Laki-laki kelahiran 2001. Boleh kasih bacotan di @paa_litoo

Perjamuan Perawan

Palito -

3 min read

Aku tidak ingat bagaimana aku sampai di tempat asing ini.

Sebelumnya, aku masih berada di kamarku yang bernuansa merah muda, duduk di tepi kasur dengan gaun selutut biru pirus dan sepasang sepatu pantofel hitam membungkus kedua kaki. Di salah satu tanganku, sebuah gelas kosong yang isinya sudah kuteguk sampai tandas, lalu memandangi langit-langit yang retaknya halus-kasar membentuk pola seperti peta nasib. Begitu cepat, pandanganku mengabur, perlahan-lahan dunia di sekitarku lenyap dalam kegelapan. Kepalaku terasa begitu berat, seakan ingin terlepas dari leherku. Sebelum aku sempat memahami apa yang terjadi, tiba-tiba … aku sudah di tempat lain—aku sudah berada di dalam ruangan yang begitu luas, lebih luas dari yang bisa diterima akal sehat, dengan meja panjang terbuat dari batu granit membelah ruangan seperti garis takdir yang tak bisa dilangkahi.

Tidak ada jendela, tidak ada pintu. Hanya dinding-dinding putih dingin tanpa batas dan cahaya yang datang entah dari mana, menerangi setiap inci ruangan tanpa meninggalkan bayangan sedikit pun.

Di atas meja, piring-piring kosong berbaris rapi. Patung lilin hewan laut mempunyai jenis kelamin manusia dan berkepala seperti manusia bersusun indah di meja. Gelas-gelas kaca dipenuhi cairan merah yang pekat—lebih pekat dari darah yang pernah kulihat di mimpi-mimpi burukku. Kursi-kursi berderet di kedua sisi meja, hanya sebagian yang terisi. Sosok-sosok yang duduk di sana tidak bergerak. Wajah mereka datar dan bersetelan serba hitam. Mereka tidak mempunyai mata, tapi tatapan itu terasa nyata—menusuk kulitku, menghujam jiwaku.

Di ujung meja, seseorang duduk tenang. Dia tidak bercahaya, tidak berjanggut, tidak seperti yang sering digambarkan dalam kitab-kitab. Dia hanya seorang pria tua biasa—atau mungkin tidak biasa. Jubah putih yang dikenakan terlalu bersih, seakan menolak disentuh oleh dunia nyata. Kain panjang yang di bahunya tampak tegas, tapi ada bekas jeratan di lehernya. Di tangannya dua dadu kecil diputar-putar dengan lincah, seperti benda itu telah menjadi bagian dari dirinya.

“Selamat datang,” ucapnya dengan suara datar, tenang, seperti seseorang yang tak terburu-buru oleh waktu. Seolah dia telah menyaksikan adegan ini berulang kali.

Aku berdiri kaku, tubuhku terasa seperti beban yang tak ingin dijinjing. Pria itu mengangkat telunjuknya dengan gerakan halus, menunjuk ke kursi kosong di hadapanku. “Silakan duduk,” katanya, seperti tuan rumah yang menjamu tamu istimewa. Hanya saja, tidak ada kehangatan dalam suaranya, tidak ada rasa hormat. Hanya kepastian mutlak.

Aku menarik salah satu kursi itu dengan gerakan berat, seolah ada tangan dari makhluk halus menahannya atau mungkin menahanku. Aku mendaratkan bokong meskipun seluruh tubuhku memberontak, ingin melarikan diri dari tempat ini.

Pria tua itu—atau siapapun dia—berdiri perlahan, mengangkat gelas di tangannya. Kulihat di kedua matanya hanya lubang kelabu yang dalam seperti sumur yang tak lagi menampung air. Dia berhenti di sampingku, menuangkan seluruh isinya ke piring kosong di depanku. Cairan merah itu mengalir dengan lambat, tidak memercik, tidak membasahi permukaan piring. Genangan itu tampak seperti lubang yang membawa ke tempat lain.

“Ini tradisi manusia,” katanya singkat. Lalu dia kembali ke kursinya, menatapku seperti menunggu sesuatu.

Aku menatap genangan merah itu. Warnanya begitu pekat, lebih dari sekedar cairan. Ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang hidup. Di bawah permukaan, aku melihat pergerakan kecil, seperti kelopak mata yang hampir terbuka. Dadaku mulai berdenyut nyeri, bukan seperti jantung yang berdegup kencang, tapi ada sesuatu yang lain seperti sesuatu yang lain—sesuatu yang merayap naik dari dalam tubuh, mendesak untuk keluar.

Kemudian, aku melihatnya.

Wajahku sendiri menatap balik dari dalam cairan itu. Tapi itu bukan aku. Matanya lebih gelap, lebih dingin, lebih kosong. Senyumnya bukan milikku. Bibir itu bergerak, mengucapkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Namun, aku merasakannya. Suaranya menusuk langsung ke dalam pikirannku, membelah setiap lapisan kenyataan yang kupegang erat.

Aku mencoba berpaling, tetapi seluruh tubuhku membeku. Suara-suara di sekitar ruangan mulai terdengar. Sosok-sosok tanpa wajah itu kini berbisik, mantra-mantra asing mengalir dari mulut yang tak ada. Suaranya penuh kegembiraan dingin, seolah mereka merayakan sesuatu yang tidak aku pahami.

Aku mendongak, mencari pria itu. “Apa yang kau lakukan padaku?” tanyaku dengan suara parau.

Dia tersenyum tipis, tanpa belas kasih. “Aku tidak melakukan apa pun,” ujarnya. “Kau hanya menyelesaikan siklusnya.”

Aku menggeleng, mencoba menolak kenyataan yang mulai menyelinap ke dalam pikiranku. “Tidak,” kataku. “Aku tidak memilih ini.”

Dia menghela napas kecil, seperti seseorang yang sudah terlalu sering mendengar bantahan yang sama. Dia meletakkan gelasnya, lalu bangkit dari kursinya. “Kau sudah meminumnya,” katanya sambil melangkah pergi.

Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak pernah menyentuh anggur itu. Tapi ketika aku menoleh ke piring di depanku, cairannya telah lenyap.

Aku menelan ludah. Ruangan ini semakin terang, begitu terang hingga membuat mataku perih. Aku mengedip, mencoba menyesuaikan diri. Dan saat aku membuka mata, dia sudah tidak ada.

Tamu-tamu tanpa wajah kini duduk diam di kursi-kursi mereka, tidak lagi berbisik, tidak lagi bergerak. Aku tidak melihat mata di wajah-wajah kosong itu, tapi sesuatu yang tak kasatmata tetap menyelusup ke dalam kepalaku, menungguku untuk menyadari sesuatu yang belum kupahami.

Aku merasakan sesuatu di jemariku, halus dan dingin, seolah telah menjadi bagian dari diriku sebelum aku menyadarinya. Aku melihat ke bawah.

Dadu.

Dua dadu kecil, putih, dengan angka-angka yang tidak bisa kubaca. Aku tidak ingat kapan aku mengambilnya. Aku tidak ingat mengapa aku menggulirkannya di antara jari-jariku, seperti kebiasaan yang telah kulakukan sepanjang hidupku, padahal aku yakin ini pertama kalinya aku menyentuhnya.

Aku mendongak. Ujung meja yang tadi kosong, kini seseorang duduk di sana. Seorang gadis. Bola mata yang besar menatapku penuh kebingungan yang anehnya terasa familiar. Dia terlihat seperti seseorang yang telah diundang ke tempat yang tidak pernah ia bayangkan, seperti seseorang yang tidak tahu apa yang menunggunya.

Tanganku terangkat sendiri, seperti boneka yang benangnya ditarik dari tempat yang tak terlihat. Suaraku keluar, bukan dariku, melainkan suara yang lain yang diucapkan entah siapa.

“Silakan duduk.”

Dan aku melihat sebuah meja panjang yang sama, kursi-kursi yang sama, tapi aku tidak duduk di tempatku tadi. Aku sudah di ujung meja.

Di luar ruangan ini, kehidupan manusia masih bergulir tanpa akhir. Seperti dadu yang dilempar, menggelinding dan mengulang.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Palito -
Palito - Laki-laki kelahiran 2001. Boleh kasih bacotan di @paa_litoo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email