Mahasiswa Doktoral Ilmu Pendidikan Bahasa, yang berasal dari Gorontalo dan sedang berdomisili sementara di Yogyakarta.

Dosa yang Kau Sembah di Malam Hari dan Puisi Lainnya

Salman Alade

4 min read

Setengah Tobat

Di jalan gelap, aku dulu menari,
bersama lampu-lampu yang silau menghujani,
lipstik merah, bedak tebal,
membungkus dosa yang manis di bibir ini.

Lalu datang mereka,
berjubah putih, bersorban suci,
menarik tanganku ke barisan rapi,
katanya, di sini surga lebih dekat,
di sini Tuhan lebih hangat.

Aku ikut, bukan karena yakin,
tapi karena ingin tahu,
mungkin kodrat yang dulu terkubur
bisa kupahat kembali.

Lalu aku bertemu dia,
perempuan yang wajahnya tersembunyi,
tapi matanya seperti jurang,
yang menenggelamkanku tanpa tanya.

Kami menikah,
kami bersanggama,
kami punya anak yang memanggilku Abi.

Tapi Tuhan tahu,
iblis yang kubunuh belum mati.

Ada sesuatu yang masih bernyanyi
dalam darah ini,
suara manja yang dulu kubiarkan hidup
mulai mengetuk pintu,
menuntut haknya kembali.

Maka di rumah aku lelaki,
di luar aku ratu,
mengenakan bulu mata dan parfum murah
di lorong-lorong gelap yang pernah jadi altar.

Aku masih bersujud,
aku masih mengucap doa,
tapi setelahnya, aku menjual diriku lagi.

Dan dia mengerti,
perempuan bercadar yang kupanggil istri
hanya diam, tanpa isak, tanpa suara,
mungkin hatinya sudah jadi belukar dan tanah,
tanpa bunga, tanpa akar, tanpa madah.

Aku ini siapa?
Lelaki atau ilusi?
Aku ini apa?
Tobat atau tipu daya?

Aku menunggu,
entah neraka atau pelukan-Nya,
tapi yang pasti,
aku masih menari.

Setengah Tobat, Sepenuhnya Dosa

Aku menikahi seorang lelaki,
begitu katanya.

Lelaki yang katanya sudah pulang,
sudah bersih, sudah bertobat,
sudah membuang masa lalu di sudut-sudut gelap
yang dulu memanggil namanya.

Tapi aku tahu bau yang melekat di tubuhnya,
bukan keringat pekerja keras,
bukan sisa dupa dari rumah ibadah,
tapi aroma dosa yang manja,
lengket seperti bekas lipstik di leher
yang buru-buru dihapusnya sebelum subuh.

Ia pulang ke rumah membawa sajadah,
tapi tumitnya masih terseret ke lorong yang sama.

Ia mencium keningku dengan doa,
tapi bibirnya masih menyesap godaan
di tubuh yang bukan milikku.

Di ranjang, ia suamiku,
dengan tangan yang lihai menuntaskan tugasnya,
dengan desahan yang terasa seperti sandiwara.

Di luar, ia kembali menjadi ratu
dengan tumit tinggi dan mata penuh tipu.

Lalu saat fajar tiba,
ia mencuci dosa dengan air wudu,
seolah Tuhan pun bisa ia kelabui.

Aku istri dari lelaki yang setengah pulang,
yang menjadikan tobat sebagai kostum,
dan menjadikan aku sebagai tameng
agar dunia percaya ia telah kembali.

Aku tahu.
Aku tahu semuanya.
Tapi aku hanya diam,
sebab dosa yang paling menyakitkan
adalah saat kau tahu kebenaran,
tapi memilih pura-pura buta.

Abi yang Selalu Pulang Pagi

Abi selalu wangi saat pulang,
katanya dari masjid,
katanya habis berdoa,
katanya Tuhan sayang pada orang-orang yang bertobat.

Abi selalu bawa oleh-oleh,
kadang permen, kadang mainan,
kadang baju baru yang entah kenapa
bau bedak seperti milik Ibu.

Abi selalu tersenyum pada kami,
tapi matanya sering redup,
seperti habis berlari jauh,
seperti menyembunyikan sesuatu
yang tak boleh diceritakan.

Abi selalu bicara tentang surga,
tentang jalan yang lurus,
tentang dosa yang harus dijauhi.

Tapi aku pernah melihatnya di luar sana,
di tempat yang Ibu bilang kami tak boleh pergi.

Abi tertawa,
duduk dengan lelaki-lelaki yang aku tak kenal,
tangannya melayang, suaranya berubah,
senyumannya lain, bukan yang biasa ia berikan pada Ibu.

Aku bertanya pada Ibu,
Abi kenapa?
Ibu diam.
Ibu tersenyum.
Tapi matanya seperti hampir pecah.

Abi selalu pulang sebelum pagi,
menggendongku ke kamar,
mencium keningku dengan bibir yang gemetar,
seolah ada sesuatu yang ia takuti lebih dari Tuhan.

Ayat di Bibir, Nafsu di Tumit

Di atas sajadah, aku suci.
Lidahku melantunkan ayat-ayat,
Tuhan kusebut dalam napas yang rapi,
seolah aku benar-benar lelaki,
seolah dadaku tak pernah bergetar saat menatap wajah itu.

Tapi Tuhan tahu,
di balik doa yang khusyuk,
ada gemetar yang tak pernah diajarkan di kitab suci.

Ada debar yang tak boleh diucap,
ada rindu yang dikutuk sejak mula.

Aku berjalan dengan langkah berat,
di rumah, aku pemimpin.
Di luar, aku pelarian.

Tumit ini membawa dosa,
menuju tangan yang menghapus iman dari kulitku,
menuju bibir yang mencuri sujudku.

Aku lelaki, kata mereka.
Lalu mengapa dada ini lebih bergetar
pada yang sama denganku?
Mengapa aku harus menunduk saat nama Tuhan dipanggil,
sementara namanya kusebut dengan sorot yang sama?

Di jalan, aku mencari jawaban
di pelukan yang salah,
di ciuman yang terburu-buru,
di kamar-kamar sewa yang sunyi setelah pagi tiba.

Di rumah, aku berwudhu lagi,
kumur-kumur untuk membuang jejak semalam,
lantas berbisik dalam doa,
Tuhan, aku ini siapa?

(2025)

Dosa yang Kau Sembah di Malam Hari

Mereka bilang hujan telah reda,
bahwa langit telah kembali biru,
bahwa angin telah menyapu basah jalanan,
dan tak ada lagi warna-warna yang liar menari.

Tapi lihatlah di sudut-sudut kota,
di kelam gang sempit yang tak tersentuh doa,
di balik jendela-jendela yang selalu tertutup,
di lorong-lorong malam yang tak pernah tidur,
pelangi masih berbisik di antara bayang-bayang.

Mereka berjalan dengan tumit tinggi di atas tanah retak,
bersandar pada janji-janji yang tak pernah ditepati,
menyembunyikan nama asli di bawah kilau lampu,
tertawa dengan bibir merah yang gemetar.

Di negeri ini, mereka adalah rahasia
yang disimpan di balik pagar suci,
dipeluk dengan tangan yang gemetar,
ditolak di siang hari,
dicari di malam gelap.

Mereka bilang ini hanya badai sesaat,
bahwa jika doa cukup kencang,
warna-warna ini akan pudar.

Tapi pelangi tidak pernah benar-benar hilang,
ia hanya menunggu hujan berikutnya.

(2025)

Doa Tanpa Suara

Mereka bilang, di sini Tuhan lebih dekat,
doa-doa lebih cepat dijawab,
dosa-dosa lebih mudah luruh.
Maka dimasukkanlah anak-anak yang dianggap cacat,
agar sunyi pesantren bisa menyembuhkan mereka,
agar ayat-ayat suci bisa meluruskan yang bengkok.

Tapi siapa yang pernah bertanya,
jika yang bengkok dikurung dalam ruang yang sama,
akankah mereka menjadi lurus,
atau justru saling melipat lebih dalam?

Di kamar yang pengap oleh rahasia,
di balik jubah yang menyembunyikan segala,
jemari mencari tanpa suara,
napas bergetar tanpa nama,
bukan karena takut Tuhan,
tetapi karena takut ketahuan.

Malam-malam panjang mereka isi dengan tahajud,
dengan hafalan, dengan sujud,
dengan dada yang berdebar bukan karena iman,
tetapi karena lutut lain yang bersentuhan dalam gelap.

Lalu mereka tumbuh,
menghafal larangan untuk diri sendiri,
mengeraskan suara di mimbar,
menutup rapat aib yang tak boleh terbuka,
karena siapa lagi yang bisa bersembunyi lebih baik
daripada mereka yang lahir dalam bayang-bayang?

Dan orang tua masih percaya,
bahwa Asrama Doa adalah tempat yang menyembuhkan,
tanpa tahu, mereka sedang mengunci anaknya
di dalam Madrasah Malam,
di mana sunyi lebih pekat dari ayat-ayat yang dihafal,
di mana sujud tak selalu berarti tunduk,
di mana doa yang dipanjatkan
tak selalu sampai ke langit.

(2025)

Barak Tanpa Tuhan

Di gerbang itu, mereka dijemput takdir,
digiring ke ruang tanpa cela,
diukur, ditakar, dikuliti dengan mata,
seolah tubuh adalah satu-satunya yang bisa dihitung.

Maka mereka berdiri, satu per satu,
dalam sunyi yang dingin dan telanjang,
tak ada malu, tak ada batas,
hanya tatapan tajam yang membaca tanpa suara.

Lalu mereka dilempar ke besi-besi aturan,
ke ranjang-ranjang yang sejajar,
ke malam-malam yang memisahkan jarak
dari dunia yang pernah mereka kenal.

Kesetiaan diuji bukan dengan sumpah,
tetapi dengan sepi yang mendera dada.

Malam-malam panjang dilalui,
dengan tubuh yang bergesekan dalam gelap,
dengan napas yang tertahan di antara dengkur,
dengan genggaman yang tak selalu pada senapan.

Mereka yang dulu berdiri tegap,
perlahan merunduk dalam diam,
sebab hasrat tak mengenal barisan,
dan mata yang terbiasa melihat yang sama
mulai mencari kehangatan dalam kebiasaan.

Esok mereka kembali ke dunia,
mengenakan gagahnya tanda kehormatan,
melatih sorot mata yang tegas dan tajam,
tetapi di balik seragam yang mereka kenakan,
tersimpan rahasia yang tak boleh disebutkan.

Dan negeri ini masih percaya,
bahwa disiplin adalah benteng moral,
bahwa sumpah adalah batas kesetiaan,
tanpa tahu, mereka telah membangun dinding
di mana sunyi bertemu sunyi,
dan lelaki belajar mencintai lelaki
tanpa perlu kata-kata.

(2025)

****”

Editor: Moch Aldy MA

Salman Alade
Salman Alade Mahasiswa Doktoral Ilmu Pendidikan Bahasa, yang berasal dari Gorontalo dan sedang berdomisili sementara di Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email