Terik membuncah, matahari menancap keras di atas kota Jakarta Pusat dan keempat satelitnya—distrik-distrik besar yang menjadi nadi ekonomi negeri ini—tiba-tiba tersentak oleh kejadian yang tak pernah terbayang. Di tiap sudut kota, dari gedung-gedung pencakar langit hingga gang-gang sempit. Dalam tiga jam, ratusan nyawa di setiap distrik besar melayang. Mereka mengakhiri hidup dengan berbagai cara, seakan kematian telah menjadi pesta perpisahan di tengah keramaian.
Di kantor, yang biasanya penuh kesibukan, tubuh-tubuh pekerja kini terbaring kaku, nafasnya terhenti. Ada yang melompat dari gedung tinggi, tubuh mereka terhempas di tengah lalu lintas yang tak pernah sepi. Kemacetan terjadi musabab ada yang menabrakkan diri di pertigaan lampu merah. Di dalam apartemen-apartemen sempit, tali tergantung di langit-langit, sementara di kamar mandi kampus, diwarnainya semburat merah yang mencoreng ubin putih yang bau pesing itu. Berbagai cara untuk mati, tetapi semua meninggalkan jejak sama, di kantong, di saku, di genggaman tangan mereka—selembar kertas, surat wasiat mungkin… serempak ditulis tak indah namun terbaca, mungkin digurat dengan tangan gemetar. Bercerita tentang mengapa ini terjadi pada mereka dan upaya menguatkan bagi mereka yang ditinggalkan, beragam tapi bisa dipahami arahnya ke mana, dapat ditarik benang merah dari tulisan mereka, bahwa “INI KARENA PEMERINTAH.”
Kematian ini bukan sekadar statistik di layar televisi, melainkan cerita yang ditulis tangan-tangan putus asa, mereka yang mampu meretas masa depan di bawah bayang-bayang kekuasaan. Angka-angka itu berbisik, menyampaikan pesan tentang akhir yang dipilih dengan sadar, sebuah perlawanan yang tak berteriakan, tak bersenjata. Mengokang keberanian untuk mengakhiri hidup di bawah tirani tak kasat mata.
I
Bak ombak yang lamat-lamat menelan pantai, pertanyaan mulai merayap pada benak masyarakat: Apa yang sebenarnya kita takutkan? Mengapa kekuasaan selalu berhasil menundukkan kita dengan ancaman kematian, seolah kematian adalah hukuman tertinggi yang bisa dijatuhkan? Apakah hidup begitu berharga, bukan karena maknanya, tetapi karena ancaman kehilangan yang selalu menghantui?
“Kau pikir mereka peduli pada kita?” tanya seorang pekerja pabrik pada kawannya di sebuah kedai kopi, wajahnya keriput, bekas-bekas lelah dari bertahun-tahun kerja yang tak pernah berhenti.
“Darah urang mah umpama bensin kali ya, biar pabrik tetep nyala—Nyawa kita hanya sekeping kecil dari roda besar yang terus berputar, menghasilkan uang untuk mereka.”
Kekuasaan selalu memahami satu hal dengan sangat baik—bahwa manusia, lebih dari apapun, takut akan akhirnya. Takut kehilangan segala yang telah mereka kumpulkan, segala yang mereka cintai. Dan dalam ketakutan itu, kekuasaan menancapkan akarnya, menyebar seperti racun yang lambat-lambat melumpuhkan pikiran kita.
“Kita nih dihargai cuma karena kita masih hidup, bukan karena kita hidup,” bisik seorang pengamat politik, Komika sebetulnya. Matanya sayu, penuh kepedihan yang tak bisa ia kantongi sepenuhnya. “Mereka mah butuh kita cuma buat kerja, jadi roda mesin besar yang mereka sendiri bikin.”
II
Pemerintah, dengan retorika yang manis, berbicara tentang kemanusiaan, tentang bagaimana nyawa adalah harta paling berharga dan perlu dilindungi. Mereka menabur propaganda tentang nilai kehidupan, menulis undang-undang yang melarang kematian atas kehendak mandiri, seolah mereka adalah pelindung kehidupan itu sendiri. Namun, di balik semua itu, ada motif yang lebih gelap—kehidupan yang mereka jaga bukanlah demi kita, melainkan demi mereka. Setiap nyawa yang tetap hidup adalah satu bagian kecil dari roda ekonomi yang terus berputar, terus menghasilkan keuntungan bagi mereka yang berkuasa.
“Jangan mau ditipu!” pekik seorang aktivis muda menggaung, bergema dari kepala ke kepala para demonstran yang hadir. “Mereka peduli pada nyawa kita hanya karena itu berarti lebih banyak tangan yang bisa mereka peras.”
Kita diminta untuk menghormati kehidupan, untuk takut akan kematian, karena dalam ketakutan itulah kekuasaan tumbuh subur. Seperti seorang petani yang menyirami tanamannya dengan air yang dicampur racun. Mereka memelihara kita dengan ketakutan, memastikan kita terus hidup, bukan untuk kebahagiaan kita, tetapi untuk kepentingan mereka.
Dalam dunia ini, kematian telah dijadikan senjata, senjata yang diarahkan bukan kepada mereka yang memberontak, tetapi kepada mereka yang mencoba untuk berpikir di luar batas yang ditentukan.
“Apakah ini hidup yang kita inginkan?” tanya seorang mahasiswa kepada dirinya sendiri, melihat bayangannya di kaca jendela kereta yang membawanya pulang ke rumah yang penuh utang. “Atau hanya hidup yang kita terima karena kita takut pada apa yang terjadi jika kita menolaknya?”
Namun, apa yang terjadi ketika senjata itu diambil alih oleh mereka yang tak lagi takut? Apa yang terjadi ketika kematian, yang selama ini dijadikan alat kontrol, dijadikan alat perlawanan? Inilah yang terjadi hari ini. Dalam waktu tiga jam, di lima distrik besar, roda ekonomi yang selama ini berputar tanpa henti tiba-tiba terhenti. Jika bekerja adalah hidup, maka para pekerja, yang selama ini menjadi bahan bakar dari mesin besar itu, memilih untuk berhenti, bukan hanya dari pekerjaan mereka, tetapi dari kehidupan itu sendiri.
III
Aku merogoh saku, merasakan getaran di ponselku. Sebuah notifikasi muncul di layar, sederhana namun menggetarkan:
“Tugas terakhirmu sebagai pelopor. Segalanya sudah, segalanya usai.”
Aku membaca pesan itu beberapa kali, membiarkan kata-kata itu meresap perlahan, seolah pesan tersebut adalah desiran angin yang membawa kabar akhir musim.
Dalam diam, aku tersenyum getir. Pesan itu adalah pengingat bahwa seluruh kekagetan yang kini melanda kota, kematian yang tiba-tiba menjadi pemandangan umum, bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Semua ini adalah bagian dari rencana besar yang kususun dengan sangat hati-hati. Sebuah revolusi yang dimulai bukan dengan peluru atau bom, tetapi dengan keputusan yang tak bisa ditarik kembali.
“Ini hari terakhir,” bisikku pada bayangan di cermin kamar mandi sebuah kantor yang kosong. Di luar, sirine meraung-raung, tapi di sini, di dalam ruangan ini, hanya ada hening.
Aku menatap langit biru di atas, merasakan angin yang bertiup lembut, mungkin alam sedang merestui langkah terakhirku. Dengan nafas panjang, aku menyadari bahwa revolusi ini bukan sekadar mengakhiri hidup mereka yang telah mati, tetapi juga membidani kelahiran sesuatu yang jauh lebih besar. Sebuah kesadaran baru bahwa kekuasaan yang selama ini menindas, yang selama ini menakut-nakuti dengan maut, kini tak lagi memiliki gigi. Rakyat telah belajar bahwa mereka bisa melawan tanpa harus mengangkat senjata—dengan menjadikan kematian sebagai pilihan, bukan ketakutan.
Langkahku mantap menuju tepi atap. Di bawah sana, hidup terus berjalan. Pemerintah mungkin siap menghadapi revolusi bersenjata, dengan segala peralatan yang mereka miliki, tetapi mereka tak pernah siap menghadapi revolusi seperti ini. Jika konsekuensi pasti dari hidup adalah mati, maka revolusi yang datang dengan tenang, yang membawa maut tanpa marah, adalah revolusi yang pasti.
“Apakah mereka tahu?” gumamku, memandang ke kerumunan kecil di bawah, orang-orang yang sama sekali tak menyadari bahwa dunia mereka akan segera berubah.
Aku tersenyum tipis, ini getir dan penuh dengan kesadaran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika aku melangkah ke kegelapan yang menunggu di bawah sana, aku tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah dunia baru yang akan bangkit dari reruntuhan ketakutan, sebuah dunia di mana kekuasaan tak lagi memegang kendali atas hidup dan mati kita.
Mataku terpejam dan angin terakhir yang menyapu wajahku seolah-olah tertawa pelan. Revolusi ini telah dimulai, dan apa yang mereka takutkan akan terjadi.
*****
Editor: Moch Aldy MA