Sepanjang tangga pualam itu aku mungkin menemukan berbagai hal yang saling berkaitan lagi atau tidak sama sekali. Tempat duduk atau tempatku berdiri mungkin saja berubah. Kini di depanku ada gadis yang mengaku bisa membaca siapa pun. Termasuk 3 teman yang duduk di sebelahku, terutama aku.
“Mudah membaca orang hanya dengan mengajaknya bicara. Semakin banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin banyak yang bisa dibaca,” katanya. Kataku juga beberapa tahun yang lalu. Pada diriku sendiri, pada orang-orang yang duduk di depanku.
Waktu itu. Seperti malam ini. Tapi kini posisiku berbeda. Bukan wajah gadis itu yang menggangguku. Tapi keberadaannya. Perannya. Tentang keterkaitan. Tentang semua efek domino. Tentang apa saja yang sedang berjatuhan di luar. Tentang pergantian peran. Tentang efek yang ditimbulkan. Melekat saling bergantian. Tapi tetap saja aku buta soal mana yang akan terulang. Di mana, siapa, kapan. Peran tetaplah peran. Dan peran utama bagi siapa pun adalah dirinya sendiri.
Tapi aku pernah melepas peran utama. Sebab tidak boleh ada beberapa peran utama dalam satu waktu. Aku menjadi lainnya. Hanya peran kecil. Bahkan bisa saja tak terlihat. Ada dan meniada sungguh hal yang mudah. Seperti bola bintang pada matahari. Seperti bola matahari pada bintang. Hanya masalah tempat berdiam. Mana yang paling terang.
“Aku baru saja masuk fakultas psikologi.” Senyumnya mengambang tanpa gigi. Tapi matanya percaya diri. Benar. Matanya terus membaca. Membaca apa saja yang ada di dalam tempat remang ini. Pelayan. Kasir. Pelanggan. Teman-temanku yang masih terpaku padanya. Aku. Aku seperti duduk menghadap cermin. Wujud yang beda. Ia perempuan dan aku bukan. Aku juga baru mengenal.
Aku menamainya 32. Sesuai urutan orang-orang yang pernah mengambil posisiku. Sama. Aku pernah ada di posisinya. Aku pernah mengatakan semua detail apa yang dikatakannya. Aku pernah menjadi dia.
Ia kini mengambil peranku. Atau hanya waktu saja yang tak sengaja. Mempertemukan dua peran utama. Supaya saling merasakan. Di peran yang beda dalam kejadian yang sama.
“Tapi aku tidak mengambil psikologi.” Ah … dia menatapku. Serasa yakin baru saja ada yang keluar dari mulutku. Matanya yang seperti pisau itu mengharap aku mengulanginya.
“Buktikan. Buktikan jika kau bisa membaca orang.” Tantangku. Dia tersenyum. Seperti senyumku waktu itu. Saat mendengar kalimat yang sama. Untukku. Sekarang dariku. Benar. Aku hanya perlu menjadi orang yang pernah duduk di depanku. Mengajukan pertanyaan yang sama.
“Ok. Kumulai dengan dia.” Ia menunjuk salah satu teman, “Orang ini selalu merangkai kalimat sesempurna mungkin sebelum mengatakannya. Takut dianggap omong-kosong. Wajahnya menyimpan banyak pertanyaan tapi hanya beberapa saja yang keluar. Aku yakin orang ini pecundang. Tapi baik. Selalu mengatur mulutnya supaya tidak menyakiti seseorang. “
“Dan dia.” Jarinya ia pindahkan. Mengarah pada teman di sisi yang lain, “Penuh basa-basi. Benci suasana canggung. Apa pun yang keluar dari mulutnya hanya omong-kosong. Lebih banyak tentang dirinya sendiri. Tapi semua orang butuh orang seperti dia. Berusaha menghidupkan suasana.”
“Dan kau. Pendiam tapi bisa menggila kapan saja. Lupa malu. Komedian saat akrab. Batu saat canggung.” Teman yang belum mengatakan sepatah kata pun sejak satu setengah jam tadi mulai terkejut.
“Dan kau.” Matanya mengenaiku tepat, “Acuh tak mau tahu. Membiarkan semua berjalan sebagaimana mestinya. Seperti biasa. Segala hal tampak biasa bagimu. Hambar. Menjemukan. Membosankan.” Dia menutupnya. Seperti sutradara teater yang baru saja membagi karakter pada orang-orang.
Sementara aku. Dari awal mengikuti ucapannya dalam batin. Sama persis. Seperti kalimatku waktu itu. Tapi tetap saja. “Sekumpulan orang memang sering terdiri dari orang-orang seperti kalian. Keseimbangan itu perlu.” Ia tertawa dengan tawa gadisnya. Kini dengan giginya yang putih tapi tidak seperti biji mentimun. Benar-benar lepas. Mereka ikut tertawa. Menahan aneh.
Gadis yang baru saja bertemu itu bisa mengenal kami amat cepat. Kelewat cepat. Bagaimana gadis ini bisa membaca dengan sempurna? Bisik teman. Aku tak peduli. Aku tak peduli dengan lelucon satirnya. Aku lebih ingin mencari siapa pun atau apa pun yang mungkin mengaturnya. Mengatur agar aku merasakan berada tepat di depanku sendiri. Seperti 31 yang lain.
“Prof. Cokro ada tugas.”
“Apa?”
“Naskah teater. Tiap orang satu naskah. Yang dapat AB naskahnya akan dipentaskan. Dies Natalis nanti.”
Profesor paling memuakkan. Seumur hidupnya, ia tidak pernah memberi nilai A. Lima tahun lalu ada yang mendapatkan A-. Mahasiswa beruntung itu sekarang membuka teaternya sendiri. Mahasiswa kesayangan. Mahasiswa paling banyak menulis naskah drama dan teater. Mahasiswa paling berjasa bagi perpustakaan kampus, rak sastra dan budaya.
“Kau dapat tema apa?”
“Burung.”
“Sandal jepit.”
“Sarung.”
“Pohon.”
“Topeng”. Terlalu filosofis. Terlalu psikologis. Terlalu retorik. Aku malas berkunjung ke fakultas filsafat. Aku tahu apa itu topeng. Aku tahu apa yang dimaksud Profesor. Aku tahu bagaimana caranya menggunakan topeng. Aku tahu topeng itu betul-betul ada atau tidak. Aku pernah lihat mahasiswa seni rupa membuat topeng.
“Menurutmu apa itu topeng?” Gadis itu berhenti. Gadis yang pernah minum denganku dan teman-temanku malam itu. Gadis pembaca karakter itu. Dia menatapku aneh. Tugas kuliah.
“Menurutmu bagaimana? Kau kan anak seni-sastra. Topeng itu bukannya seni?”
Entah. Mana aku tahu. Aku bukan pembuat topeng. Aku tidak pernah beli topeng seumur hidupku. Memangnya untuk apa topeng.
Aku tidak pernah menginjakkan kakiku di fakultas psikologi ini. Kalau orang-orang bilang, anak seni itu aneh-aneh, kubilang anak psikologi jauh lebih aneh. Mereka sok tahu kepribadian orang lain. Dirinya sendiri. Apa nikmatnya? Tidak ada lagi improvisasi. Sebelum berkenalan dengan siapa pun. Sebelum menjalin hubungan dengan orang lain, mereka sibuk menebak bagaimana kepribadian orang tersebut.
“Aku bukan cenayang. Bodoh!”
Ya. Kalian cenayang dengan kacamata. Lelaki di sampingnya tertawa. Pacarnya? Aku mengganggu mereka? Bagaimana bisa sesama anak psikologi pacaran? Apa yang mereka bicarakan? Saling membaca kepribadian? Saling menyembuhkan mental?
“Pung.”
“Yoyok.”
Kami berjabat tangan. Ya. Kuakui anak-anak psikologi lebih menjaga penampilan. Mereka mandi rutin. Ganti pakaian sebelum pergi ke kampus. Rambut rapi. Bawa tas. Isinya buku, bukan make up panggung atau cat badan.
Dia mengajakku pergi. Minum kopi. Membicarakan perihal topeng. Membicarakan perihal naskahku. Gadis ini seumuran denganku. Angkatan sama.
“Kupinjam dulu gadismu, Pung.” Dia melambaikan tangan. Lalu pergi naik motor.
“Pernah baca Carl Jung?”
“Tidak. Pernah beli tapi tidak kubaca. Semester lalu kelasku disuruh mencari itu untuk mengenal diri. Menciptakan karakter. Berganti peran. Memosisikan diri dalam dialog. Aku benci buku teori. Aku benci buku tebal.”
“Kata Jung, tanpa topeng, manusia tak akan bisa hidup bersama orang lain.” Dia memasukkan buku itu lagi ke tas. Urung mengeluarkannya. Mungkin karena aku bilang aku benci buku tebal. Dia ingin menjelaskan dengan nalar umum. Nalar biasa yang sehat. Ringkasnya saja.
“Kau hari ini pakai topeng apa?”
Dia memicingkan kedua matanya. Aku mengerutkan dahi. Seperti ada yang kelewat. Tersurat atau tersirat? Kiasan atau konkret?
“Menurutmu bagaimana kalau aku memakai pakaian ini saat sosialisasi narkotika di sekolah-sekolah?”
Aku meneliti lagi bagaimana gaya pakaiannya sekarang. Sepatu kets. Celana pendek. Kaos oblong. Tote bag. Kakinya putih sampai paha. Lengannya. Rambutnya dikucir ke belakang. Lehernya kemerahan. Bibirnya. Eh..
“Tidak mungkin kan. Topeng itu dasarnya etika. Orang harus pintar-pintar memosisikan diri. Membawa dirinya sendiri. Memilih topeng yang pantas dan benar.”
Aku masih belum lepas dari bibirnya. Merah muda. Gadis ini cantik. Aku belum angkat bicara.
“Kalau kau ini, kukira tidak pernah mau mengganti topeng. Lihat gayamu.”
Dia ganti menelitiku. Sepatu lusuh. Jins kumal. Kaos oblong hitam band metal. Tas selempang. Rambut panjang, dikucir ke belakang. Bibir hitam. Bau badan. Hei, kenapa dia menilaiku. Tahu apa dia!
“Aku tidak ke sini untuk kau nilai.”
“Aku hanya memberi contoh. Jangan salahkan orang lain. Siapa pun boleh menilai. Yang salah itu kau. Kau memberikan persona. Ya penilaian orang-orang sesuai dengan persona yang kau pakai.”
“Aku tidak perlu pakai topeng. Aku suka jadi diri sendiri. Kenapa harus menipu?”
“Kau itu bodoh atau apa. Sudah kuberi contoh tadi. Ini bukan masalah jadi diri sendiri. Tapi bagaimana cara memosisikan diri. Kau itu manusia. Butuh bersosial. Sosial itu ada aturannya. Tidak seenak jidatmu.”
Sialan gadis ini. Baru kali ini seorang gadis mengataiku. Ya. Memang aku bodoh. Tapi biasanya dosen dan kawanku yang mengataiku seperti itu.
“Persetan. Peduli apa. Aku hidup tidak untuk menyenangkan orang. Aku tidak ingin kehilangan diriku hanya karena harus mengikuti orang.”
“Topeng itu hanya sikap, Yok! Temporal. Hanya di situasi tertentu saja. Bukan jati diri.”
Sepertinya gadis ini baru saja menjelaskan soal peran. Berapa banyak peran yang harus kumainkan. Kalau begitu, dunia ini bukan panggung yang akbar. Tidak tunggal. Ada banyak panggung. Kita berpindah-pindah. Dari satu panggung ke panggung lainnya. Ada banyak peran yang harus dimainkan. Ada banyak sikap yang harus kulakukan. Begitu?
“Kemarin malam aku pergi ke bioskop. Antrean tiket panjang. Hampir seperempat jam kemudian antrean ribut. Ada seorang bapak menyerobot. Pung geram. Dia menahan lengan bapak itu. Dia bersama seorang wanita. Separuh baya. Dia marah. Katanya dia Dekan. Menurutmu bagaimana?” Gadis itu melipat tangannya di meja. Mengarahkan wajah gadisnya itu padaku. Meminta pendapat. Aku bisa mencium aroma parfumnya.
“Ya bodoh. Bapak itu. Dia di bioskop bukan di kampus.” Kujawab santai.
“Kau paham sekarang. Itu analogi paling umum tentang persona.”
Gadis ini mau bilang kalau topeng bukan wajah. Topeng bukan citra. Topeng bukan penampilan. Topeng bukan benda. Topeng bukan kayu pahatan anak-anak seni rupa. Topeng itu sikap.
“Semua orang perlu memakai topeng untuk menyembunyikan apa yang perlu disembunyikan dan yang tidak harus ditampilkan.”
Dia mau bilang kalau dalam sehari, kita bisa saja berganti topeng puluhan kali. Tergantung masuk ke lingkungan apa. Situasi bagaimana. Etika dan norma macam apa.
Aku jadi teringat tari topeng dari Jawa Barat. Mereka mengenakan tiga jenis topeng secara bergantian dalam satu kali pertunjukan. Putih. Biru. Merah. Mereka masuk ke panggung tanpa memakai topeng. Lalu setelah itu membelakangi penonton. Menggerakkan pinggul sembari mengenakan topeng pertama. Putih. Menari. Lalu ganti biru. Menari. Lalu ganti merah. Setiap berganti topeng, musik pengiringnya juga ikut berubah mengikuti jenis topeng. Kata salah satu kawan anak seni tari, tiga warna itu mencerminkan karakter dasar manusia. Putih, karakter manusia yang lembut dan asih. Biru, karakter manusia yang lincah dan anggun. Merah, karakter manusia yang beringas, membara, marah.
Aku ingat Didi Towok. Tangannya. Pinggulnya. Kakinya. Manusia juga bisa mengatur topengnya sendiri tanpa perlu memakai topeng fisik. Pasti merepotkan membawa topeng di dalam tas dan membawanya ke mana-mana.
Di teater, perupa atau pun tari, topeng itu ya wajah. Karakter manusia. Karakter yang terpancar dalam wajah. Kalau kata perupa Noor Ibrahim, topeng-topeng itu ekspresi tentang eksistensi manusia yang dibaca melalui wajah. Menurutnya, lewat pembacaan wajah, kita bisa menemukan sisi khusus dan unik dari setiap teman maupun lawan bicara. Wajah yang dimaksud bukan sekadar mata, hidung, telinga, mulut yang hanya diketahui sebagai lubang fisik atau “pintu” tubuh saja …
Ah, sudahlah. Aku tidak ingat kelanjutannya. Aku ngantuk parah saat Profesor menjelaskan itu semester lalu.
Bengkel teater Mbah Somo sedang pentas di kampus sebelah. Mungkin aku bisa bertanya padanya. Bagaimana topengnya para pegiat teater.
“Kau ambil apa?”
“Sastra-seni.”
“Bagaimana Prof. Cokro?”
“Sudah tua.”
Prof. lebih tua dari Mbah Somo. Mbah Somo ini mahasiswa kesayangan yang pernah mendapatkan A-nya Prof. hanya saja anak-anak teater suka manggil dia Mbah Somo. Budayawan. Biasa seperti itu. Disepuhkan.
Hari ini ada anak teater yang naskahnya dipentaskan. Tamu tidak banyak. Beberapa jurnalis. Anak-anak UKM-UKM teater.
Ada seorang jurnalis yang datang. Tanya perihal lelucon pada Mbah Somo. Mbah Somo melempar pertanyaan itu padaku.
“Siapa namamu tadi?”
“Yoyok.”
“Yok, menurutmu lelucon itu apa?”
“Lelucon itu kepedihan yang dirayakan dan ditertawakan.”
“Kenapa harus?”
“Biar penonton lupa.”
“Kalau tidak ada penonton bagaimana?”
“Biar Tuhan yang menonton, Mbah.” Kujawab sekenanya.
Jurnalis itu tersenyum. Mengamatiku barang sebentar. Lalu duduk. Disuruh duduk oleh Mbah Somo. Sepertinya kawan lamanya. Ia diberi naskah yang akan segera dipentaskan. Mbah Somo membenarkan kacamatanya lalu mengajakku duduk. Pentas dimulai jam 8 malam. Masih lama.
“Suka teater?”
“Saya ada tugas membuat naskah, Mbah. Tentang topeng.”
“Kau tidak butuh topeng, kalau yang kau maksud topeng itu topeng kayu buatan anak seni rupa. Dalam teater, wajah sudah lebih dari cukup. Sedikit make up, boleh.”
Kudengar Mbah Somo menulis skripsi tentang makna tubuh manusia dalam teater. Dia bilang, yang dibutuhkan dalam pertunjukan teater hanya tubuh dan jiwa. Jangan sampai tubuh menghalangi jiwa. Begitu juga sebaliknya.
“Dalam teater, ada gerakan Butoh. Butoh ini eksplorasi tubuh. Tubuh sebagai media utamanya. Metode olah tubuh ini mendasar di teater. Gerakan Butoh apa adanya. Yang ditonjolkan ya apa adanya tubuh kita. Apa yang sanggup dan yang tak sanggup. Menelanjangi diri manusia. Menampilkan keburukan dan kejelekan diri manusia. Bongkar sampai ke dalam, fisik dan non-fisik. Bagaimana perbuatan alam pada tubuh. Ada sisi kehewanan, kerapuhan, kenisbian, kesekaratan, dan sisi kelam tubuh lainnya. Tubuh seorang Butoh itu remuk. Tidak indah dan cantik seperti yang banyak diusahakan orang-orang. Kalau kopi itu pahit, ya pahit saja. Kalau tubuhmu sekarat ya sekarat saja. Kalau ketawa ya ketawa saja. Ini kebenaran. Kalau getir ya getir saja. Kalau menangis ya menangis saja. Wajah dan tubuh seorang Butoh harus memproyeksikan jiwa, supaya penonton juga bisa ikut menikmatinya dengan jiwa. Antara batin dengan batin. Bagaimana caranya dengan wajah dan tubuh yang apa adanya itu kita menyajikan duka yang mendalam dan keprihatinan hidup dengan merangsang penonton dan mengajaknya untuk mengalaminya juga. Dengan kesadaran dan raga mereka. Jadi, Profesormu itu dungu. Kau tidak bisa menulis naskah dengan sarana topeng. Tapi kalau konsepnya saja, itu boleh. Tapi jangan menemuiku. Aku tidak tahu konsep topeng seperti apa yang bisa dipentaskan. Aku bukan pegiat topeng. Aku pegiat tubuh manusia.”
Mbah Somo menyulut rokok. Menyeruput kopi hitam. Dia supel. Ramah. Rambutnya sudah mulai beruban. Jenggotnya sudah mulai putih. Pipinya kempot.
“Kau pergilah sana ke Bali. Di sana surganya topeng. Di sana banyak dewa dan mitologi-mitologi. Kita butuh topeng, karena wajah kita tidak bisa mewakili wajah dewa atau makhluk mitologi. Kalau di Jepang ada Topeng Noh, untuk pertunjukan Noh. Ada Kishin-men, topeng yang mewakili setan dan dewa. Ada Onryoo-men topeng yang mewakili roh penasaran. Kau tidak akan mendapatinya di teaterku.”
Aku belum menulis satu huruf pun. Aku mungkin tidak akan menyelesaikannya. Aku lebih suka gaya realisme sosialis. Semacam Pram. Bukan sureal seperti ini.
“Kau pakailah monolog saja. Lebih mungkin kalau naskahmu tentang topeng.”
Ah, betul juga.
Aku tidak pernah melihat Prof. Cokro sesemangat itu mencoret-coret tugas mahasiswanya. Dia tidak membawanya ke kantor. Menyuruh asdosnya memilah. Dia malah membacanya di depan banyak orang. Prof. mengambil absensi kami dari tugas itu.
Satu naskah melayang santai ke tong sampah. Ya, tong sampah seng. Dia membawanya saat masuk. Tempat sampah semacam itu biasanya untuk membakar sampah. Membakar kertas. Membakar naskah itu!
Beberapa kali Prof. menekan penanya. Beberapa kali ia tersenyum. Beberapa kali mengerutkan dahi. Beberapa kali melempar naskah ke tong.
*****
Editor: Moch Aldy MA