Ibu…
Pesawat telepon di rumah kita dulu berwarna hijau daun. Gagang dan papan nomornya. Kau bilang itu sangat cocok dengan warna taplak mejanya. Hari pertama telepon itu datang kau berdebat dengan orang rumah tentang di mana kita harus menaruhnya. Kakak-kakakku bilang di ruang tengah saja. Bapak maunya di meja kerjanya, dekat mesin tik. Sebagai anak paling kecil aku tidak punya ide apa-apa. Lagi pula kau juga tidak merasa perlu bertanya kepadaku kan, Bu?
Kau putuskan teleponnya ditaruh di bawah jendela yang menghadap pekarangan depan. Duduk di atas bufet sudut yang terbuat dari kaca. Kau lalu menambahkan guci-guci cantik dan vas bunga di sekitarnya. Rumah kita tidak begitu bagus, dindingnya pun masih papan, salah satu yang tertua di Jalan Andi’ Bau’. Namun, kita patut berbangga karena termasuk keluarga pertama yang memiliki pesawat telepon di kota kecil ini, katamu. Keberadaan pesawat telepon di sebuah rumah menandakan penghuninya berpikiran maju.
Ada sedikit rasa puas setiap kali tetangga datang bertamu dan melirik iri pesawat telepon di sudut. Kau akan merendah dan bilang pekerjaan Bapak di dinas pertanahan mengharuskannya siap dihubungi atau menelepon sewaktu-waktu dari rumah. Para tetangga hanya menyunggingkan senyum tipis dan mengangguk.
Kenyataannya, anak-anakmu lah yang paling sering memakai telepon itu, Ibu.
Ibu, waktu itu menjelang hari raya lebaran. Kau punya ide bagaimana jika rumah dicat ulang. Bapak protes dan bilang baru tahun kemarin kita melapisi warnanya. Tapi kau bersikeras, mungkin tahun ini bakal banyak keluarga yang datang silaturahmi. Pesawat telepon memungkinkanmu terhubung kembali dengan sepupu dua kali, tiga kali, tetangga yang telah pindah jauh, dan kenalan lamamu.
Padahal Bapak bilang warna cat tidak akan menambah atau mengurangi sedikit pun nostalgia dan kehangatan silaturahmi. Tapi di masa itu, kau adalah raja di rumah kita. Segala keinginanmu harus dituruti, Ibu. Aku dan kedua kakakku ogah-ogahan saja disuruh. Siang terik dan bulan puasa pula. Jujur saja kami sangat kehausan. Kau tersenyum dan bilang dinding depan tidak usah dicat, cukup yang di dalam saja. Seolah itu bisa mengurangi dahaga dan kejengkelan kami.
Kau pulang dari pasar dan mengeluarkan dua ember kecil cat dari kantong plastik. Kami memeriksa warnanya: hijau daun. Aku dan Kakak saling berpandangan. Kak Fajar, setengah kesal mengadu ke Bapak. Dia bilang kau cuma mau menyesuaikan warna dinding dengan pesawat telepon kita. Ingat-ingatlah apa yang ada dalam kepalamu waktu itu, Ibu. Mengubah keseluruhan pemandangan agar terlihat cocok dengan warna telepon? Bapak tidak habis pikir, Kakak marah-marah sepanjang hari, dan kau hanya menyengir.
Ibu, ingatkah kau siapa yang pertama kali menggunakan pesawat telepon itu? Kau tentu akan bilang itu Bapak. Aku juga ingat itu. Sewaktu teleponnya sudah terhubung ke roset, Bapak berlari sejauh tiga blok hanya mengenakan kaus singlet menemui tetangga yang lebih dulu memiliki pesawat telepon. Bapak kembali penuh keringat membawa serobek kertas dengan nomor telepon Pak Lurah.
Kita semua berkumpul di belakang punggung Bapak, memperhatikannya mengoperasikan benda itu pertama kali. Setiap bunyi tombol yang dipencet semakin menambah ketegangan. Ingatkah kau reaksi semua orang ketika di seberang sambungan sana terdengar halo? Kita semua bersorak kegirangan.
“Ya, ini saya, Doktorandus Syarif,” balas Bapak sambil tertawa-tawa kepada kawannya. Kau bilang terakhir kali rumah kita diselimuti euforia seperti itu ketika Soeharto mengumumkan mundur dari kursi presiden.
Namun, bukan itu yang ingin kubicarakan. Memang Bapak lah yang pertama kali memakai telepon tersebut. Tapi yang kumaksud adalah orang pertama yang melakukan pembicaraan yang berguna lagi penting. Garis bawahi ini, Ibu. Karena inilah yang kelak akan melahirkan aturan baru mengenai penggunaan telepon di rumah kita.
Saya berani bertaruh tak seorang pun di rumah kita selain anak bungsumu ini yang mengingatnya.
Orang pertama itu bukanlah kakakku Putri yang menangis-nangis karena buku diarinya tertinggal di rumah temannya, dan takut itu terbaca orang, sehingga harus menelepon (belakangan kita tahu bahwa Kak Putri telah menghabiskan tujuh menit untuk menggosipi teman sekelas yang tidak disukainya). Atau Kak Fajar yang beralasan harus menelepon sekolah untuk memastikan namanya masuk seleksi atlet Pra-Pon padahal hanya menelepon anak Pak Lurah, merencanakan pergi kamping hari Sabtu nanti. Bukan juga Bapak yang belakangan mulai malas keluar rumah dan lebih senang membahas sabung ayam lewat telepon.
Seingatku, orang pertama yang menggunakan pesawat telepon kita untuk keperluan penting adalah mahasiswa KKN yang sedang kehabisan uang. Namanya Hasbi. Ibu ingat itu? Hasbi teman bermain bola kami. Setiap sore Hasbi muncul di lapangan untuk mengajari kami mengoper, menendang, dan menyundul. Tapi hari itu Hasbi mengaku sedang tidak bersemangat. Dia hanya duduk di pinggir lapangan menonton kami. Aku duduk di dekatnya dan bertanya mengapa. Lalu dia menceritakan masalahnya.
Dia kehabisan uang tapi tidak tahu cara menghubungi keluarganya di Makassar. Dia berusaha mencari wartel tapi belum ada bisnis wartel waktu itu di kota kita. Dengan penuh kebanggaan kutawarkan saja dia menggunakan telepon di rumah kita. Tanpa meminta persetujuanmu aku membawa Hasbi pulang dan menunjuk telepon di bawah jendela.
Hasbi menelepon keluarganya sangat lama. Dia bahkan tertawa-tawa dan menaikkan satu kakinya ke atas meja. Sesuatu yang haram dilakukan di rumah kita. Kau memanggilku ke dapur dan mengatakan bahwa aku harus menghentikannya karena jika tidak Hasbi akan menelepon semua orang yang dikenalnya. Kakak-kakakku begitu kesal. Kak Putri mendengus seperti banteng dan Kak Fajar mengepalkan kedua tinjunya dengan geram di depan wajahku. Waktu itu aku bingung dan sangat menyesal, Ibu. Tapi memikirkan itu sekarang, aku tak pernah berhenti tertawa. Di awal bulan, tagihan telepon kita membengkak tiga kali lipat. Bapak memanggil kita semua dan memperlihatkan kertas tagihan sambil geleng-geleng kepala.
Kau putuskan memasang gembok kecil di pesawat telepon.
Kau mungkin tidak pernah tahu, Ibu. Malam itu Kak Fajar menendangku turun dari ranjang. Aku mengetuk pintu kamar Kak Putri. Dia mematikan lampu dan pura-pura tidur. Aku harus tidur di ruang tengah gara-gara kelakuan Hasbi.
Kaulah yang akhirnya memegang kunci itu. Kau merasa perlu membawanya ke mana-mana di balik kutangmu setelah suatu hari Kak Fajar mengetahui tempat penyimpanannya di atas lemari dan menelepon seseorang yang tidak penting berulang-ulang.
Tapi hal itu membuat Bapak kesal. Ada saat-saat ketika dia dalam situasi genting dan kau sedang berada di rumah tetangga untuk bergosip. Bapak akan memanggilku. “Rifki, temui ibumu di rumah Daeng Tayu. Bawa kunci telepon kemari.” Dan aku akan melakukan itu dengan senang hati. Kalian berdua percaya padaku karena waktu itu aku masih sangat kecil. Kalian berpikir aku tidak akan mengambil kunci untuk diriku sendiri, kan? Lagi pula, siapa juga yang akan aku telepon?
Sampai datanglah buku tebal dengan kertas kuning ribuan halaman itu.
Namanya Yellow Pages. Jutaan nomor telepon lengkap ada di sana. Dari rumah tangga, bisnis rumahan, bisnis percetakan, sewa elekton, sampai perusahaan milik Yusuf Kalla.
Aku membuka halaman yang ditandai lipatan kecil di ujungnya. Semua nomor telepon rumah di Kecamatan Bangkala ada di sana. Aku persempit pencarian dengan melompat ke kelurahan kita. Waktu itu sudah sekitar tujuh puluh rumah yang memiliki pesawat telepon. Nama-nama disusun berdasarkan abjad. Aku menyisir awalan R untuk Rahim. Meski tidak tertulis di absensi kelas, seingatku itu adalah nama bapaknya Neli, gadis sebangkuku di kelas enam SD. Neli anak yang cantik dan pendiam. Tapi aku malu berbicara dengannya secara langsung. Jadi aku pikir lewat telepon bisa sedikit mengurangi grogiku.
Masalahnya ada delapan orang yang bernama Rahim di sana. Rahim Saripuddin, Rahim Nanjeng, Rahimun dan Rahim-Rahim lainnya. Setelah meneliti dengan seksama aku menunjuk satu nama dengan yakin.
Sore itu Bapak belum pulang kantor. Kak Fajar sedang keluyuran dan Kak Putri ada les tari di sekolah. Aku yang baru bangun tidur siang mendapati rumah sedang kosong. Aku lalu mendatangi rumah Daeng Tayu dan meminta kunci itu darimu, Ibu. Seperti biasa aku menyebut nama Bapak dan kau tidak bertanya lagi.
Itulah kali pertama aku menelepon seseorang, Ibu. Aku menekan tombol dengan sangat hati-hati, tanpa melepaskan mataku dari Yellow Pages. Aku memperlakukan setiap nomor begitu berharga dan takut jika kesalahan sedikit saja akan menghancurkan semuanya. Aku meletakkan gagang di telinga, merasa seperti orang dewasa. Bunyi tit panjang tanda menyambungkan kugunakan untuk mengatur nada suaraku. Tes Tes Halo. Dan akhirnya tersambung.
“Halo,” kata suara di seberang sambungan.
Seorang lelaki. Pasti Pak Rahim.
“Halo,” balasku. Darahku membeku sampai ke ubun-ubun. Aku terkejut mendengar suaraku sendiri.
“Ya, Halo, kenapa?”
“Ada Neli, Om?”
“Hah?”
“Neli,” ulangku.
“Neli nai (siapa)?”
Aku langsung menutup telepon. Salah sambung.
Aku mencoba Rahim yang lain tapi juga salah sambung. Tiga Pak Rahim, empat, sampai delapan. Tak seorang pun mengenal Neli. Aku kesal bukan main. Ketika Bapak pulang dia seperti biasa memintaku pergi mengambil kunci telepon. Aku tahu dia akan menelepon kolega bisnis ayamnya lagi karena hari sebelumnya dia berjanji akan memutuskan akan membeli bibitnya atau tidak hari itu.
Aku keluar rumah dan duduk di bawah pohon, melempari anak-anak ayam Bapak dengan kerikil. Aku masih kesal kepada semua orang yang bernama Rahim sore itu.
Hanya sekali itulah aku menggunakan pesawat telepon rumah kita. Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku terlihat tidak begitu tertarik dengan benda itu, Ibu. Bahkan Kak Fajar pun mengatakan dia kasihan melihat hidupku yang begitu menyedihkan. Tak punya seorang gadis pun untuk ditelepon. Aku tidak sedang mengatakan bahwa Neli membuatku trauma. Tidak. Hanya saja, bahkan sampai SMA, aku tetap tak menemukan seorang lain yang perlu kutelepon.
Tapi kalau boleh jujur, jika ada satu momen yang aku ingin sekali berbicara di telepon, itu adalah malam ketika keluarga kita hampir mendapatkan uang lima juta rupiah dari acara kuis olahraga.
Alih-alih mendengar bisikan dari Kak Fajar, kalian harusnya memakai jawabanku waktu itu.
Bapak ikut kuis sepakbola di televisi. Kalian semua telah menunggu di dekat pesawat telepon, berlomba dengan jutaan penelepon lainnya untuk tembus ke operator kuis. Kesempatan yang benar-benar satu berbanding sejuta. Tapi malam itu keluarga kita yang beruntung. Kita tersambung dengan televisi. Bapak siap-siap menanti pertanyaan dari pembawa acara. Kau menyuruhku membesarkan volume televisi karena jarak dari telepon ke ruang keluarga cukup jauh.
Pertanyaannya cukup mudah. Sayangnya kalian lebih percaya Kak Fajar hanya karena dia seorang atlet Pra-Pon. Aku akui dia jago bermain bola, tapi itu tak menjamin otaknya beres.
Terletak di benua manakah negara Serbia-Montenegro?
A. Australia B. Eropa, atau C. Afrika.
Kak Fajar berbisik kegirangan. “Jawabannya C, Pak. Afrika. Yes, tidak salah lagi.” Dia meloncat-loncat.
Ibu, kau berpaling kepadaku yang berdiri dekat televisi menunjuk layar tepat di jawaban B. Kau juga sebenarnya meragukan otak Kak Fajar, kan? Tapi aku takut ditendang keluar dari kamar lagi. Jadi aku menarik tanganku kembali.
Bapak akhirnya mengikuti jawaban Kak Fajar. Maafkan aku, Ibu. Aku tidak tahu apakah Bapak mewariskan kebodohan ini kepada si sulung lalu dikembalikan lagi menjadi semacam karma di waktu yang tepat. Tetapi aku bersyukur Bapak tidak menyebut titel Doktorandusnya di televisi. Pembawa acaranya meminta Bapak meyakinkan diri sekali lagi dengan pilihannya. Aku pikir Bapak juga ragu. Tapi Kak Fajar sudah kelewat lupa diri. Dia melompat-lompat berkeliling rumah, seolah uang lima juta sudah ada di pelukannya.
Dia menari, “Montenegro. Negro, negro. Jay-jay Okocha, Eto’o, Drogba, Pantai Gading, Kamerun… Yes Afrika. Jawabannya C. Yakin, yakin.”
“Ya, yakin,” kata Bapak pelan.
Ibu, aku tak tahu berapa juta orang Indonesia yang menertawakan keluarga kita malam itu.
Akhirnya, hari-hari dengan pesawat telepon itu telah jauh berlalu, Ibu. Hampir dua puluh tahun lewat sejak benda itu hadir di rumah kita. Dan hanya butuh waktu satu dasawarsa untuk menghapus keberadaannya. Pasar telepon seluler terbuka lebar tepat ketika Kak Fajar dan Kak Putri melanjutkan pendidikan ke universitas di Makassar. Mereka segera berhenti menggunakan wartel untuk menghubungi rumah kita. Selepas kuliah, Kak Fajar kembali ke kampung memamerkan ponsel keluaran terbaru miliknya, dengan pemutar MP3 dan kamera video. Kak Putri telah bekerja di bank dan secara teratur mengganti ponselnya mengikuti tren.
Suatu hari lebaran, kita semua duduk di ruang tamu. Salah satu anak Kak Putri menunjuk telepon yang ada di bufet sudut. Posisinya masih sama seperti dulu tapi kabelnya telah dicabut. Itu tak diperlukan lagi karena kita telah memiliki ponsel masing-masing di saku celana kita.
“Teleponnya seperti tersenyum kepada kita, Mama,” kata keponakanku itu.
Kak Putri mengambil pesawat telepon itu, meletakkan di pangkuannya. Tangannya menyentuh tombol-tombol, mengangkat gagang dan menaruh ke telinganya. Apakah kau masih sering mengelapnya seperti dulu, Ibu? Dia bertanya kepadamu. Tentu saja, katamu. Aku melihat mata Kak Putri berkaca-kaca.
Ibu, kau mungkin bertanya-tanya, mengapa aku perlu mengirimkan catatan ini untukmu. Hanya beberapa saat setelah kau menutup telepon barusan aku memutuskan untuk menulis sesuatu. Selain kacamata, aku harap kau juga memiliki kesabaran lebih untuk membacanya. Namun, jika kau mengharapkan alasan pasti di dalam sini aku pikir kau akan kecewa. Aku hanya sedikit terkejut dengan berita yang kau sampaikan secara sepintas lalu dalam percakapan kita.
Kau bilang telah bertemu dengan teman masa kecilku di pasar pagi ini. Siapa, kataku. Seseorang yang kau pikir aku tak mengingatnya lagi. Sepanjang waktu aku menjelajahi isi kepalaku, membongkar semua laci memori masa laluku. Setengah menguji, kau mengatakan perempuan itu pernah dekat denganku. Aku yakin kau salah, Ibu. Aku sejak dulu merupakan anak yang pemalu. Tak pernah sekali pun aku dekat dengan seorang gadis semasa sekolahku dulu. Bahkan di SMA, masa ketika aku sudah cukup dewasa untuk mengerti yang namanya cinta, aku selalu menghindari perempuan.
Tapi kau hanya tertawa-tawa. Kau bilang gadis itu sendiri yang mengatakan kepadamu bahwa aku dan dia pernah dekat. Aku masih tak percaya sampai kau mengucapkan namanya secara salah, dan sekonyong-konyong wajah itu hadir sejelas sinar mentari pagi dalam kepalaku. Neli, Ibu, kataku. Bukan Nila. Dan kau membenarkan.
“Ah, itu dia. Neli Rahman,” katamu. “Kalian pernah duduk sebangku di sekolah dasar.”
Oh, Ibu. Andai kau tahu betapa aku telah menceburkan diri ke dalam dosa selama bertahun-tahun hidupku. Ada satu hari di masa lalu ketika aku secara salah menukar nama Rahman dengan Rahim. Betapa aku telah dibuat gila hanya karena ingin mendengar suara gadis itu di telepon. Ibu, aku tak yakin tawa ini akan meninggalkanku selamanya. Aku mengutuki diriku sendiri dan memohon ampun pada semua Bapak bernama Rahim yang telah terganggu sorenya karena ulahku dua puluh tahun lalu.
Ibu…
Jika kau telah sampai di bagian ini, aku harap kau sudi mengucapkan salamku kepada Neli Rahman jika bertemu dengannya di lain kesempatan. Aku sebenarnya selalu memikirkan gadis itu. Dia benar ketika mengatakan kami pernah dekat sewaktu kecil dulu. Hubungan kami bisa dibilang aneh tapi menyenangkan. Ketika berpisah karena beda sekolah di SMP, aku merasa kehilangan sebagian diriku. Seperti seseorang telah mencabut sebuah paku yang tertanam lama di dinding kepalaku, menyisakan lubang kecil di mana rasa kesepian tak hentinya keluar masuk di diriku. Aku akan mendoakan yang terbaik untuknya dan juga kedua anaknya. Katakan bahwa aku turut berduka mendengar berita kematian suaminya seminggu lalu. Maut sungguh tak dapat ditolak. Tapi aku harap Neli bisa tabah dan mempersiapkan dirinya untuk kehidupan yang baru.
Terakhir, aku mungkin akan mengepak semua pakaianku dan pulang ke kampung dalam waktu dekat. Jangan tanya mengapa. Ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku. Terima kasih telah menelepon, Ibu.
***
Editor: Ghufroni An’ars