seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Membongkar Naskah Akademik RUU IKN

Daniel Pradina Oktavian

2 min read

Undang-Undang IKN telah disahkan DPR. “Nusantara” dipilih Presiden Jokowi menjadi nama resmi IKN. Nantinya, wilayah administratif IKN akan berbentuk otorita yang akan dikepalai seorang kepala otorita.

Kini, perlahan, rencana migrasi besar-besaran ke wilayah IKN bertahap dilakukan. Menurut Naskah Akademik RUU IKN, timeline pemindahan cukup panjang, yaitu sampai 2045 yang terbagi menjadi lima tahapan. Kabarnya, malah mungkin dipercepat. Jokowi disebut memiliki ambisi khusus untuk mengadakan upacara bendera peringatan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 di wilayah IKN. Tepat dua bulan sebelum habis masa jabatannya sebagai Presiden RI.

Baca juga:

Pengesahan UU IKN bukan berarti segudang persoalan menjadi selesai. Deretan keanehan dan ancaman silih berganti bermunculan. Alih-alih mendapat jawaban, lagi-lagi publik dibenturkan dengan kegamangan pemangku kepentingan.

Sebut saja yang pertama soal munculnya Naskah Akademik RUU IKN. Banyak pihak mengkritik dokumen keluaran Kementerian PPN/Bappenas tersebut. Banyak yang menyebut, kualitasnya mirip makalah biasa dan terkesan asal tulis. Padahal, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011, Naskah Akademik merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Saya telah membaca Naskah Akademik RUU IKN yang dikeluarkan di laman resmi DPR RI. Banyak substansi aneh yang saya temukan. Padahal, tadinya saya skeptis terhadap penilaian negatif banyak orang.

Keanehan pertama dilihat dari halaman cover yang terbalik. Secara substansial, mungkin tidak terpengaruh. Tapi, kita dengan jelas dapat menilai keseriusan dan kepantasan penyusunan Naskah Akademik tersebut. Terlebih, itu adalah dokumen penting negara.

Selain itu adalah kajian teoritis. Tertulis dalam naskah tersebut, berbagai pendapat ahli mengenai definisi kota. Sayangnya, pengambilan teori difokuskan untuk mengutip pendapat ahli mengenai kota modern, berkelanjutan, dan berkelas internasional.

Model-model kota tersebut yang selalu ditampilkan Pemerintah ketika memamerkan grand design IKN ke hadapan publik. Memang juga disebutkan mengenai konsep Green City. Tapi anehnya, semuanya itu tak dengan jelas disebutkan penerapannya. Saya juga sulit menemukan alasan pemilihan Kalimantan Timur terkait terkait hal di atas.

Sebagai bagian dari produk akademik, ada istilah menggelitik yang dimunculkan dalam naskah tersebut, yaitu “… berdasarkan literatur kekinian”. Sampai saat ini, saya masih berusaha mencari definisi atau pemaknaan “literatur kekinian” di dalamnya. Sebab, istilah tersebut pun muncul tanpa ada catatan kakinya.

Sesuai ketentuan undang-undang, Naskah Akademik wajib mengandung pemaknaan filosofis, yuridis, dan historis. Ketiga aspek itu memuat narasi yang menjadi alasan penyusunan RUU. Namun, kembali disayangkan, narasinya hanya berupa cocokologi. Narasi itu ditulis tanpa analisis ilmiah sebagai jembatan berpikir.

Misalnya saja dalam paragraf yang mengandung kata “… penting untuk diuji adalah sejauh mana RUU tentang IKN tidak bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945”. Tanpa dibarengi metode pengujiannya, langsung disimpulkan “… jelas tidak ada satupun uraian Naskah Akademik ini pada bagian sebelumnya yang melanggar Pancasila”

Bukti-bukti di atas menggambarkan adanya pengabaian nyata terhadap cara berpikir ilmiah yang memerlukan metodologi yang jelas. Saya mengkhawatirkan kualitas undang-undang yang dihasilkan dari Naskah Akademik model seperti ini. Jangan-jangan Naskah Akademik tersebut hanya formalitas.

Baca juga: Ibu Kota Nusantara: Arogansi dan Kebodohan Politik Penamaan

Pemerintahan Otorita

Hal lain yang menjadi sorotan publik adalah bentuk pemerintahan IKN yang berupa otorita. Bentuk pemerintahan ini sejatinya tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan negara kita. Nantinya, otorita IKN akan diatur dengan pembentukan pemerintahan khusus. Hal ini juga tak sesuai dengan amanat Pasal 18b UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan, bahwa Indonesia mengakui pemerintahan daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota.

Berkenaan dengan hal itu, jabatan kepala otorita pun tak punya landasan hukum yang jelas. Apalagi, diwacanakan kepala otorita IKN dipilih dengan cara penunjukkan, bukan seperti kepala daerah yang dipilih melalui pilkada. Pun tak akan ada DPRD di wilayah IKN seperti di DKI Jakarta. IKN akan langsung diawasi oleh DPR.

Deretan wacana di atas tentu memiliki konsekuensi politik dan hukum yang panjang. Kekawatiran mengenai luasnya wewenang kepala otorita dan Pemerintah Pusat pun bermunculan. Salah satunya adalah akan adanya kesewenang-wenangan karena tak ada partisipasi publik yang jelas dengan tak adanya representasi politik.

DPR dan Pemerintah tak dapat serta merta memaksakan hal yang tak punya dasar hukum yang jelas. Perlu dilakukannya harmonisasi regulasi yang komprehensif. Sayangnya, dalam Naskah Akademik, tak dijelaskan juga mekanisme yang jelas soal ini.

Ini juga dikawatirkan dapat menimbulkan gejolak dalam koridor otonomi daerah. Selama ini, wilayah yang menjadi Ibu Kota Negara berstatus otonomi khusus. Belum jelas mengenai status pemerintahan khusus yang direncanakan. Jika setara provinsi, menjadi rancu jika pengawasannya dilakukan oleh DPR meskipun jabatan kepala otorita akan setingkat menteri.

Persoalan-persoalan fundamental ini kalah tenar dibanding informasi mengenai megahnya desain calon istana negara yang baru beserta calon kandidat kepala otorita. Rakyat selalu disuguhkan dengan keindahan, kemegahan, dan modernitas kota saja. Pemerintah memang gencar menempatkan diri sebagai arus utama yang dapat mengeluarkan informasi tentang IKN.

Padahal, beragam media telah mencoba menelanjangi berbagai sisi dari IKN; mulai dari lingkungan hidup, kepemilikan lahan, ancaman bencana alam, ancaman keamanan, dan hal-hal yang telah saya tulis di atas. Malahan, kredibilitas informasi yang dihasilkan banyak yang  dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Lagi-lagi, tampaknya pemerintah tak hanya akan menutup telinga mengenai aspirasi publik, meskipun dalihnya telah melibatkan publik. Tapi juga akan menutup logika masyarakat untuk mampu berpikir secara holistik mengenai IKN. Sepertinya, kritik masyarakat tentang IKN masih akan bernasib sama seperti sangkaan saya terhadap Naskah Akademik RUU IKN: ada tapi hanya formalitas.

Daniel Pradina Oktavian
Daniel Pradina Oktavian seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email