Penggemar kretek, pemuja sepak bola indah.

Lomba Mengalahkan Politisi

Faisal Akbar

5 min read

Sekelompok pemuda tengah mengaso dan berbincang di sebuah warung kopi. Nagorei, salah satu dari lima pemuda itu, menyeruput kopi hitamnya sampai menyisakan ampas di dasar cangkir dalam sekali teguk. Hal itu biasa ia lakukan ketika dirinya sedang menghadapi sesuatu yang menegangkan.

Malam itu, Nagorei dan teman-temannya berencana untuk mengadakan lomba kecil-kecilan di antara mereka. Sonad, yang bertampang paling tampan, mulanya menyodorkan ide lomba ke atas meja. Ia menganjurkan kawan-kawannya untuk sesekali menggelar sebuah kompetisi supaya hidup tak terasa mandek.

Ajakan Sonad itu muncul setelah mereka semua mengaku frustrasi karena tak juga mendapatkan kerja dalam setahun belakangan. Mereka percaya bahwa menganggur dapat berujung bencana dan cenderung merugikan orang lain. Maka, Sonad mengungkapkan gagasan briliannya usai menyalakan rokoknya.

“Ayolah, lombanya mudah, kan?” ujar Sonad, berusaha meyakinkan empat sahabatnya itu.

“Yah, aku sih mau-mau saja,” balas Rikof sekenanya, “tapi, bagaimana dengan yang lain?”

“Persoalannya begini…. Lomba ini bakal memakan waktu yang lama. Setelah aku pikir-pikir, setidaknya, bisa menghabiskan sisa umur kita!” kata Ardiat dengan suara yang agak ditekan.

“Betul. Kalau cuma lomba panjat pinang, aku mah optimis menang!” sahut Faredam seraya terkekeh-kekeh.

Kelima pemuda itu diam serempak. Mereka mencoba mengamati gerak-gerik satu sama lain. Aroma tembakau kian mengepul setelah Rikof, laki-laki paling kalem di tongkrongan itu, membakar kreteknya. Sementara itu, di seberang beranda warung kopi tampak jalanan yang semakin lengang.

“Son, bagaimana cara agar kita bisa mengalahkan para elite politik itu? Orang-orang kaya itu?” akhirnya suara Nagorei memecah kebuntuan, “kita ini, kan, pengangguran. Rasanya mustahil.”

“Caranya cukup sederhana. Masa, belum mengerti juga?” tegas Sonad, “kita tinggal mengalahkan jumlah barang berharga dan mewah yang ada di rumah-rumah elite politik itu: mobil, motor, jam tangan, sepatu, wanita simpanan, pokoknya apa pun! Kita bisa memilih salah satunya.”

Kumpulan laki-laki itu saling berpandangan. Ada yang setuju, tetapi ada pula yang masih berkutat dengan kebimbangan. Sonad mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Faredam mengusap-usap dagu. Rikof memainkan korek. Ardiat bersenandung kecil. Sedangkan Nagorei hanya termangu menentang bermacam-macam stiker yang menempel di tiang listrik.

Selepas melakukan perdebatan sengit dalam batinnya masing-masing, mereka akhirnya bersepakat lalu berembuk menentukan target. Hal ini dilakukan guna menghindari perselisihan di kemudian hari. Menjelang subuh, para pemuda itu telah memastikan pilihannya. Sonad memilih untuk mengalahkan jumlah kendaraan, Ardiat dan Rikof mengincar koleksi jam tangan dan sepatu untuk ditaklukkan, sementara Faredam menetapkan hiasan magnet kulkas sebagai ambisinya.

“Kok, magnet kulkas?” tanya Rikof dan Ardiat berbarengan.

“Ya. Sebab, jumlah magnet kulkas haruslah berbanding lurus dengan seberapa kali seseorang melancong ke mancanegara. Hohoho!”

Namun demikian, Nagorei masih dilanda kebingungan. Ia urung mengambil keputusan. Pemuda berbadan kerempeng itu masih memandangi tiang listrik yang meringkuk di bawah cahaya kemerah-merahan. Sedari awal, Nagorei hanya mempunyai satu hasrat yang ia pendam rapat-rapat lantaran malu.

“Nah, jadi, apa pilihanmu?” teman-temannya menantikan jawaban Nagorei dengan penasaran.

“Aku ingin menaklukkan jumlah buku yang ada di rumah para elite politik itu.”

***

Di kota tempat Nagorei, Sonad, Rikof, Ardiat, dan Faredam tinggal, elite politik dipandang sebagai makhluk langit lantaran tak pernah menunjukkan batang hidungnya secara langsung selain di masa kampanye. Hingga lulus sekolah, mereka bahkan belum sekali pun melihat tampangnya kecuali di televisi, baliho, atau surat suara. Para elite politik itu secara luas dikenal gemar menimbun barang-barang elok nan mewah, siang-malam, hampir tanpa jeda. Ibarat semut yang tak bosan menggerogoti gula. Ya, elite politik itu doyan hidup glamor dan hobi menggeluti rutinitas yang serba-eksklusif.

Saking melangitnya tingkah dan perilaku para elite politik itu, masyarakat kota—yang umumnya hidup sederhana dan jauh dari sikap tamak—telah mewajarkan kekayaan para elite politik: kepemilikan bisnis yang menjamur, garasi yang disesaki mobil, jas hitam mengilap, ataupun lemari sepatu berisi Stefano Bemer. Warga kota percaya, tetek bengek soal kenaikan harga gas melon yang diperuntukkan bagi kaum miskin, bantuan langsung tunai yang tak seberapa, atau sumpeknya pusat perbelanjaan di masa-masa diskon hari raya tak akan ada dalam kamus para elite politik yang agung.

Dibandingkan dengan keempat sahabatnya, pilihan Nagorei memang sangat kontras. Dalam batinnya, ia tentu ingin sekali memenangi lomba tersebut karena yang dipertaruhkan adalah harga diri. Tapi di sisi lain, ia juga sangat ingin melampaui para elite politik dalam urusan jumlah buku. Nagorei ingin buku-bukunya mengungguli deretan buku yang terserak di rak-rak tinggi milik para elite politik yang lazimnya berdampingan dengan foto presiden dan wakilnya. Ia ingin kediamannya dihuni ribuan sampul buku yang lahir di setiap generasi.

Laki-laki berkumis tipis itu selalu berhasrat untuk mempunyai sebuah lemari buku raksasa yang biasa menjadi latar tempat para elite politik mengambil foto dan diedarkan ke publik.  Bagi Nagorei, itulah kompetisi sesungguhnya. Nagorei sudah jemu melihat kelakuan para elite politik di kotanya yang membiarkan buku-buku tebal yang berjejal di rak tanpa tersentuh, apalagi hanya digunakan sebagai properti set belaka. Dasar sableng, umpatnya dalam hati. Menurut pemuda ambisius itu, debu yang membungkus buku adalah nista yang harus lekas-lekas dibersihkan.

Andaikan dirinya diberi ribuan kematian, Nagorei cuma membayangkan jasadnya direbahkan dalam peti bertuliskan, “Di Sini Terbaring Pecinta Aksara dan Pembunuh Kebodohan” di seluruh ajalnya. Maka demi menggapai cita-citanya yang absurd itu, Nagorei memutar otak. Ia harus menerima kenyataan bahwa mengumpulkan buku sama dengan menguras isi dompet. Sebab, jangankan membeli buku, sabun batangan saja sering kali ditimpanya supaya irit. Oleh karena itu, Nagorei meneguhkan hati untuk bekerja super keras bagai kuda-kuda di Animal Farm-nya Orwell yang sudah ia tamatkan belasan kali.

***

Tahun demi tahun berselang. Nagorei sudah mengumpulkan modal yang dirasa cukup untuk mengimbangi pencapaian Sonad, Ardiat, Rikof, dan Faredam yang masing-masing juga telah mengumpulkan barang mewah sebagaimana yang mereka incar saat lomba baru saja dimulai.

Di lokasi yang sama, yakni di beranda warung kopi tempat mereka kerap bercakap-cakap, lima sekawan itu menguraikan prestasi mereka dalam mengalahkan para elite politik. Beraneka macam kudapan pun dipesan untuk mengarungi malam: roti bakar, pisang rebus, mi goreng instan, dan sebagainya.

Cerita dimulai dari Sonad yang berhasil memarkir kendaraan luks di garasinya, diikuti Ardiat yang mengoleksi puluhan jam tangan dan Rikof yang menimbun sepatu mahal, lalu Faredam yang mengumpulkan ratusan magnet kulkas. Dengan demikian, Sonad, Rikof, Ardiat, maupun Faredam resmi menjadi peserta lomba dengan pengeluaran terbesar.

Kini, tiba giliran Nagorei untuk menuturkan pencapaiannya dalam menaklukkan jumlah buku milik para elite politik, sebagaimana yang dicanangkannya dulu. Walaupun sadar akan minimnya kocek yang ia habiskan dibanding kawan-kawannya, Nagorei tetap saja berbangga atas kesuksesannya.

“Rei, kamu ini aneh juga, ya,” sergah Rikof sambil melumat pisang bakar yang baru saja dihidangkan, “memang zaman sekarang masih ada orang yang suka baca buku?”

“Lagi pula, kalaupun masih ada yang suka membaca, orang-orang akan menyimpan bukunya di gawai. Pakai aplikasi!” kata Sonad yang sesekali mulai menguap.

“Maaf, kalau boleh tahu, apa manfaat yang bakal kamu peroleh dari pencapaianmu itu?” ujar Ardiat dengan suara yang agak ditekan, “kalau kita, kan, jelas. Barang-barang yang kita kumpulkan punya nilai investasi di masa mendatang.”

“Sobat, apa yang bakal kamu perbuat terhadap seluruh buku tersebut?” tanya Faredam seraya menggeleng-gelengkan kepala, “memangnya bisa dibaca semua?”

Nagorei tak merasa terkejut mendengar respons keempat temannya itu lantaran sudah ia prediksi jauh-jauh hari. Ia lantas menyiapkan kalimat untuk menerangkan setiap detail dari sepak terjangnya itu.

“Adalah suatu kebodohan bila ada pemikiran bahwa kita harus membaca semua buku yang dibeli. Ini sama bodohnya dengan mengkritik mereka yang membeli lebih banyak buku daripada yang bisa mereka baca. Hal ini sama saja dengan mengatakan bahwa kita harus menggunakan semua peralatan makan atau gelas atau obeng atau mata bor yang telah dibeli sebelum membeli yang baru.”

“Maksudnya, bagaimana?”

“Ada beberapa hal dalam hidup yang harus selalu kita miliki, meskipun kita hanya akan menggunakan sebagian kecilnya saja.”

“Lantas?”

“Jika, misalnya, seseorang menganggap buku sebagai obat, ia memahami bahwa akan lebih baik untuk mempunyai banyak buku di rumah daripada sedikit: ketika ingin merasa lebih baik, maka ia segera mengunjungi ‘lemari obat’ dan memilih buku yang paling cocok. Bukan buku yang sembarangan, melainkan buku yang paling tepat untuk saat itu. Itulah mengapa seseorang harus selalu memiliki pilihan nutrisi, bukan?”

“O….” ucap keempat pemuda itu serentak.

“Mereka yang hanya membeli satu buku, hanya membaca buku itu dan kemudian membuangnya, mereka hanya menerapkan mentalitas konsumen pada buku, yakni menganggapnya sebagai produk konsumen, sebuah barang. Mereka yang mencintai buku tahu bahwa buku bukanlah sebuah komoditas belaka.”

“Selanjutnya apa, Rei?”

***

Seorang politisi sedang terbaring lemas di kursinya. Kuku-kukunya bergemeletuk di atas meja. Matanya nyalang. Napasnya berat hingga hidungnya mendengus. Harinya kian kusut bila mengingat kegiatan di sepanjang siang. Ia baru saja melakukan safari politik ke para seniornya untuk meraup dukungan di masa pemilihan kelak. Sambil meneguk anggur keluaran Château Margaux, dilihatnya sepucuk surat tak bertuan di atas meja yang berada tepat di samping sebuah plakat akrilik dan bendera kecil. Ketika dibuka, hanya terdapat tiga kalimat yang termaktub di dalamnya:

Harus ada pertanggungjawaban di setiap cinta yang telah direbut! Tertanda, N.

“Surat apa sih ini? Kok buku? Cinta? Apa pentingnya sampai bisa masuk sini?” politisi itu mengernyitkan kening dan berseloroh, “he, sekretaris! Cepat ke sini!”

“Ada apa, Tuan?” jawab sekretaris.

“Ini surat dari mana? Apa artinya ini?”

“Oh, barusan ada yang mengantar, Tuan. Tidak tahu siapa.”

“Tidak menyebutkan nama?”

“Tidak, tapi dia juga membawa 10 karung buku. Katanya buat di sini. Lumayan banget, kan?”

“Jangan-jangan ini santet? Bahaya betul! Ini kan salah satu cara kirim santet. Aduh! Cepat, panggil Mbah Kuyung, suruh datang kemari.”

“Tuan ini ngomong terlalu jauh. Ingat, buku-buku di ruangan ini, kan, sudah habis dimakan rayap. Tidak terurus! Anggaran kemarin pun sudah hampir ludes karena perjalanan dinas dan bisnis. Hemat saya, sebaiknya disimpan saja, Tuan.”

Belum sempat sang politisi mencerna kabar itu, tak lama berselang, fotografer langganannya memasuki ruangan dan menyela pembicaraan runyam tersebut.

“Sudah siap, Pak? Latar belakangnya seperti itu saja? Atau mau ditata lagi?” tanya juru potret resmi itu sambil menyiapkan perangkat, sambil sesekali mengecek jambulnya yang klimis.

Hmmm, sekretaris! Bawa buku-buku itu ke sini dan susun semua di rak. Yang rapi! Supaya jadi background,” desak politisi itu sembari menggaruk-garuk kepalanya.

Sejurus kemudian, sang politisi duduk tegap, merapikan dasi, melipat tangan, menegakkan telinga, memakai kacamata, mengibarkan senyum, dan menyorotkan tatapan ke kamera. Klik! Sebentar lagi, masa kampanye akan tiba.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Faisal Akbar
Faisal Akbar Penggemar kretek, pemuja sepak bola indah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email