I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Perjamuan yang Tak Pernah Ada dan Puisi Lainnya

Rizal Nurhadiansyah

2 min read

Hutan yang Hilang Arah

Pohon-pohon dulu tumbuh tegak,
rindang, daunnya bebas menyentuh langit.
Angin berbisik dari segala arah,
membawa suara-suara yang berbeda,
seperti simfoni burung di pagi hari.

Namun kini,
ada satu pohon yang tumbuh terlalu tinggi,
menyebarkan bayangannya,
menutupi yang lain.
Akar-akar kecil tak lagi bisa mencari tanah,
cahaya tak pernah sampai
kepada yang berusaha tumbuh di bawahnya.

Burung-burung pun mulai diam,
angin hanya tahu satu jalan,
dan langit yang dulu biru
perlahan berubah gelap.
Kini hutan hanya mengenal satu suara,
satu bayang-bayang,
yang menuntut segalanya
untuk tunduk di bawah dahannya.

Kita yang dulu menyambut pagi,
kini hanya bisa berharap,
agar ada yang datang
mengguncang akar,
membiarkan cahaya menembus
hutan yang semakin sunyi.

Tukang Kayu dan Dua Kursi

Tukang kayu itu duduk di singgasananya,
tangan kasarnya menggenggam pahat,
pohon-pohon tua ditebang tanpa suara,
hutan disulap menjadi papan
yang hanya ia dan darahnya yang bisa bentuk.

Ia ambil dua papan,
dipotong tanpa ukuran,
diberikan paku emas,
tanpa tanya, tanpa suara,
papan itu jadi kursi
untuk anak-anaknya duduk di puncak bukit.

Sementara yang lain?
Tersisa serpihan kayu,
tersebar di tanah,
berdiri tanpa dasar,
tak pernah punya kesempatan
menjadi apa-apa selain debu.

Tukang kayu itu tersenyum,
pahatnya mengukir dunia
hanya untuk dua anaknya,
sementara yang lain dibiarkan
menonton dari kejauhan,
tak punya paku, tak punya papan.

Di tangan tukang kayu,
hutan ini bukan lagi milik semua,
hanya mereka yang terpilih,
yang punya darah,
yang diberi tempat duduk,
sementara yang lain hanya jadi bayang
di hutan yang kian hilang.

Saksi yang Membisu

Di persimpangan kota,
mereka berdiri, tangan saling merangkul
di bawah bayang tembok yang tak pernah rubuh,
dengan janji yang diukir pada malam-malam
saat dunia seolah akan selamanya adil.

Tapi angin yang dulu lembut,
kini mengirimkan bisikan pahit:
keadilan tak pernah benar-benar ada.
Dan mereka tahu,
bahwa langkah terakhir mereka
bukan menuju kebebasan,
melainkan dalam pelukan kesalahan
yang bukan milik mereka.

Mata-mata kekuasaan menunduk,
telinga-telinga hukum tak pernah terbuka,
sementara suara mereka,
seperti jeritan burung kecil di antara gemuruh badai,
ditenggelamkan oleh sang penguasa
yang memahat kesalahan pada tubuh tak bersalah.

Ketika tangan mereka terlepas,
dunia tak berhenti sejenak,
tak ada derit pintu,
tak ada lonceng yang berdentang,
hanya debu yang tersisa
di tempat mereka jatuh.

Dan di malam yang sunyi,
bulan menyaksikan dari kejauhan,
diam,
seperti saksi yang memilih
untuk tak berbicara.

Suara di Antara Riuh

Ada suara-suara
yang tak pernah sampai ke langit,
terjebak di antara dinding-dinding tinggi,
terpantul, hilang,
seperti embun yang menguap
sebelum matahari melihatnya.

Mereka berteriak,
tapi angin tak pernah membawanya jauh,
karena gemuruh kekuasaan lebih nyaring,
seperti ombak besar
yang menenggelamkan bisikan
dari mereka yang hidup di tepi pantai.

Mulut-mulut kecil itu tak pernah berhenti,
setiap harapan menjadi serpihan,
di bawah bayang-bayang
menara-menara besi
yang dibangun tanpa tanya,
tanpa dengar.

Tapi suara itu tak mati,
ia terus merayap di celah-celah tanah,
menunggu hari
saat bumi sendiri akan bicara,
membuka mulutnya,
dan mengirimkan gema
yang tak bisa diabaikan lagi.

Perjamuan yang Tak Pernah Ada

Mereka duduk di meja panjang,
tapi tak ada roti,
tak ada butir nasi yang tersisa
di piring-piring kosong itu.
Hanya angin yang datang,
menyapu debu dari celah-celah dinding,
sementara perut-perut mereka bernyanyi,
bukan dengan kenyang,
melainkan dengan keluhan yang menua.

Di luar, janji-janji tumbuh subur,
seperti rumput liar yang tak bisa dimakan.
Mereka melihat dari jendela yang retak,
pada pesta di kota besar
yang dihidangkan untuk segelintir,
sementara tangan-tangan kurus
terulur ke langit,
memohon serpihan yang tak pernah jatuh.

Anak-anak yang dulu berlari,
kini lemas dalam pangkuan,
mata mereka sunyi,
seperti daun yang layu
di musim kemarau yang tak kunjung reda.
Bibir mereka bisu,
tak ada lagi tawa,
hanya sunyi yang menggema
dari sudut-sudut rumah
yang tak pernah melihat cahaya.

Di istana yang megah,
meja-meja penuh hidangan,
tapi di sini,
mereka mati perlahan,
seperti lilin yang padam,
dalam ruang yang tak pernah dipenuhi harapan.
Negara telah lupa,
atau mungkin,
ia tak pernah ingat.

Rizal Nurhadiansyah
Rizal Nurhadiansyah I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email