Sinisme Filthy Frank

Angga Pratama

3 min read

Sinisme merupakan suatu pandangan atau sikap yang cenderung skeptis, pesimis, atau meragukan berbagai niat dalam aspek individual atau dunia secara umum. Orang yang memiliki sifat atau pandangan sinis cenderung dibayangi oleh perasaan curiga dan niat baik di balik tindakan orang lain atau kejujuran dalam kondisi tertentu—misalnya filantropis atau altruisme.

Para cynic—orang sinis—gemar menyebarluaskan pandangan mereka yang ironis dan dramatis. Salah satu cynic yang ikonik dalam media kontemporer adalah interaksi tokoh-tokoh dalam serial TVFilthyFrank di YouTube.

Filthy Frank merupakan karakter utama TVFilthyFrank gubahan George Kusunoki Miller alias Joji. Karakter tersebut berwujud seorang pria yang terkadang menggunakan atribut-atribut nyeleneh, misalnya wig, rok mini, atau kumis yang aneh. Frank memiliki sifat eksentrik, serta kerap bertingkah aneh dan melakukan tindakan yang menjijikan.

Frank selalu ditemani oleh sahabatnya yang bernama Pink Guy—karakter yang selalu tampil menggunakan pakaian selam warna pink. Karakter Pink Guy ini pada dasarnya juga aneh dan absurd, penuh dengan spontanitas, serta sering berkomunikasi dengan kata-kata atau kalimat yang aneh.

Frank dan Pink Guy berinteraksi dalam adegan yang cukup genting. Pink Guy biasanya menjadi penyelamat Frank ketika dirinya dalam kesulitan. Mirisnya, keberanian yang dimiliki oleh Pink Guy tersebut tidak jarang berakhir sebagai egoisme untuk bertahan hidup, demi menyelamatkan dirinya sendiri.

Kemudian, ada karakter Chin-Chin yang sangat penting dalam acara ini. Dialah yang sering menyebabkan konflik dalam series TVFilthyFrank. Chin-Chin digambarkan sebagai dewa yang jahat dengan wujud manusia yang mencolok. Chin-Chin sering melakukan aksi jahat dan menjadi musuh Filthy Frank.

Sinisme Frank

Filthy Frank, Pink Guy, dan Chin-Chin perlu kita lihat sebagai satu kesatuan yang memainkan peran penting dalam kehidupan individual masing-masing. Filthy Frank yang sedikit lebih normal dibandingkan dengan dua karakter lainnya dapat kita lihat sebagai tubuh eksternal, lalu Pink Guy dan Chin-Chin dapat kita lihat sebagai dua sisi dalam diri manusia yang mewakili baik dan jahat.

Satu kesatuan tubuh ini yang dapat kita sebut sebagai “sinisme Frank”. Mengapa demikian? Bukankah dari salah satu lagunya yang berjudul STFU, Pink Guy mengumpat dengan sangat sinis dan tak berdasar? Memang betul, dalam lagu itu kita akan menemukan bahwa rasa kebencian atau ironi manusia tergambar begitu jelas. Liriknya dengan sengaja dibuat untuk mengumpati seluruh aktivitas manusia. Namun, sinisme Frank tidak membicarakan lagu itu.

Sinisme Frank pada dasarnya mencoba melepaskan keterikatan manusia pada dogma atau keyakinan umum yang membawa diri manusia pada rasa takut untuk mempertanyakan suatu hal yang telah mapan. Dalam satu videonya yang berjudul WEEABOOS, ia menyatakan rasa kebencian terhadap semua orang karena menganggap bahwa suatu kebudayaan atau kultur tertentu tidak dapat dimengerti hanya melalui satu atau beberapa aspek saja.

Misalnya, kita merasa paling tahu tentang budaya Korea Selatan melalui artis idola kita. Padahal, yang kita tahu belum secara komprehensif mengandung kebenaran atau informasi yang utuh tentang negara atau masyarakat Korea Selatan. Sinisme Frank menyampaikan pesan bahwa menjadi penyuka atau memiliki idola dari negara tertentu tidak menjadikan kita ahli kebudayaan yang mereka miliki dan kita sepenuhnya belum menemukan data atau informasi yang valid untuk membentuk argumen atau menyangkal argumen yang kita peroleh dari media sosial idola kita.

Dalam tubuh sinisme Frank yang terdiri atas Filthy Frank, Pink Guy, dan Chin-Chin, orang yang melakukan tindakan sok tahu tersebut dianggap sebagai orang yang tidak sepenuhnya mampu untuk mencapai eudaimonia alias kebahagiaan penuh. Sebab, untuk membebaskan sebagian dirinya dari dogma saja dia masih kesulitan.

Tendensi untuk menjadi yang “lebih baik” atau “lebih mengetahui” dalam diri manusia merupakan hambatan nyata untuk terbebas dari belenggu yang membuat diri mereka kelelahan. Seharusnya kita bertanya ke diri kita sendiri, bukankah berpura-pura intelek atas suatu fenomena atau kultur yang hanya kita ketahui dari informasi partikelir merupakan aktivitas yang melelahkan?

Baca juga:

Will to Do It

Menerapkan sinisme Frank merupakan salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mencapai pembebasan dan eudaimonia. Di dalamnya, terkandung kehendak untuk melakukan sesuatu tanpa bergantung pada konvensi yang didikte oleh society dalam beberapa hal, ini dapat dikaitkan dengan konsep dikotomi kendali stoikisme—dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Untuk memperjelas konsep sinisme Frank dalam keseharian, saya merasa perlu memberikan satu contoh lagi terkait “will to do it”. Misalnya, pada aspek ekonomi, setiap orang dibayangi oleh keinginan yang tidak terbatas dan kepuasan yang tidak pernah terpuaskan. Dua tendensi tersebut akan mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas transaksional yang lantas mendorong perkembangan ekonomi di suatu wilayah.

Sekilas, kita tidak melihat ada yang salah dari hal tersebut. Namun, apakah kita menyadari bahwa di dalam konvensi umum soal perekonomian, kita sering melakukannya hanya karena ikut-ikutan?

Kita bisa mengimplementasikan sinisme Frank untuk melakukan analisis kritis terhadap situasi tersebut. Untuk mempermudah penyampaian analisis, Frank kita notasikan sebagai A, Pink Guy sebagai B, Chin-Chin sebagai C, dan dorongan konsumsi sebagai D.

A yang merupakan diri eksternal kita dipengaruhi oleh D sehingga akan terjadi transaksi ekonomi atas dorongan keputusan A untuk melakukan transaksi. B yang memiliki tendensi pada aktivitas kepahlawanan, heroisme, atau self-defense turut terpengaruh oleh D dengan dalih agar terlihat lebih up-to-date atau mengikuti konvensi umum. Jika -P, maka bukan P—jika tidak menyukai k-pop, maka bukan individu up-to-date. Agar terlihat normal atau sesuai dengan konvensi yang berlaku, kita harus melakukan transaksi pembelian untuk memenuhi hasrat yang kita miliki akibat D (dorongan konsumsi).

A dan B tidak dapat menjadi kritis karena ia tidak dilengkapi oleh C sebagai pengimbang nyata berupa sikap sinis dan skeptis. Dengan C, kita dapat menghentikan laju perkembangan atau dorongan transaksional yang sia-sia sehingga kita tidak terjatuh dalam jurang dogma yang sebenarnya keliru. Kehendak manusia atau kehendak A akan menjadi nyata dan membentuk “will to do it” apabila sinisme Frank kita aktifkan untuk melakukan analisis kritis terhadap fenomena kontemporer yang mungkin tidak sesuai dengan preferensi kita.

Pada dasarnya, manusia selalu dibayangi oleh perubahan-perubahan yang tidak dapat kita hentikan. Untuk itu, kita perlu kritis agar bisa melepaskan diri dari ketidakbahagiaan abadi.

 

Editor: Emma Amelia

Angga Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email