Balas Dendam dan Zombi

Ilham Maulana

7 min read

Leher Sadat yang berkeringat. Juga gemetar tangannya setiap kali Sigi meneriakinya membuatku protes dan merasa cara itu keterlaluan. Tetapi Sigi hanya menjawabku ketus. Baginya aku ribet dan terus mengganggu. Katanya, kalau dari awal tak setuju. Tak perlu kubawa Sadat ke losmen kosong itu. 

Sigi pikir aku tak perlu terjebak di masa lalu. Apa untungnya sakit hati dan mendendam bertahun-tahun. Kamu hanya membuat dirimu semakin rapuh. Terganggu oleh pikiran-pikiran negatif yang hanya menggagalkanmu untuk maju. Begitulah Sigi membuat kesimpulan. Dia percaya setelah semuanya terang dan tak memiliki celah untuk kebencian mengintip dan menyergap tiba-tiba, tidurku bakal lebih nyenyak.

Kepada orang yang dulu menyakitiku, Sigi ingin bertanya baik-baik. Meluruskan masalah di antara kami yang serupa bilah melengkung celurit yang kalau-kalau tak diluruskan akan menebasku sedalam mungkin. Masalahnya cara bertanya baik-baik seperti apa yang Sigi contohkan, ketika Sadat dibiarkan duduk di bangku besi tanpa bisa menyandarkan punggungnya. Matanya ditutup kaos hitam. Hanya memakai kolor, sehingga bulu-bulu dari pusarnya yang terekspos membuatnya tampak semakin mengenaskan. 

Sudah kubilang pada Sigi, untuk apa menutup mukanya, toh ia tahu aku yang membawanya ke mari. Tak ada apapun yang bisa kita rahasiakan. Tetapi Sigi yakin, justru inilah letak keseruannya. Bayangkan dalam ketidaktahuan dan kegelapan kamu diteriaki dan terus menduga-duga dengan cara apa kamu disakiti. Jawabnya dengan senyum geli. 

Ada juga aksi intimidatif yang entah dari film perang mana ia tiru-tiru; bangku berloncatan dan membentur tembok, gelas pecah; juga pinset yang memainkan bulu hidung setiap kali Sadat gelagapan dan terlihat sulit untuk menjawab cepat. “Bicara yang jelas bangsat!” Bentak Sigi sambil hati-hati memegang pinset di lubang hidung Sadat, menjaganya untuk sekadar mencapit bulu, bukan menariknya. Kaos yang membungkus wajah Sadat separuh terbuka dan aku hanya meringis saat mengintip ekspresi wajahnya. Tak salah lagi. Seandainya kami ditangkap polisi kami akan dikenai pasal penculikan, membayar mahal denda hukuman atau dipenjara sekalian.

Warkop yang kami datangi sekitar 900 meter dari losmen. Sadat kami tinggalkan setelah sepagian merengek, minta ampun, mengaku bersalah dan memohon untuk dipulangkan. Aku iba melihatnya. Tampang tangguh yang kukenal itu, menciut lenyap di hadapan Sigi. Sorot galak yang memang dipaksakan namun berhasil ketika memukuliku dulu mustahil kentara karena matanya tertutup kain.

Aku merasa bersalah membohonginya. Menggiringnya ke losmen tingkat bekas pekerja kontruksi. Salah satu bangunan yang tak terurus yang kutemukan tak jauh dari Warkop favoritku. Dinding-dindingnya belum diplester. Kelima ruang yang berderet tak seluruhnya berpintu dan hanya satu dari empat kamar mandi yang kerannya berfungsi. Rumah itu kupilih karena cocok menyembunyikan apapun. Dari mulai barang jarahan milik komplotan bajing, pakaian ganti seorang badut keliling, eksimer, sampai korban kejahatan sekaligus penganiaya seperti Sadat. Mudah saja membawanya ke mari. Sebab kami teman lama yang belum lima tahun berjarak dan aku tinggal menipunya untuk segelas kopi nostalgia di suatu tempat. Dia kakak kelasku dulu. Hubunganku dengannya tinggal dendam setelah ia dan kawan-kawannya menghajarku sampai puas di suatu malam. Penyebabnya sepele dan mestinya tak sampai mendorong orang untuk menganiaya. 

Hanya karena aku seorang berandal yang tiba-tiba mengacak-ngacak markas besarnya; rumah dengan selusin penghuni yang seluruhnya kuliah di universitas di dekat sana. Sekali waktu aku menginap dan membuat seorang kawan tidur di sofa ruang tamu karena tak sengaja kupakai kasurnya. Kali lain kupinjam motor kelewat lama sampai-sampai pemiliknya berjalan kaki dari kampus ke rumah. Awalnya aku memang berniat memakai motor itu untuk kencan. Tetapi perempuan yang membuatku menjemputnya, tiba-tiba kehilangan keberanian untuk sekadar menemuiku padahal sebelumnya telah mengirimiku shareloc. Aku yang tak sadar ditipu, bukannya lekas kembali justru mencari-carinya ke setiap kos. Hal terakhir yang kulakukan yang barangkali memancing juga kemarahan dari seseorang di sana, adalah menerima simpati dari perempuan. Bukan salahku kalau ia yang sedang ditaksir oleh teman Sadat tiba-tiba jatuh cinta kepadaku. Lagipula aku tak bertindak jauh. Aku hanya mengantarnya pulang-pergi dari kampus sekaligus mengobrol di dalam angkot.

Setelah kejadian-kejadian itu Sadat dan seluruh penghuni markas menganiayaku, tanpa bertanya, mendengar, apalagi memahami ceritaku—ia memilih menghukumku. Memberi pengalaman yang membuatku tak berani lagi untuk menginjakkan kaki di situ.

Ia memukuliku. Tak peduli untuk jeda atau waktu istirahat sekecil apapun. Kalau aku ingin kencing di kamar mandi. Dia menyuruhku melakukannya sambil duduk. Kalau aku ingin merenggangkan badan dan menghirup udara segar di beranda, akibat hampir enam jam duduk bergulung, memeluk lutut seperti trenggiling, ia menolak dengan alasan macam-macam. Seperti mukaku yang akan menakuti tetangganya, atau wajah biru kena tampar ini yang akan membuat tetangga-tetangganya salah paham. Jadi, tanpa bisa berbuat banyak, aku dibiarkan pegal dan semakin linu dalam posisi terkutuk.

Udara kering menyapu sampah di depan kami. Menerbangkan dan memusarkannya sampai ke tepi kali. Pada jembatan yang hanya sepelemparan batu dari kami, motor-motor pulang-pergi dari pabrik. Di sebelahnya, kandang ayam dengan bau jerami bercampur tahi semakin menyengat sampai kau berpikir ulang untuk memesan nasi tangkar di warung ini. Sigi melepas kancing paling atas kemejanya, melonggarkan kerah kemeja saat tembakau rokoknya memercik melalui isapan keempat. 

“Apa kau bilang? Bocah itu mengurungmu sampai pagi?” Sigi bukannya heran mengapa aku selemah itu di masa sekolah. Ia justru marah mengetahui Sadat cukup sialan kepada juniornya. “Aku akan menghajarnya.” Tegas Sigi. Mengabaikan bapak-bapak di sekitarnya ia kembali membahas Sadat. Menebak siapa yang akan menang seandainya kami duel. Dalam berkelahi tentu aku tak seterampil Sigi. Tapi bukan berarti aku tak berani. Meski begitu setelah melihat Sadat merintih. Menangis di balik kaos hitam yang tak pernah dibuka sejak pertama kali ia memasuki losmen, niat untuk membalas dendam itu surut dan semakin mengecil seiring waktu. 

Momen itu sudah lama berlalu. Rasa sakitnya awet. Terlebih ketika teman-teman yang kuceritakan hanya menganggapnya sebagai lelucon. Ketersinggunganku bertambah setelah tahu Sadat bekerja di universitasku. Apa sih yang tuhan mau? Seseorang yang ingin kaujauhi karena menyodorkan begitu saja kenangan buruk hanya dengan mengobral tampangnya di depanmu justru muncul dan satu gedung? Ia menjadi bagian staf TU dan begitu saja terlihat saat aku sedang sibuk untuk membayar uang semester.

Gejala heatboom sedang ganas-ganasnya saat ini. Sejak dua hari lalu cukup banyak ambulan yang kulihat mondar mandir mengantar pasien. Angin kering serta badai El Nino di seperempat benua Asia terseret sampai ke mari. Memberi dampak menakutkan bagi kulit. Setiap pengidapnya akan mengalami panas sekitar 40 Celsius. Ia akan muntah, pusing dan mual. Gejala yang lebih parah kudengar dari bapak-bapak yang duduk mengopi tepat di sampingku. Menurut mereka dinas kesehatan, Ikatan Dokter dan laboratorium nasional belum menemukan obat bagi gejala kelanjutan dari penyakit ini.

Kondisi aneh bermunculan di mana dalam tahap peningkatan suhu tubuh sejumlah pasien mulai muntah lalu pupil mereka mengecil dan memerah seperti apel. Mereka mengamuk, merusak fasilitas, manusia, dan apa-apa yang bisa dijangkau. Dalam beberapa kasus pun, pasien bisa menularkan kesakitannya dengan memeluk. Menghambur begitu saja ke arahmu. Kurang lebih tiga hari ke belakang istilah-istilah teror mulai muncul, seperti Zombi, Mayat Hidup, bahkan Monster.

Rekaman huru hara dari rumah sakit, jalan raya, stasiun atau bandara yang disiarkan televisi seperti membetulkan mimpi buruk itu. Pasien atau pengidap yang tak tertolong menghambur entah dari mana dan mulai memeluk orang-orang di sekelilingnya. Rusuh tak dapat dihindari. Dalam kesemrawutan gerak orang-orang yang berlari, bertubruk, dan saling menyilang memotong jalur, anak-anak terpisah dari orangtuanya, para satpam kabur menyelamatkan diri, semua orang hanya bisa menjerit ketika anak, saudara, teman, atau orangtua hilang dan terpencar entah ke mana padahal sebelumnya lengan mereka saling menarik. 

“Kau percaya dengan semua itu?” Celetuk Sigi. Aku menggeleng tanpa menengok ke arahnya. “Mungkin cuma isapan jempol, lagipula kalau mereka datang kita tinggal lari. Kita semua pelari yang lebih kencang dari Zombi.” Lanjutnya. Sementara televisi masih menyiarkan hal-hal menakutkan di dinding. Empat orang pengunjung warung mendekat dan mengerubungiku tepat di dekat TV. Mereka terus menyimak. Sebagian mengeluarkan ponsel. Langsung mengabarkan keluarga di rumah masing-masing.

Losmen dua tingkat itu masih sesuram saat kami tinggalkan. Sadat bernapas pelan. Keringatnya berkumpul di dada dan perut. Dia langsung memanggil-manggil begitu langkah kami terdengar membuka pintu reyot dan memasuki losmen. 

Dalam perjalanan pulang dari Warkop kuceritakan kekhawatiranku kepada Sigi. Aksi gegabah yang tak perlu. Niat memaafkan Sadat dan cepat-cepat memulangkannya ke kos. Juga keinginanku untuk tak mengungkit-ngungkit lagi masa lalu. Tetapi Sigi marah dan memperingatkanku. “Aku mengabaikan bahaya heatboom, sergapan Zombi, pekerjaan, dan pertanyaan-pertanyaan dari anak istriku, bukan untuk keragu-raguanmu.”

“Ada baiknya sebelum semua terlambat. Kita pulang dan menyuruhnya berjanji untuk tutup mulut. Kalau jaminannya lolos dia pasti setuju.” 

“Dengar. Kau Adikku, anak itu telah meremehkan keluarga kita dengan menganiayamu. Dia yang harus menanggung kelakuannya dulu.” 

Pukulan, gertakan, dan intimidasi kuterima di malam jahanam itu. Dua kata di awal akan segera Sigi lakukan untukku kali ini kalau saja aku tak merecoki. Aku meredam lengan Sigi yang siap meninju. Mendorong pinggangnya sampai terjengkang ke tanah saat ia dengan suatu gerakan akrobat ingin menendang kepala Sadat. Aku membatasi Sigi hanya menggertak dan bertanya dengan nada sengit. Belum siap melihat Sadat berdarah-darah akibat desakan empati yang tiba-tiba menyeruak dengan liarnya dari dadaku. Tetapi getar notifikasi muncul dan mengagetkanku. Baru kali ini kudengar geraman dari dalam saku jaket Sadat setelah teriakan, benturan kayu ke dinding atau denting gelas yang remuk sangat mungkin telah menghalangi suara itu.

Sayang. Tertulis sebagai nama kontak di ponsel Sadat. Ini panggilannya yang kelima kali sejak pertama bergetar pada pukul sebelas malam. Satu jam setelah aku berhasil menggiring Sadat ke losmen. Perasaanku langsung memburuk begitu tahu bahwa foto di kontak itu adalah Maratus. Perempuan di masa lalu yang keragu-raguannya membuatku pulang telat karena mondar mandir mencari kos. Sial. Apakah motif cemburu yang mendorong kekerasan terjadi bertahun lalu itu? Sama sekali tak kubayangkan ada kasur, motor, dan dua perempuan dalam daftar beberapa hal yang menyebabkanku dihajar. 

Cahaya redup menerobos kisi-kisi jendela dan celah pintu. Sebentar lagi sore berakhir. Sebenarnya tak ada lampu di sini. Sigi sengaja membawa senter malam kemarin. Menyetelnya dalam mode menyala otomatis sehingga kami tetap dapat berjalan dalam kegelapan tanpa terantuk tumpukan papan-papan penuh paku atau bilah besi yang menggunduk dan berserakan. 

Kurang lebih tujuh menit kuhabiskan untuk mengamati wajah Maratus. Sementara Sadat diserang beberapa kali di perut. Aku tak sampai hati mendengar teriakannya. Tak cukup dekat juga untuk menggagalkan pukulan Sigi. Sadat ditanyai macam-macam. Seperti menyesal atau tidaknya menghajar orang. Mengapa bisa membiarkan seorang lemah kencing sambil duduk, atau seberapa puas dirinya saat berhasil menganiayaku. 

Sadat terus mengoceh dan beralasan. Mungkin bila penutup wajahnya dibuka matanya akan melotot ngeri dan mulutnya berliur akibat terus berteriak dan menyanggah saat dipukul. “Maafkan saya, Ris!”, “Maafkan kelakuan saya dulu.”, “Semuanya cuma salah paham.” Dijeda pukulan yang menumbuk badan Sadat berteriak, merintih dan memohon dalam satu tarikan napas. Bukan hanya gagal untuk menghentikan interogasi ini aku pun gagal untuk menyetop amukan Sigi.

“Mas, kamu di mana? Hati-hati di kota. Korban heatboom ada di mana-mana. Situasinya kacau Mas, Aku takut kamu tertular.” Panel chat Maratus muncul di layar depan ponsel Sadat. Aku menimbang-nimbang bahaya seperti apa yang sedang terjadi di luar.

Sigi sudah berhenti memukuli Sadat. Ia terduduk lelah di lantai berdebu sambil pelan-pelan membuka kaosnya. Udara semakin menyengat menjelang malam. Tiba-tiba saja angin surut. Embusan yang satu jam lalu masih kami rasakan tak bersisa di dalam ruangan. Aku membakar rokok dan mengamati asap menguap ke langit-langit dengan teratur. Tak ada desir apapun yang menerpa garis lengkung yang meliuk dan menari itu. 

Hawa panas masih terasa sampai magrib. Aku bertanya-tanya apakah matahari sempat melotot dan memaki tingkah kami sebelum melepaskan aura panasnya separah ini. Punggungku yang lembab berkeringat. Menyerap dan mengeluarkan gerah seperti spons yang bekerja keras.

“Sekarang giliranmu,” Sigi menyilakanku untuk memukul Sadat. Kudekati ia yang ngos-ngosan. Keringatnya berlimpah tampak seperti jaket tembus pandang atau selubung hologram. Ingin kulepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya. Membuka penutup wajah. Mendirikan Sadat dan membaringkannya untuk istirahat. Sungguh tak ada rasa benci lagi melihat Sadat dipukuli seperti tadi. Pesan Maratus telanjur membuatku merasa seperti pecundang. Apakah mereka berdua sudah menikah? Jangan-jangan Sadat merantau ke mari untuk memenuhi persiapannya dalam menyambut bayi. Pikiran-pikiran seperti itu cukup mengganggu. Tak ada kepuasan sama sekali saat Sigi menyuruhku menyakiti Sadat. “Pakai pinsetnya saja. Cabut bulu hidungnya agar dia jera.” Celetuk Sigi masih memanas-manasi.

Aku sudah melepas kaos di mukanya saat pintu reyot terdobrak dan cahaya bulan menampilkan seseorang dalam setelan pasien rawat inap. Garis bibirnya melengkung penuh kemuraman. Tidak ada luka cabikan, tulang rusuk yang dipamerkan di balik baju compang camping seperti Zombi yang kubayangkan. Wujudnya senyata manusia, tetapi dengan rupa kulit yang terlalu mencolok untuk kusebut wajar. Putih polos bagai tisu dalam kemasan namun berbercak merah seperti baru disiram air panas.

Sosok itu berjalan tertatih ke arah kami. Tanpa kesan brutal atau penghisap darah, Aku dan Sigi berhati-hati. Mewaspadai bahaya yang muncul dari jendela atau pintu.

Sigi menyorot senternya dan mengambil kemejanya. Memegang lenganku untuk berlari bersama-sama. Tetapi aku terlalu bingung untuk menyadari apa maksudnya. Apalagi setelah sadar jika tangan Sadat perlahan memanas. Dada naik turun dan matanya, mata yang seharusnya menatapku dengan sangar dahulu, atau memohon sambil memelas sekarang, bergolak seperti mau keluar. Ia muntah langsung ke celanaku dan tak butuh waktu lama untuk pupilnya berubah merah.

Zombie yang kedua tiba-tiba menghancurkan jendela. Ia bangkit dan melaju ke arah kami. Merentangkan tangan sebelum terjengkang dihantam papan oleh Sigi. Zombi.di dekat pintu sesaat hilang. Muncul kembali dan hanya berjarak selangkah dari kami.  Aku langsung melompat untuk menghindari pelukannya. Aku merayap sambil menendang-nendang tangannya yang terjulur hendak menangkap kaki. 

Ada bunyi pecahan lain di sekelilingku. Sigi melemparkan senter sebelum dipeluk dan tumbang oleh kedua Zombi. Dalam kepanikanku yang berlari tunggang langgang. Kulihat Sadat dengan satu tangan terikat di kursi besi. Menggelepar seperti ikan yang terlempar ke darat karena ulahnya sendiri.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ilham Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email