Pengadilan

Nuraisah Maulida Adnani

4 min read

Hujan mulai turun, Burung Kecil masih bertengger di dahan pohon, bulu-bulunya dipenuhi butiran air, matanya yang terpejam mulai terbuka perlahan, dia mengepak-ngepakkan sayapnya yang basah. Bisa saja dia terbang tapi tidak terlalu tinggi. Hujan mulai deras disertai angin kencang, burung itu memutuskan turun ke dalam sebuah lubang yang  terlihat aman dan hangat. Lubang itu terletak persis di bawah pohon, di sekitarnya terdapat rumput-rumput panjang menjuntai seperti benalu di pohon tempatnya beristirahat.

Memang benar dugaannya, lubang itu terasa hangat, tidak ada air hujan yang masuk, mungkin kerena posisi lubang yang serong atau mungkin karena hujan berangin yang membuat air hujan tak langsung masuk ke dalam tanah. Burung Kecil merasakan tanah yang memadat, semakin dalam tanah terasa licin karena lumut di sekitar. Tiba-tiba Burung Kecil tergelincir, badannya tergulung-gulung seperti kerikil yang ditendang, kepalanya berputar-putar, seperempat bulu-bulunya rontok. Hingga dia berhenti di luar lubang. Diperhatikannya sekitar tempat itu, rumput-rumput menjuntai, pohon besar yang kokoh, langit biru cerah, matahari yang bersinar terang, terdengar pula kicauan burung-burung lain yang belum pernah dia dengar sebelumnya.

Seekor kelinci menatap Burung Kecil dari dekat, semakin lama mata bulat hitam itu membesar dan membesar, terdapat kilauan misterius yang membuat Burung Kecil tidak takut padanya. “Bagaimana bisa kamu keluar dari rumahku?” tanyanya.

“Rumahmu?” Burung Kecil menoleh ke lubang itu, kemudian kembali melihat lawan bicaranya. Seekor kelinci coklat, kedua kakinya seperti rusa; langsing dan ramping, tangannya seperti kelinci pada umumnya, matanya yang bulat dan besar itu lama kelamaan mengecil, kedua telinganya mungkin tiga kali lipat dari telinga kelinci biasanya.

“Apa kamu tidak punya rumah? Tunggu dulu, dari mana asalmu? Aku tidak pernah melihat burung sepertimu, apa kamu termasuk jenis serangga pengganggu?”

Burung Kecil terdiam, dia bingung dengan pertanyaan kelinci aneh di depannya. Rumah, Burung Kecil selalu menganggap rumah adalah tempatnya beristirahat, dan tempat itu dapat di mana saja dan kapan saja. Dia berasal dari pedesaan, tapi lama kelamaan desa itu berubah menjadi perkotaan, mungkin jawaban sederhananya adalah dia berasal dari lubang tempatnya keluar. Bagaimana bisa kelinci aneh itu tidak pernah melihat burung biasa sepertinya? Padahal burung sejenisnya terdapat banyak sekali.

“G! G! Sini, apa kamu pernah lihat burung seperti ini?” tanya kelinci aneh itu mendongak.

Burung bersirip datang dari atas pohon, kepalanya sebesar buah mangga yang matang, namun badannya semakin bawah makin mengecil, sayapnya seperti ekor ikan, dan ekornya memang ekor ikan.

“KT, sudah kubilang berapa kali… jangan ganggu aku ketika sedang mengobrol dengan matahari.”

“Aku hanya ingin memastikan. Apa dia juga burung sepertimu? Wajahnya mirip kamu, tapi badannya berbeda sekali.”

“Apa kamu bisa terbang?” tanya burung itu.

Burung Kecil merentangkan sayapnya, dia baru merasakan ada luka di kedua sendi itu. Untuk saat ini dia tidak bisa terbang. “Aku bisa terbang, tapi sekarang tidak bisa. Ada luka di sayapku. Begini, aku bukan bermaksud keluar dari rumahmu, aku sangat bingung sekarang dan tak tahu mau menjelaskannya dari mana.”

“Kalau tidak bisa terbang berarti dia bukan burung, mungkin dia hanya agak cacat. Sudah, jangan ganggu aku lagi. Aku mau lanjut mengobrol dengan matahari,” burung bersirip terbang ke dahan pohon, makin tinggi tertutupi dedaunan hingga tak terlihat lagi.

“Dasar G, padahal aku hanya meminta tolong. Baiklah burung cacat atau apa pun namamu, rumahku adalah kekuasaanku, jika kamu keluar dari situ itu berarti kamu telah memasukinya. Dan masuk ke dalam rumah hewan lain adalah perbuatan tercela, ada banyak sekali barang-barang berharga seperti manusia yang tidak boleh disentuh. Astaga tidak semestinya aku menyebutnya, karena itu rahasia. Baik, lupakan itu. Intinya, kamu melanggar aturan, dan tiap pelanggar harus dihukum. Oleh karena itu, kamu akan kubawa ke pengadilan.”

“Tunggu dulu, bahkan kamu belum tahu tentang aku. Kujelaskan dulu—”

“Tidak perlu banyak penjelasan, kamu sendiri terlihat aneh, mencurigakan, jangan-jangan kamu berasal dari dunia lain, meminum ramuan buatanku atau apalah. Apa pun yang kamu lakukan itu adalah perbuatan yang keterlaluan. Aku ingin meminta perlindungan di pengadilan, dan kamu akan dihukum seberat-beratnya.” Kedua mata kelinci aneh membesar kembali, kilauan di matanya semakin banyak dan bersamaan dengan itu telinganya berdiri seperti pohon yang sedang tumbuh.

Segera kelinci berkaki rusa membawa Burung Kecil ke pengadilan. Karena  Burung Kecil berukuran kecil, jadi si kelinci hanya perlu menggenggamnya. Dalam genggaman itu Burung Kecil merasakan kehangatan bulu-bulu kelinci yang lembut. Cuaca yang cerah membuatnya mengantuk, tapi kantuk itu lekas sirna ketika dilihatnya hewan-hewan aneh yang lain. Ada kucing berkepala semut atau semut berbadan kucing, kuda kaki seribu, bebek berkaki laba-laba atau laba-laba berkepala bebek, dan semua hewan yang dilihatnya itu membuat Burung Kecil merasa pusing.

Burung Kecil terbangun, dirinya sudah berada di dalam gua. Di hadapannya terdapat kambing putih berkepala tiga—satu bermata putih, satu bermata ungu, dan satu lagi berwarna hitam, dan di sampingnya ada kelinci berkaki rusa yang beberapa kali membenarkan posisi telinga panjangnya yang susah masuk dalam gua.

“Begini Yang Mulia Z, aku ingin meminta keadilanmu atas kasus kami berdua,” ucap kelinci berkaki rusa dengan suara lembut. Kambing berkepala tiga memakan rumput di sekitar secara bergantian—dari satu kepala ke kepala lainnya. Masing-masing telinganya berdiri, dengan tatapan tenang seolah dia atau mereka sudah siap mendengarkan. “Aku KT, rumahku dimasuki tanpa izin oleh burung, maaf, burung cacat ini. Sepanjang hidupku, aku tak pernah menemukan makhluk asing dalam rumahku, tapi dia, maaf, burung cacat ini merusak segalanya. Rumahku tak lagi aman, aku pikir, maaf, burung cacat ini meminum ramuan berhargaku, barang-barang berhargaku, dan ciptaan lain yang sangat berharga tanpa sepengetahuanku. Yang Mulia Z, yang berada dalam rumahku sangatlah berharga, lebih berharga daripada diriku sendiri.”

Kepala kambing bermata putih menelan rumput, “La…lu?”

“Aku ingin keadilan dan perlindungan, aku ingin, maaf, burung cacat ini dihukum seberat-beratnya.”

Kepala kambing bermata ungu menelan rumput, “Kemu-dian?”

“Tunggu, aku ceritakan dulu bagaimana aku bisa keluar dalam rumahmu yang padahal aku tak tahu itu rumahmu. Begini kambing, maaf, Yang Mulia Z, aku bangun dari tidur, waktu itu hujan, jadi aku cari tempat berteduh, aku masuk dalam lubang, tak lama kemudian terpeleset, keluar dari lubang itu, dan bertemu dengan kelinci ini. Dia langsung menuduhku masuk dalam rumahnya, dan temannya yang juga aneh itu bilang bahwa aku burung cacat karena tidak bisa terbang. Aku bisa terbang, tapi karena terpeleset dan terbentur berkali-kali dalam lubang membuat sayapku terluka jadi sayapku ini tidak berfungsi.”

Kepala kambing bermata hitam menelan rumput, “Te…rus?”

“Tidak ada terusannya, ceritaku selesai,” ucap Burung Kecil. “Oh ya, terus kelinci aneh ini membawaku ke sini, dan aku berbicara denganmu.”

Ketiga kepala itu berunding, dia atau mereka saling mendekatkan kepala seolah mengirim sinyal satu sama lain. Mata kelinci berkaki rusa semakin membesar, kilauan di matanya seperti bintang di malam hari. Burung Kecil sekali lagi mencoba merentangkan sayapnya, rasa sakit di sendinya masih terasa.

Ketiga kepala kambing mulai berjauhan, kepala bermata ungu tetap tegak berdiri, sedangkan yang lain lanjut memakan rumput di sekitarnya. “Aku su-dah ber-diskusi deng-an diri-ku sen-diri, sebenar-nya urus-an ka-lian ti-dak ada urusan-nya deng-an-ku,” ucap kambing itu terbata-bata. Burung Kecil dan kelinci berkaki rusa menantikan kata-kata selanjutnya. “KT, si-ni.”

Kambing itu membisikkan sesuatu pada kelinci berkaki rusa, membuat tubuh berbulunya gemetar.

“Ka-mu yang la-in, si-ni,” ucap kepala kambing bermata ungu.

Burung Kecil mendekat, dilihatnya badan kambing itu makin membesar.

“Ma-suk ke da-lam lu-bang itu.” Kambing berkepala tiga menunjukkan sebuah lubang yang besar di dalam pojok gua. Burung Kecil memasukinya, semakin dalam lubang semakin gelap, namun tak lama kemudian dia menemukan sisi terang yang amat terang.

Burung Kecil mendengar kicauan aneh, tapi dia merasa telah mendengarnya. Dilihatnya burung bersirip sedang berkicau di bawah, itu adalah kicauan terjelek yang pernah didengarnya.

Mataram, Maret 2023

*****

Editor: Moch Aldy MA

Nuraisah Maulida Adnani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email