya menarik dengan kekuatan penuh.
Dari luar pintu kamar terdengar seseorang mengetuk dan beberapa panggilan. Televisi masih menampilkan kartun yang sejak tadi ditonton Mara. Perlahan tekanan cengkeraman lelaki itu mulai mengendur, darah yang keluar dari mata lelaki itu menetes-netes hampir menutupi seluruh wajah Mara.
Mara merasa kehilangan separuh nyawanya dan pandangannya mengabur saat lelaki itu mulai melepaskan cengkramannya dan jatuh tertelungkup di atas tubuh Mara. Ketukan di luar pintu sayup terdengar dengan irama cepat.
Di ambang kesadarannya itu Mara memerhatikan siluet kartun di layar televisi. Tiba-tiba Mara mengingat judul film itu: Sailor Moon. Mara menyunggingkan senyum saat sebuah nostalgia melesat di kepalanya tentang bagaimana dirinya dan ayahnya berebut remot televisi untuk menonton kartun dan pertandingan tinju.
Ayahku pasti sudah tenang di alam sana, pikirnya.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Nice