Di menit pertama, sunyi terasa begitu berat—bukan sunyi yang hening dan menenangkan, tapi sunyi yang mencekik, seperti udara yang mendadak hilang. Segalanya terasa beku dan bergerak lambat sekaligus. Waktu terus berjalan walau tanpa aku. Dunia tidak berhenti sejenak untuk sekadar memberi penghormatan. Waktu tak peduli, tak juga menunggu. Tapi nyatanya aku masih di sini, terperangkap dalam kesadaran terakhir, melayang di sudut ruangan, menatap tubuhku yang kini dingin dan tak lagi berfungsi. Mataku, yang tak lagi bisa berkedip, menatap kosong ke langit-langit—satu tatapan terakhir yang akan segera dilupakan.
Bau antiseptik memenuhi ruangan bercampur dengan aroma samar-samar obat dan ketegangan. Di sela-sela itu, terdengar isak kecil yang seolah berusaha ditahan. Suara itu dari orang yang takut suaranya terdengar terlalu keras. Air mata mengalir perlahan, menetes dengan malu-malu, seolah mengerti bahwa di rumah sakit, rasa duka harus dibatasi, dibungkus dalam kesopanan. Tidak ada histeria atau jeritan di sini. Ini bukan tempat untuk kehilangan yang terbuka dan liar—hanya perasaan yang ditekan dan diatur dengan rapi, agar tidak mengganggu ritme.
Para perawat bergerak cepat di sekitarku. Mereka menarik selimut putih di atas tubuhku dengan gerakan halus namun terbiasa, seperti sudah ratusan kali melakukannya. Wajah mereka datar, mata mereka tak menampakkan emosi apa pun. Ada keletihan di sana, bukan karena kesedihan, tapi karena rutinitas yang menumpulkan rasa. Bagiku, ini adalah akhir dari perjalanan panjang: kisah yang selesai, bab terakhir yang ditutup tanpa epilog. Tapi bagi mereka, ini hanyalah shift lain yang harus diselesaikan, kematian lain dalam daftar panjang yang tak terhindarkan.
Mereka tak berbicara satu sama lain lebih dari yang diperlukan. Tak ada obrolan tentang siapa aku, tentang kenapa aku di sini, atau tentang siapa yang menungguku di luar. Mereka mungkin sudah lupa namaku, bahkan sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangan ini. Aku hanyalah satu tubuh di antara banyak tubuh yang pernah mereka rawat, yang hanya singgah sebentar dalam hidup mereka. Mereka terbiasa menghadapi kematian—dan ketika kau terbiasa, kematian tak lagi terasa seperti sesuatu yang sakral. Bagiku, ini perpisahan terakhir; bagi mereka, hanya bagian dari pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum waktu makan siang tiba.
Aku ingin menjerit, ingin mengatakan, “Hei, aku masih di sini!”. Tapi tentu saja, mereka tak bisa mendengarku. Tidak ada suara di antara kami, hanya keheningan yang terasa kaku dan asing, seperti percakapan yang tertinggal di udara tetapi tak pernah diucapkan.
Waktu terus berdetak, ruangan terasa semakin sempit meski aku tahu itu tak mungkin. Di menit pertama setelah aku mati, aku belajar bahwa dunia tak pernah benar-benar berhenti, bahkan ketika seseorang di dalamnya pergi. Kehilangan adalah milik orang-orang yang ditinggalkan—bagi dunia, segalanya berjalan seperti biasa.
Lalu mereka datang. Satu per satu, wajah-wajah yang dulu selalu kupikir akan bersama selamanya. Ibu menubruk tubuhku, memelukku erat seperti aku masih bisa kembali jika dipeluk cukup kuat. Isaknya terdengar kasar, patah, seolah setiap tarikan napas adalah penghianatan pada takdir. Ayah duduk di sebelahnya, diam, hanya mengusap kepala Ibu. Air mata tak turun dari matanya—entah karena ia terlalu tegar atau terlalu bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi kurasa air matanya akan jatuh juga di malam pertama aku tak lagi di kamarku.
Teman-teman datang. Mereka terlihat kikuk, seperti anak-anak yang baru pertama kali melihat kematian begitu dekat. Mereka berdiri berjajar di tepi ruangan, beberapa kali saling bertukar pandang dengan wajah bingung, seolah bertanya dalam diam, “Haruskah aku menangis? Apakah menangis membuatku terlihat peduli?”. Sebagian berusaha bersikap seolah kuat, tapi ujung jari mereka gemetar, dan pandangan mereka tak pernah benar-benar berani tertuju pada tubuhku terlalu lama.
Salah satu teman paling dekatku mencoba menertawakan suasana, mengucapkan, “Kamu pasti sekarang lagi ketawa lihat kami begini, kan?”. Kalimat itu terdengar lebih seperti cara dia menyelamatkan dirinya dari perasaan canggung, bukan sesuatu yang benar-benar ditujukan untukku. Yang lain mendekat, menatap jenazahku dengan tatapan kosong lalu bergumam, “Kenapa kamu harus pergi secepat ini?”. Nada suaranya tak seberat kehilangan, lebih seperti formalitas yang diucapkan agar ada yang tersisa dari pertemanan kami. Ada pula yang berkata, “Kita masih punya rencana, tahu?”. Tapi kata-kata itu tak lebih dari upaya untuk mengisi kekosongan yang menusuk.
Aku tahu mereka berusaha. Mereka ingin hadir, ingin terlihat peduli, ingin memastikan bahwa pertemanan kami tetap ada bahkan setelah aku tiada. Tapi tak semua tangis sama kadar tulusnya. Di antara mereka, ada yang datang sekadar karena merasa berkewajiban. Mereka hadir bukan untukku, tapi agar tidak merasa bersalah di kemudian hari. Aku tak menyalahkan mereka. Kehilangan adalah perasaan yang rumit—tak semua orang tahu bagaimana mengekspresikannya, apalagi saat ia datang mendadak dan tak memberi kesempatan untuk bersiap.
Di antara mereka yang datang, ada satu yang berbeda. Dia tak banyak bicara dan hanya berdiri di pojok ruangan, mengamati dari kejauhan sambil menggenggam ponsel dengan erat tapi tak berusaha mengalihkan perhatian dari kenyataan di depannya. Matanya basah, tak ada isak, hanya tarikan napas panjang yang terasa berat. Aku mengenal tatapan itu—tatapan seseorang yang menyesal karena terlalu sering menunda, terlalu sering berpikir masih ada hari esok untuk sekadar mengatakan, “Aku sayang kamu”. Dia tak menangis keras-keras, tapi aku tahu, di balik ketenangan palsunya, ada luka yang mendalam. Itulah tangis yang tulus—kesedihan yang datang bukan karena kewajiban, tapi karena benar-benar merasa kehilangan.
Tak berselang lama, ia mendekat ke arahku yang sudah terbujur kaku. Seseorang yang hatinya tak pernah bisa kubaca sepenuhnya ketika aku masih hidup. Langkahnya ragu tapi cepat, seolah tak ingin terlalu lama di ruangan ini. Ketika dia berdiri di tepi ranjang, wajahnya tidak lagi menyimpan ketenangan yang biasa ia kenakan di hadapanku. Ia menggigit bibirnya keras-keras, lalu memejamkan mata, seolah mencoba menghentikan sesuatu yang tak mungkin tertahan.
Pada akhirnya dia menangis—bukan dengan suara keras atau drama. Tangisnya hanya berupa air mata yang jatuh tanpa suara, tapi aku tahu, itulah kesedihan paling tulus yang kutemui hari itu. Bukan tangis karena harus kehilangan, tapi karena ia menyadari ada banyak hal yang belum terucap, ada janji yang tak akan sempat ditepati. Ia dengan penyesalannya berbisik pelan, “Maaf aku telah menyakitimu, seharusnya aku yang menemanimu sampai sembuh, akulah penyebab sakitmu, maaf aku telah membuatmu menanggung banyak kesakitan”. Aku berdiri di depannya tapi tak terlihat olehnya, seakan ingin kuucapkan rasa terima kasih karena dia telah mengakui kesalahannya, karena dia sebenarnya masih punya perasaan setulus itu untukku.
Di jam pertama setelah aku mati, aku belajar bahwa kesedihan bukan soal seberapa keras orang menangis. Kesedihan adalah soal beban yang disimpan dalam diam—tentang harapan-harapan kecil yang hancur, tentang kata-kata terakhir yang tak pernah terucapkan.
Di jam pertama setelah aku mati, aku melihat siapa yang benar-benar merasa kehilangan. Ternyata, bukan mereka yang terdekat—melainkan mereka yang mencintaiku dalam hening dan tanpa pamrih.
*****
Editor: Moch Aldy MA