Silvia Utami. Lahir dan besar di Tangerang. Tengah menempuh pendidikan sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perempuan yang Menangisi Adik Lelaki Saya

Silvia Utami

3 min read

Saya lagi-lagi melihat perempuan itu menangis. Bulir demi bulir air yang mengalir dari kesejukan matanya membuat saya bertanya-tanya. Kenapa perempuan itu menangis? Adakah yang tahu mengapa perempuan itu menangis?

Usia saya yang saat itu masih sepuluh tahun belum bisa menerka apa yang membuat air di matanya mengalir. Mungkinkah jari kaki bagian kelingkingnya menabrak ujung meja, sehingga rasanya amat sangat menyakitkan? Atau, mungkinkah kerudung kesayangannya yang berwarna merah jambu itu menjadi gosong ketika ia menyetrika? Saya sepuluh tahun hanya bisa memikirkan alasan-alasan sepele ketika melihat perempuan itu menangis.

Belakangan, saya tiga belas tahun menyadari, alasan apa yang membuatnya saat itu menangis hampir di setiap harinya. Ternyata, itu adalah ulah adik lelaki saya yang satu waktu pernah berbuat salah kepada temannya, tetapi ia tidak mau meminta maaf. Tangisan perempuan itu juga terkucur ketika adik lelaki saya diberi hadiah oleh paman kami, tetapi ia tidak mau mengucapkan terima kasih. Namun, saya tiga belas tahun tidak habis pikir, mengapa hal sepele seperti itu membuat air matanya menggelinjang begitu deras?

Butuh waktu untuk mengerti mengapa hal yang menurut saya tiga belas tahun sepele itu benar-benar harus ditangisi. Saya tiga puluh lima tahun mengerti, perempuan itu menangisi adik lelaki saya karena menurutnya, adik lelaki saya tidak beradab, tidak memiliki hal yang menurutnya harus dimiliki oleh setiap manusia. Merasa gagal ia ketika melihat adik lelaki saya tidak mau meminta maaf dan tidak tahu berterima kasih.

Saya tiga puluh lima tahun tersadar, sebuah maaf dan terima kasih, saat ini harganya begitu mahal. Sangking mahalnya, berlian pun terkalahkan. Sesuatu menjadi mahal jika itu dianggap antik dan sedikit (susah ditemukan), bukan? Dan ternyata, kini, sebuah maaf dan terima kasih adalah hal yang paling antik juga hal yang paling sedikit dimiliki oleh kebanyakan manusia.

Saya tiga puluh lima tahun sangat bersyukur. Karena air mata yang perempuan itu kucurkan ketika sebuah maaf dan terima kasih tidak bisa diucapkan oleh adik lelaki saya saat itu, kini saya dan adik lelaki saya menjadi “laki-laki kaya”. Berkat tangisnya saat itu, kami—saya dan adik lelaki saya—sampai sekarang masih memiliki sesuatu yang amat berharga tersebut. Sesuatu yang nilainya mengalahkan berlian, sepercik kata maaf dan terima kasih.

Perempuan itu meninggalkan bekas yang begitu mendalam di dalam kehidupan saya. Tentu juga bagi adik lelaki saya. Kami berdua sepertinya sangat menyayangi perempuan itu. Namun, sayangnya, tidak ada satu pun kata sayang yang kami utarakan kepada perempuan itu. Apakah kami menyesal? Ya, saya dan adik lelaki saya sangat menyesal karena tidak pernah mengungkapkan rasa sayang kami pada perempuan itu.

“Jadi, siapa perempuan itu?” Tanya suara halus yang pelan-pelan masuk melalui celah di telinga saya.

Saya tersenyum sembari mengusap tangannya yang terasa panas, “Tanganmu panas sekali, Nduk?” Mimik saya langsung berubah pias, khawatir akan keadaannya.

“Saya cemburu! Perempuan itu begitu meninggalkan bekas padamu dan adik lelakimu. Tidak bisakah kamu memberi tahu saya, siapa perempuan itu?” Lagi-lagi saya tersenyum, wajah pias saya hilang seketika. Saya tidak menjawab pertanyaannya, saya justru bertanya balik padanya.

“Tahu kenapa saya menikahimu, Nduk?” Saya bertanya dengan mata penuh cinta yang saya tuangkan dengan penuh ke kedalaman matanya yang membuat saya betah berlama-lama berenang dan bermanja-manja di sana.

“Karena kamu mencintai saya?” Saya mengangguk. Sangat yakin.

“Jauh sebelum saya mencintaimu, saya memang sudah punya tekad untuk menikahimu!” Wajahnya tersipu, tapi penasaran yang terpancar dari mata indahnya tak bisa tertutupi. Saya mengelus atas kepalanya yang tertutup kain kerudung dengan begitu sayang.

Perempuan yang menagisi adik lelaki saya itu tak akan pernah bisa terhapus, baik dari ingatan, juga setiap detak yang muncul dari jantung saya. Saya meyakini itu sampai bila-bila. Dan sialnya, satu waktu temaram magrib di sebuah langgar, saya menemukan sosok perempuan lain yang tangisannya terlihat persis seperti perempuan yang menangisi adik lelaki saya. Saya sangat menyayangi perempuan yang menangisi adik lelaki saya, dan ketika saya menemukan sosoknya pada tubuh lain, saya memiliki tekad untuk menikahi dan mencintainya sampai akhir hayat saya.

“Kamu menjadikan saya perempuan kedua?” Air matanya yang sublim menetes. Wajah ayunya ia palingkan dari hadapan saya. Hati saya terenyuh, lagi-lagi karena air mata itu. Air mata yang membuat saya jatuh cinta padanya. Saya balikkan wajahnya untuk menghadap ke arah saya, dengan lembut pastinya. Tak akan saya biarkan kekasih saya terluka, bahkan oleh sehembus napas saya di hadapannya.

“Saya mencintaimu, dan itu adalah wujud yang hadir karena saya menyayanginya!” Semakin deras air mata yang dikucurkan olehnya tatkala mendengar jawaban tersebut.

Perempuan yang selalu menangisi adik lelaki saya tidak pernah saya temui lagi ketika saya berusia lima belas tahun. Saya dan adik lelaki saya, memutuskan untuk berhenti menemui perempuan itu semenjak ia mengabuli kehendak Yang Lain untuk meninggalkan kami. Sampai sekarang, kami, saya dan adik lelaki saya, tidak tahu apakah keputusan untuk berhenti menemuinya adalah keputusan yang benar atau salah.

Yang jelas, setelah perempuan itu meninggalkan kami, adik lelaki saya selalu menangis setiap hari. Saya sebagai kakak lelakinya bingung, amat sangat bingung. Kebingungan itu akhirnya menjadi hal biasa, dan kami sudah tidak apa-apa untuk hidup tanpa perempuan itu. Hingga kini.

“Saya ingin bertemu dengannya!” Bidadari saya tampaknya amat sangat cemburu. Saya akan mengabulkan semua keinginannya, tetapi untuk yang satu ini, sepertinya cukup berat. Saya tidak yakin, apakah saya bisa mengabulkannya atau tidak.

Kami—saya dan adik lelaki saya—memutuskan untuk tidak menemui perempuan itu lagi, karena kami saling mengerti bahwa kami amat sangat menyayanginya. Kami tidak ingin perempuan itu menjadi sedih ketika melihat kami menemuinya justru dengan jutaan air mata yang berderai begitu deras. Maka dari itu, kami lebih memilih untuk menjadi lelaki egois yang menahan rasa kangennya kepada perempuan itu, perempuan yang menangisi adik lelaki saya.

“Saya mungkin tidak bisa lagi hidup bersama kamu kalau kamu tidak mempertemukan saya dengan perempuan itu!” Ia mengangkat tubuhnya, langkah kakinya sangat buru-buru meninggalkan tempat yang ia duduki di sebelah saya.

Saya tiga puluh lima tahun bingung, amat sangat bingung. Kebingungan ini rasanya sama persis seperti saya lima belas tahun ketika adik lelaki saya menangis tidak henti-henti. Kebingungan yang harus saya hadapi dengan keluguan anak lelaki lima belas tahun kembali saya jumpai.

Haruskah saya tetap merahasiakan siapa perempuan yang menangisi adik lelaki saya itu? Atau, haruskah saya membawanya—bidadari saya, kekasih hati saya, istri saya—ke tempat ibu saya? Ke makam perempuan yang menangisi adik lelaki saya dengan kecantikan hatinya yang begitu tulus, dengan kesubliman air matanya yang menginginkan kedua anak lelakinya memiliki jiwa yang kaya, dan menjadi orang yang baik? Haruskah?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Silvia Utami
Silvia Utami Silvia Utami. Lahir dan besar di Tangerang. Tengah menempuh pendidikan sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email