Besok Kamis Legi, Saripah tersenyum sendiri sambil berguman hamdalah. Beras di gentong tanah liat itu hanya cukup untuk tiga hari lagi. Tapi kalau Saripah puasa weton1 besok, beras akan cukup untuk empat hari.
Saripah berjalan pelan ke kamar Diah. Didorongnya perlahan pintu kamar yang berderak-derak bunyinya dan engselnya sudah berkarat lama.
“Kamu sekolah yang bener nduk. Ibu doakan jadi orang besar kamu. Sesuai cita-citamu, “ Saripah mengelus rambut Diah. Diah mengangguk.
Saripah menarik nafas panjang. Sudah 10 tahun Saripah melakukan puasa weton Diah. Di hari-hari puasa weton, Saripah akan lebih banyak berdzikir dan memanjatkan aneka rupa doa. Doa untuk kesehatan Mbah Putri, doa untuk kesuksesan Diah, juga untuk kesabaran diri sendiri.
**
Saripah sudah cukup bersyukur bisa sekolah tsanawiyah, meski tak sampai tamat. Menjelang kenaikan tahun ke dua, kakak satu satunya yang membantu membiayai sekolahnya kecelakaan saat menambang pasir di sungai Pabelan.
Sungai yang selama ini menjadi berkah warga Kabupaten Magelang dan Boyolali seolah menjadi tak bersahabat saat tak kuat menahan aliran lahar dingin pasca erupsi Merapi. Keganasan lahar dingin melebihi air bah. Tak hanya membawa air, lahar dingin turut mengangkut debu, lumpur, dan material vulkanik lainnya. Alirannya tak hanya menghanyutkan, tapi bisa menimbun siapapun yang terbawa.
Begitu halnya dengan kakak Saripah. Dua hari setelah banjir lahar dingin, tim evakuasi berhasil menemukannya 500 meter dari lokasi penambangan pasir. Hadi ditemukan dalam keadaan telungkup, kaki kanan terhimpit batu besar, kepala menghadap ke barat masih dengan kaos berwarna biru.
Kehilangan Hadi seolah membuat mimpi-mimpi Saripah turut hilang perlahan. Hadi berumur 3 tahun lebih tua dari Saripah. Hadi tak punya mimpi terlalu tinggi. Tamat dari tsanawiyah ia menjadi buruh tambang pasir. Dia hanya ingin membiayai adiknya sekolah hingga lulus aliyah. Paling tidak, dengan sekolah setingkat lebih tinggi dari SMP, adik perempuannya kelak tak harus bekerja kasar seperti ibunya dan dirinya. Mungkin bisa melamar menjadi penjaga toko atau pegawai di pabrik.
Ayah Saripah meninggal saat dia masih bayi. Semenjak itu, ibunya menjadi buruh nderep2 dan tandur3. Jika bulan haji, banyak orang hajatan, dia ikut jadi buruh masak.
Baik saudara ibu maupun ayahnya membantu semampunya saja. Selebihnya, hidup harus berjalan. Seorang diri ibunya harus memberi makan dua nyawa, mendidik dan menyekolahkan.
Modal nekat, kepepet dan bismillah, Saripah memutuskan untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Meski tak bergelimang uang, Saripah tentram. Sebulan sekali dia bisa mengirim uang untuk ibunya di kampung. Dia juga bisa menabung sedikit demi sedikit.
Dua hari sekali Saripah belanja sayur di warung Bu Marni. Di seberangnya ada gardu kecil tempat duduk duduk. Setiap kali Saripah belanja, ada sepasang mata yang duduk di gardu mengamati gerak geriknya.
**
Orang-orang di gardu memanggilnya Jon. Meski hanya duduk-duduk di gardu dan kadang ikut main karambol, Jon selalu memakai celana jeans, sepatu dan tancho yang membuat rambutnya kelimis. Gayanya yang keren membuat orang-orang memanggilnya Jon. Aslinya lelaki asal Solo itu bernama Jono. Hari-hari tertentu Jon berada di pangkalan angkot depan pasar Sumber Artha, menjajakan aqua botol untuk penumpang dan sopir angkot yang mangkal, meski tetap saja dia lebih banyak nongkrong.
Ini adalah ketiga kalinya Jon menunggu Saripah belanja dari tukang sayur. Begitu Saripah lewat dia akan mencegatnya lalu memberikan bungkusan plastik berisi makanan. Kali ini dia memberi biscuit kaleng.
Semula Saripah tak mau menerima. Ia curiga dan takut dengan Jon. Saripah sudah niat bulat-bulat ke Jakarta mencari uang membantu ibunya di kampung, bukan mencari pacar.
Jon tak habis akal. Jon minta tolong istri teman nongkrongnya, Nani yang saban belanja sayur jadi teman ngobrol Saripah, untuk mendekati Saripah. Pelan tapi pasti Saripah percaya Jon orang baik. Selain beragama islam, Jon juga orang jawa. Ibu Saripah selalu mewanti-wanti agar Saripah menikah dengan orang jawa. Orang jawa itu pekerja keras dan mau prihatin, pesan ibunya.
Jon berniat akan melamar Saripah lebaran haji. Saat lebaran Idul Fitri Jon datang menyusul ke kampung Saripah untuk berkenalan.
“Nduk, kamu yakin dengan pilihanmu? Nikah itu buat seumur hidup. Jangan sampe nyesel,” tanya Ibu Saripah.
Ibu Saripah tak menolak kedatangan Jon, tapi dia meragukannya. Di kampungnya, satu dua orang berkabar cerai atau sengsara ditinggal pergi suaminya. Menikah dengan orang yang tahu persis keluarganya saja tak menjamin tanpa masalah, apalagi ini orang luar daerah.
“Saya sudah yakin Bu. Mas Jon itu orang baik. Kan dia islam bu, jawa juga.Nanti setelah nikah saya balik lagi ke Jakarta Bu, kerja lagi. Di sana mas Jon juga kerja.” Saripah mencoba meyakinkan ibunya.
Ibunya menarik nafas panjang. Dia hanya ingin anaknya bahagia. Jika persetujuannya membahagiakan anaknya, dia akan melakukannya.
***
Pernikahan itu berlangsung sederhana. Setelah menikah Saripah tetap bekerja sebagai pembantu. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil tak jauh dari tempat Saripah bekerja. Hari-hari Saripah mulai berbeda. Bertambah beban pekerjaannya, selain menjadi pembantu dia juga harus mengurus suaminya. Dari urusan perut hingga urusan kasur.
Sebulan pertama pernikahan semua baik-baik saja. Bulan kedua Jon mulai pulang tiga hari sekali. Alasannya selalu ada, nyambi kerja di bengkel dan nyari dagangan. Saripah tak terlalu ambil pusing, bahkan saat bulan kedua dia yang harus membayar kontrakan karena Jon tak kunjung memberikan uang. Saripah tak mengeluh. Ketika Jon datang, dia tak marah, tetap sabar dan selalu melayani segala permintaan Jon.
Dua minggu awal di bulan ketiga Jon tak pulang ke kontrakan. Saripah mulai bimbang, dia terlambat datang bulan, kadang merasa tida-tiba lemas dan berkunang-kunang. Majikannya menyarakan dia untuk periksa ke bidan. Benar saja, Saripah hamil.
Dalam kebingunan, Saripah tetap menanti Jon pulang. Hingga suatu hari Jon pulang. Saripah bercerita tentang kehamilannya pada Jon. Saripah berharap sikap Jon berubah setelah tahu dia hamil. Sayangnya, Jon tetap tak berubah. Bahkan Saripah pernah melihat Jon di gardu main karambol dengan teman-temannya, tetapi malam harinya Jon tak pulang ke kontrakan. Berhari-hari ditangisinya Jon yang tak pulang. Sementara perutnya terus membesar, akhirnya Saripah memutuskan untuk pulang kampung sendirian. Dia ingin melahirkan ditemani ibunya. Dia menyerah menunggu Jon datang.
Lahirnya Diah menjadi kebahagiaan bagi Saripah. Hari itu, Kamis legi jam 10 siang Saripah melahirkan bayi perempuan yang lucu. Saripah menangis, bahagia dan terluka. Di tatapnya bayi mungil yang baru dilahirkannya, begitu melihat bentuk alisnya, dia tahu itu alis mirip siapa.
Setiap kali ibunya menanyakan tentang Jon dia tak akan menjawab. Lama kelamaan ibunya faham. Jon telah lari dari tanggung jawab sebagai seorang bapak, seorang suami dan Saripah tak bisa berbuat apa-apa. Sejak itu Ibunya tak pernah bertanya lagi tentang Jon. Anak Saripah pun terus tumbuh dengan hasil banting tulang Saripah dan Ibunya, Mbah Putri.
Diah sudah kelas 4 SD. Meski umur Saripah baru 28 tahun, orang akan mengira umurnya 35 atau 37. Kulitnya melegam karena jadi buruh tandur dan nderep. Rambut putihnya perlahan menyembul dari samping pelipis kanan dan kiri. Beban kehidupan membuat dia cepat menua. Hiburannya adalah suara adzan di mushola lima kali sehari. Setelah salat dia bebas meminta dan bercerita apapun pada Tuhannya.
***
Matahari merangkak naik saat Pak Kiyai dan Pak Darto datang ke rumah. Saripah baru selesai membersihkan diri sepulang dari sawah.
“Maaf Pak Kiyai, ada apa njih?” setelah menyuguhkan dua cangkir teh manis Saripah bertanya dengan halus kepada Pak Kiyai.
“Bismillah. Gini Pah, saya langsung saja ya. Saya mengantar Pak Darto mau melamar kamu,” Pak Kiyai bicara sambil menoleh ke arah Pak Darto yang manggut-manggut dan malu-malu.
Saripah sudah terbiasa sendiri. Bukankah punya suami tak menjamin hidup akan lebih ringan, pikir Saripah. Laki-laki tak hanya berfungsi menyumbang sperma untuk jadi anak. Tuhan menciptakan laki-laki tak hanya untuk itu saja. Tapi bagi Saripah, laki-laki yang pernah singgah di hidupnya bisa jadi fungsinya tak melebihi hal itu.
Hmmm, bisa jadi Pak Darto bisa jadi berbeda. Lelaki usai 45 tahun itu setelah menikah nanti mungkin tak akan lari kemana-mana. Dia pegawai negeri di kantor kecamatan, anak semata wayangnya sudah SMA. Bahkan dia telah lama menduda. Istrinya meninggal saat melahirkan.
***
Sudah hari kelima sejak kedatangan Pak Kiyai ke rumah. Saripah bimbang. Mungkin hidup lebih gampang saat tak berurusan dengan laki-laki pikirnya, tapi Saripah juga butuh uang, butuh penghidupan untuk anaknya.
“Nduk, ingat masa depan anakmu,” kata ibunya sambil menepuk pundak Saripah yang duduk dengan tatapan menerawang.
Saripah sudah istiharoh, hasilnya adalah dia akan menerima lamaran Pak Darto. Saripah berencana siang ini ke rumah Pak Kiyai.
Selepas salat dzuhur di masjid, Saripah merapikan jemuran pakaian.
“Pah…” suara seorang lelaki memanggilnya.
Saripah tergetar. Dia berhenti memunguti baju-baju dari tali jemuran. Dia ingat itu suara siapa. Sembari menoleh ke belakang dia istighfar.
Saripah tak mau begitu saja mempersilahkan lelaki itu masuk rumahnya. Toh bukankah memang harusnya dia sudah tak punya ikatan apa-apa setelah lama menerlantarkan ia dan anaknya? Kalaupun dia datang sekarang, bisa jadi itu pertanda dari Tuhan agar Saripah segera ke kantor pengadilan agama.
“Kok aku tidak disuruh masuk. Jauh-jauh dari kota ini,” lelaki itu kembali bicara, meski Saripah belum menjawab sedikitpun perkataanya.
“Saya mau ke rumah Pak Kiyai, Mas.” Saripah menjawab singkat dan berlalu, meninggalkan lelaki yang mematung di depan tiang jemuran bambu. ***
Catatan
1weton : memperingati hari kelahiran
2nderep : memetik padi dengan alat tradisional anai-anai
3tandur : menanam padi dengan mebnamcapkan bibit ke tanah dengan cara mundur ke belakang
Tutut Bina S
*Penulis adalah seorang ibu bekerja yang senang membaca dan terus belajar menulis.