Pendekar dari Barat

Pandu Wijaya Saputra

4 min read

Kokok ayam sudah terdengar dari desa di utara, tetapi pertempuran yang berlangsung sejak dini hari tadi belum juga selesai. Dia masih berdiri di posisinya, dikepung puluhan orang bersenjata. Di belakangnya, anak sungai Gintung. Airnya berwarna merah. Jasad puluhan pasukan pemerintah yang telah dikalahkannya tergeletak di bibir sungai.

Laki-laki itu masih tetap tenang. Dia memperhatikan orang-orang yang bersiap menyerangnya. Total sepuluh prajurit. Orang yang sedang dikepung itu tersenyum seolah memberi pesan bahwa setelah ini giliran jasad mereka yang akan tergeletak menyusul kawan-kawan mereka. Rasa cemas dan takut tak bisa disembunyikan dari wajah para prajurit.

“Hidup abadi ksatria Dahana!” sang pemimpin pasukan yang berdiri lima meter di belakang para pasukan itu memekik mengobarkan semangat para prajurit.

Pemimpin pasukan berdiri bersama delapan orang lain. Lima orang memakai ikat kepala merah dengan lambang elang, mereka adalah prajurit elit kerajaan. Tiga orang mengenakan pakaian dan penutup wajah serba abu-abu. Ketiganya adalah pasukan rahasia.

Kesepuluh prajurit segera bergerak maju menyerang orang yang sudah berbulan-bulan dicari oleh pemerintah itu. Sebagian membawa tombak, sebagian menghunus pedang. Laki-laki itu menyatukan telapak tangan kanan dan kirinya. Seketika itu, kesepuluh pasukan terpental dan terjatuh. Darah muncrat dari mulut mereka.

Dia meloncat berputar di udara dan mendarat dekat pasukan elit. Mereka segera memasang kuda-kudanya. Sang pemimpin mengeluarkan senjata dari sarung di punggungnya. Sebuah tombak pendek bermata tiga. Para pasukan rahasia pun bersiap menyerang.

Pertempuran dengan jumlah yang timpang itu berjalan seimbang. Laki-laki tersebut bahkan mampu melumpuhkan dua pasukan elit. Namun sebuah pisau yang dilempar salah seorang lawan melukai paha kirinya. Itu adalah luka pertama yang diterimanya selama pertarungan tersebut. Dan itu cukup merubah keadaan. Racun dari pisau membuat kekuatan kakinya melemah.

Tombak bermata tiga menancap di dada. Dengan tangan kanan, dia menahan trisula itu agar tidak semakin menghujam ke dalam dagingnya. Sementara tangan kirinya mencengkeram salah satu leher lawan. Sejurus kemudian laki-laki itu jatuh dengan masih bertumpu pada kedua lutut.

“Menyerahlah!”

Seorang menghunuskan pedang ke lehernya dari arah belakang. Para prajurit menghentikan serangan. Mereka bisa merasakan pendekar dari barat itu sudah mulai kehilangan cakra kanuragannya.

***

Puluhan pasukan berjalan berderet masuk ke gerbang kota. Bersama mereka, sebuah kotak besi seukuran manusia tertutup kain. Itu adalah kerangkeng yang biasa digunakan membawa harimau yang ditangkap oleh raja. Namun kali ini kerangkeng itu berisi manusia. Tangan, kaki, dan leher orang di dalamnya diikat dengan rantai.

Para pasukan kerajaan yang menerima kedatangan rombongan itu bergidik. Warga yang menonton berbisik. Dia adalah Bajra, pendekar dari barat yang setahun ini menjadi buah bibir negeri Dahana karena telah mengalahkan banyak ksatria.

Sebelumnya, dia tidak pernah berbuat kejahatan atau melawan hukum. Tapi entah kenapa dia mulai menyerang prajurit kerajaan di perbatasan, bangsawan, dan pendekar-pendekar yang berafiliasi dengan kerajaan. Maka pemerintah Dahana mengambil sikap.  Butuh 40 prajurit yang terdiri dari prajurit pilihan, elit dan pasukan rahasia untuk menangkap Bajra. Sebuah pengepungan terbesar yang pernah kerajaan Dahana lakukan untuk menangkap satu orang saja.

Bajra turun dari kerangkeng lalu digiring masuk ke sebuah lorong. Itu adalah bangsal tempat tahanan berbahaya. Dengan tangan dan kaki terikat rantai, dia berjalan didampingi oleh dua pasukan elit. Para tahanan di sel yang dilewati bersikap waspada. Mereka tahu, orang yang sedang digiring itu bukan orang biasa.

Bajra ditempatkan di sebuah ruang sempit dengan pintu besi. Di depan ruang tahanannya, seorang prajurit muda ditugaskan khusus untuk berjaga. Di ruangan lembab dan gelap itu Bajra duduk di lantai tanah. Dia menunduk. Orang-orang yang tadi menggiringnya, juga prajurit muda yang menjaga pintu selnya, tak tahu bahwa saat ini senyum Bajra tersungging sangat lebar.

“Dua hari lagi kau akan dihukum mati, ” prajurit yang berjaga di depan selnya berbicara pada Bajra. Dia mencoba melihat ke dalam ruangan melalui jendela kecil pada pintu besi.

“Itu adalah hukuman atas kejahatanmu. Meski kau sangat sakti, tapi kerajaan memiliki prajurit-prajurit yang tak tertandingi,” tambah sang prajurit.

“Kau tak tahu apa-apa soal kesaktian, anak muda. Kau mau mencoba?” jawab Bajra.

Prajurit muda itu pun terdiam dan kembali pada posisi siaganya.

Bajra memang sengaja membiarkan dirinya kalah dan ditangkap untuk bisa masuk ke dalam wilayah kerajaan. Dia sedang mencari seseorang. Orang itu telah menghantuinya berbulan-bulan. Bajra bisa merasakan orang yang dia cari ada di area kerajaan ini. Dia yakin orang itu pun merasakan keberadaan dirinya. Sebelum hari eksekusi dilakukan, dia berharap orang yang dicarinya muncul.

Bajra adalah pendekar langka. Dia telah melampaui level kanuragan yang tidak mampu dicapai oleh pendekat biasa. Pencapaian ini dia dapatkan setelah bertapa dan mempelajari ilmu rahasia yang bahkan gurunya saja gagal menguasainya. Sejak saat itu, dia tidak terkalahkan. Bahkan tak sekalipun terluka dalam pertarungan. Dan hebatnya lagi, semakin dia bertarung, akan semakin kuat kesaktiannya.

Kesaktiannya pun terus meningkat. Hingga pada tahap tertentu, dia dapat merasakan sesuatu yang membuatnya cemas, takut, dan penasaran. Dia bisa merasakan cakra kanuragan yang kuat, mungkin setara dengannya, yang selama ini tidak terdeteksi. Selama setahun, dia mencari sumber cakra kanuragan tersebut. Dan di area kerajaan Dahana inilah akhirnya dia sampai.

***

Hari eksekusi tiba. Bajra sedikit gelisah dan marah. Dia tidak takut dengan eksekusi. Dia bisa dengan mudah  melarikan diri atau mungkin bisa mengalahkan seluruh pasukan kerajaan. Bahkan seandainya dia mati saat ini karena melawan seluruh kekuatan  pasukan kerajaan, Bajra akan mati dengan kekecewaan. Bukan karena kalah, tapi karena gagal melawan orang yang dia cari.

Bajra sudah digiring di atas tiang gantungan. Dua pengawal bertubuh kekar, beserta komandan pasukan elit berada di sampingnya. Kesabaran Bajra habis. Tiba-tiba, dua pengawal dan sang komandan pasukan elit mengerang kesakitan. Secara aneh, tubuh mereka muncul luka-luka cabikan seolah terkena sayatan pedang. Ketiganya terjatuh. Rantai yang mengikat kaki dan tangan Bajra pun patah dengan sendirinya.

Orang-orang yang menonton eksekusi panik. Mereka berteriak dan mulai berlarian. Sang raja yang menyaksikan pun terperanjat. Para pengawal inti segera memberikan perlindungan di sekeliling raja. Para prajurit terkejut dengan kejadian itu. Mereka segera merapat ke panggung eksekusi. Sekali lagi, Bajra dikepung. Kali ini dengan kekuatan penuh kerajaan.

Bajra mengeluarkan kesaktian utamanya. Angin di sekitarnya menjadi panas dan berputar kencang. Udara panas yang berputar itu bukan sembarang angin. Angin itu menjadi seperti pedang yang mencabik siapapun yang dikenainya. Dalam hitungan detik, puluhan pasukan yang mengepungnya terluka parah. Putaran angin panas meluas dan melukai semua pasukan kerajaan yang ada di lapangan eksekusi itu. Para pasukan yang baru datang kemudian menjadi ragu mendekat. Mereka ketakutan.

Sejurus kemudian, Bajra melompat berputar melewati pagar-pagar tembok istana. Kecepatannya tak mungkin bisa diikuti. Bajra berhasil pergi dari kompleks kerajaan Dahana dan menuju hutan. Dia berhenti saat sampai di lereng sebuah bukit. Bajra menyandarkan badan di sebuah pohon Trembesi. Dia beristirahat sejenak dan mengatur nafas.

“Hebat, tenagamu bisa pulih dengan cepat juga.”

Bajra terkejut. Dia segera bangkit dan mencari orang yang berbicara. Dilihatnya di balik pohon, seseorang dengan wajah tertutup berdiri di sana. Hanya kedua matanya yang terlihat.

“Siapa kau?”

“Aku kecewa. Rupanya kau tidak mengenaliku.”

“Pasukan rahasia Dahana? Kau punya nyali juga datang ke mari.”

Orang itu membuka penutup wajahnya. Bajra terkejut. Rupanya dia adalah pemuda yang menjaga ruang tahanannya. Seketika Bajra merasakan cakra kanuragan yang sangat kuat menekan energinya. Rupanya pemuda itu adalah orang yang dia cari. Selama ini dia menyembunyikan cakra kanuragannya.

Bajra bersiaga dan bersiap mengeluarkan kesaktian. Udara di sekitar memanas dan mulai berputar. Sang pemuda bergerak menyerang dengan cepat. Bajra tidak memprediksi serangan tersebut dan gagal mengantisipasi. Tangan pemuda itu sudah berada di kerongkongan orang yang telah memorak-porandakan kerajaan Dahana tersebut. Dia tahu inti jurus Bajra ada pada nafasnya. Bajra tak bisa berkutik. Tak juga bisa bernafas.

“Kau yang tidak tahu apa-apa soal kesaktian. Aku sudah menguasai jurus Naga Angin seperti itu saat masih 10 tahun.”

Bajra kehabisan nafas. Matanya membelalak. Pemuda itu menutup serangannya dengan sebuah sentuhan tangan di dada Bajra. Sentuhan yang langsung menghentikan jantungnya.

Di kerajaan Dahana, para prajurit yang tewas dikuburkan, yang terluka mulai diobati. Warga diminta tidak keluar rumah sementara waktu kecuali darurat. Prajurit berkeliling berjaga di sekitar kota kerajaan. Sementara itu, pihak istana berkumpul menyusun rencana mengamankan kerajaan dan juga menyusun strategi terbaik menangkap Bajra. Mereka tidak tahu bahwa tubuh buronan itu sudah tergeletak tak bernyawa di kaki bukit.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Pandu Wijaya Saputra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email