Seorang seniman melilitkan beberapa balon ke tubuhnya. Ia berjalan di trotoar, masuk ke dalam angkot dan ngobrol dengan penumpang lainnya, masuk ke mall dan naik eskalator dengan balon masih bergelantungan di tubuhnya. Dengan menggunakan balon sebagai ikon pesta dan permainan, ia menampilkan paradoks hidup manusia modern.
Seniman lain dengan kepala dibungkus kantong plastik berjalan tanpa alas kaki di atas panas aspal jalan di siang hari yang tak terbayangkan. Teror diterima dari atas kepala, juga di telapak kakinya yang melepuh. Pertunjukannya mengaitkan diri dalam logika urban dengan agresi panasnya kota (baca: pemanasan global), sebagai relasi ekstrim dalam memahami modernitas melalui perspektif tubuh.
Itulah contoh pertunjukan seni (performance art) yang barangkali jauh dari yang selama ini kita bayangkan tentang pentas-pentas tari, musik atau teater di gedung-gedung pertunjukan atau galeri seni. Sebuah pertunjukan yang tak “lazim” karena tidak estetis, tanpa stilisasi dan dramaturgi seperti yang biasa kita tonton.
Ia melepas seni dari lekatan rasionalitas yang menempatkan rasa atau pengalaman sensorik sebagai objek penalaran logis. Disanalah segala hal bertemu: tubuh, bahasa, musik, juga sejarah, teknologi, religiositas hingga masyarakat atau ruang sebagai panggung, sebagai bagian dari sebuah semesta pertunjukan seni.
Sebagai praktik seni, ia melebur batas-batas artistik, karena barangkali ia tidak (hanya) berbicara tentang estetika sebagai presentasi rasa belaka, tapi juga menjadi refleksi atas segala aspek dinamika jaman. Performance art menjadi cara kita membaca karya seni yang dihadirkan di ruang pertunjukan (ruang tertutup maupun ruang terbuka), cara kita membaca kesenian, dan hubungan antara keduanya.
Pemikiran ini dituliskan Afrizal Malna dalam kumpulan esai, Performance Art (dan Medan Pasca-Seni), yang merangkum pengalamannya mengikuti beberapa platform performance art di Surakarta (Undisclosed Territory), Makassar (Journal of Moments Arts), Banyuwangi (Studio Klampisan), Jakarta (Lintas Media DKJ) hingga Lublin, Polandia selama tahun 2000-2022. Sebagai penonton, Afrizal mencatatnya tidak semata sebagai hasil reportase, tapi dengan bermacam perspektif atas berbagai aspek yang membersamainya.
Lintas Budaya
Di Indonesia, performance art terbentuk oleh kultur seni rupa dan teater, seperti aksi-aksi pertunjukan di ruang publik pada masa gerakan reformasi di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Ini membuat sifat visual art dan performing art ikut mewarnainya (hlm. 522)
Dinamika ini berpadu dengan praktik performance studies sebagai lintas budaya yang mewujud pada praktik pertunjukan seni lintas batas seperti yang dilakukan Sardono W Kusumo (Dayak dan Papua), Didik Nini Thowok (tubuh multietnis dalam tubuh trans-gender) maupun Slamet Gundono yang mengaburkan batas-batas wayang dengan tari, teater dan musik (hlm. 524).
Pada perkembangannya, pandemi Covid-19 membuat hampir seluruh keseharian kita berpindah ke ekosistem digital berbasis internet. Media dan data menggantikan kehadiran tubuh dalam realitas masyarakat informasional. Performance art mendapat negoisasi baru melalui jaringan teknologi.
Pada bab 4,5 dan 6 buku ini, Afrizal memperlihatkan bagaimana media dan data mulai memperluas wawasan performance art ke teritori teknologi media dan melahirkan berbagai epifenomena antara performance digital dan seni media. Pertunjukan bukan lagi sebagai peristiwa seni, tapi sebagai peristiwa media. Batas-batas genre seni kian cair, berhadapan dengan teknologi media dan pertemuan antar kultur dalam masyarakat global dunia internet yang kerap disebut sebagai post-truth.
Kesadaran Kemanusiaan
Di titik ini, performance art menjadi penyikapan atas kenyataan bahwa ada yang selalu berubah, dinamis, progress, yang lalu jadi mengusik kesadaran kemanusiaan kita. Ia mengolah dunia sehari-hari sebagai fokus utama untuk melakukan sesuatu. Performance art mengalami, melihat, mengenali lalu menerjemahkan kehidupan sebagai produksi pengetahuan.
Ia berada di “ruang antara” dunia peristiwa, rekaman dan kenangan, lalu memaknainya dengan menciptakan berbagai identifikasi dan kualifikasi untuk membantu kita mengerti dan membangun ekosistem seperti apa tempat kita hidup. Performance art menempatkan tubuh, bahasa, dan intelektualitas sebagai “yang bercerita” diantara deru modernitas.
Performance art menjadi bio-sphere, sebuah ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, sebuah konstruksi sosial dan kultural, yang membentuk pengalaman kebudayaan. Ketika ia hadir di ruang publik, jika berefleksi pada Simone de Beauvoir, sesungguhnya tubuh yang menjadi (becoming) dan menjangkau lainnya, yang merunut Merleau-Ponty, merupakan sebuah pengalaman yang dibagikan, bukan pengalaman yang introvert, sendiri, tapi pengalaman yang menghadirkan (dan atau bersama) orang lain (Saras Dewi, 2020).
Pemaknaan ini bisa dibaca sebagai pembuktian wacana tentang dampak seni bagi masyarakat, yakni bagaimana praktik seni mengajarkan kita untuk bersikap elastis dalam menghadapi masalah dengan cara yang lebih lentur, termasuk memaknai lingkungan sekitar untuk berkreasi apa saja dan atau untuk berbagi nilai – sesuatu yang barangkali belum kita optimalkan sebelumnya.
Dengannya, performance art berpotensi mendefinisikan dan memperkaya dirinya sebagai sebuah kehadiran (art is present), ketika kesenian terasa lembam di ruang publik, dan sikap berkesenian dianggap percuma, tak memberikan perubahan yang lebih baik bagi pergerakan zaman – kecuali sebagai hiburan dan tontonan yang dikomodifikasi.
Melalui buku ini Afrizal mengajak kita menjadi penonton pertunjukan, menonton diri kita sendiri, untuk mengenali diri kita sendiri yang memiliki kehampaan, karena ada “batas ambang”, ruang waktu yang belum termaknai dalam hidup kita selama ini: antara tradisi dan imaji, antara makna dan yang artifisial, antara sejarah dan pasca-seni.
Performance art jadi potret atas tubuh kita, pola pikir kita, kebudayan kita, sejarah bangsa kita, yang (di)hadir(kan) ketika dunia begitu riuh dan kesenian menjadi panggung yang sepi makna karena ditunggangi berbagai kepentingan. Karena mungkin performance art bagi orang-orang tertentu adalah angin lalu, yang lebih aneh dan mengganggu ketimbang pertunjukan (seni) politik Indonesia saat ini. ***
Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek.