Mahasiswa Universitas Andalas

Pemuda Pemurung dan Pembunuh Bayaran

Ridho Daffa Fadilah

7 min read

I

Pemuda Pemurung bangkit dari tempat tidur setelah tiga jam bermenung tentang perkuliahannya yang hampir selesai, masa depannya, pekerjaannya kelak, dan bagaimana sekiranya dia akan mati—ia kerap memikirkan tentang ini belakangan. Yang terakhir itu kemudian mengingatkannya kepada salah satu penulis termasyhur yang diidolakan sahabatnya ketika mereka masih SMA. “Dia mati dengan gaya, Bung,” ucap sahabatnya tanpa menjelaskan gaya macam apa yang dilakukan si penulis. Kelak, bertahun-tahun setelah percakapan itu, si Pemuda Pemurung akhirnya tahu penulis yang mati dengan gaya itu bernama Ernest Hemingway.

Apakah aku akan merebut kematian dan membawanya ke liang lahat dengan gaya juga sebagaimana si Penulis mati, pikir si Pemuda. Kemudian ia sadar, kematian itu menyakitkan dan mengerikan sebagaimana diceritakan dalam kitab suci. Dan terkadang, dalam sujud dan doa-doanya yang paling khusyuk, atau yang ia anggap khusyuk, si Pemuda sering berharap dan meminta kepada Tuhan agar diberi umur panjang, bahkan, dalam waktu-waktu tertentu, hidup sehat dan abadi.

Tapi tidak ada yang abadi. Ia tahu itu.

Pemuda Pemurung berencana pergi ke minimarket untuk membeli kebutuhan utamanya setelah nasi, air, ponsel, dan kuota internet; ia ingin membeli rokok dan sebotol kopi. Maka, dengan kemalasan yang tak dibuat-buat, ia mandi dan berpakaian dan keluar kos dalam waktu hampir satu jam. Bukan waktu yang sebentar, memang, tetapi si Pemuda selalu memiliki alasan jitu yang membuat siapa pun orang bertanya, terutama kawan-kawannya, akan berharap waktu dapat diputar sehingga mereka lebih baik diam dan menunggu. “Kau tahu, aku mandi tidak sekadar mandi dan membersihkan diri, aku berkontemplasi.”

Baru dua menit berjalan, entah karena sibuk memutar lagu Queen of The South-nya The Panturas di dalam kepala dan menyebabkan ia kehilangan fokus atau hanya memang karena sifat alaminya yang ceroboh, si Pemuda tidak sengaja menabrak bahu seorang perempuan yang menyebabkan si Pemuda harus berdebat sedikit dengan perempuan itu. Alih-alih menerima permintaan maaf Pemuda Pemurung, perempuan tersebut malah mengabaikan permintaan maaf dan balik menuduh si Pemuda sebagai seorang mesum yang doyan catcalling.

Si Pemuda diam beberapa detik sambil menatap mata perempuan itu dan kemudian berlalu. Meladeni orang tak dikenal untuk berdebat adalah hal konyol, apalagi jika orang itu meyakini diri sebagai open minded padahal hanya tahu sedikit hal dan akhirnya cenderung sesat. Orang seperti itu baiknya dibenamkan dalam tong sampah, pikir si Pemuda.

Tak lama setelah mulai kembali berjalan menuju minimarket, si Pemuda teringat penampilan perempuan tadi. Menurutnya si perempuan memiliki penampilan yang ganjil. Perempuan itu rambutnya diikat poni, memakai riasan wajah ala gothic, dan memakai pakaian serba hitam. Sepatu sneakers berwarna hitam, kaus kedodoran berwarna hitam, celana berpipa lapang yang juga berwarna hitam, dan yang paling aneh: ia memegang pisang dan mempunyai satu tas rajut hitam kecil berisi pisang—Pemuda Pemurung memperkirakan ada tiga sampai empat pisang di sana. Seperti pembunuh bayaran, pikirnya. Sepersekian detik kemudian ia menyadari, apa pula hubungan seorang perempuan berpakaian serba hitam, pisang, dan pembunuh bayaran.

“Toh, kalau pun benar ia adalah pembunuh bayaran, jika korbannya belum ditakdirkan mati di tangannya, si korban akan terus mengukir kenangan di roda waktu. Baik yang indah maupun yang buruk sekali pun,” ucap si Pemuda kepada diri sendiri. Kenangan, sebagaimana diyakini si Pemuda Pemurung, adalah suatu hal yang cukup ampuh untuk membikin seseorang tetap waras, meskipun persoalan hidup datang dan meninju batang hidung sampai berdarah-darah.

Membutuhkan waktu dua belas menit bagi Pemuda Pemurung untuk sampai di minimarket. Ia tentu menyalahkan perempuan tadi yang jika saja langsung memaafkannya, pastilah membuat si Pemuda sampai lebih cepat dan sesuai perkiraan. Di dalam, si Pemuda mengambil sebotol kopi dingin dari mesin pendingin, pergi menuju kasir tanpa perlu antri (keadaan sedang lengang), memesan satu bungkus rokok Chief, mengeluarkan uang lima puluh ribu, dan mengambil kembaliannya. Di luar, setelah meloloskan sebatang rokok dan mulai memantiknya, si Pemuda Pemurung tiba-tiba teringat tentang sahabatnya dan betapa ia merindukannya.

Sebenarnya, hubungan si Pemuda dan sahabatnya bisa disebut agak lain, jika aneh terlalu kasar. Mereka hanya pernah bertemu sekali, di kantin, dan ngobrol sekali itu saja. Barangkali, hanya Pemuda Pemurunglah yang menganggap mereka adalah sepasang sahabat. Dalam pertemuan itu mereka ngobrol ngalor-kidul, panjang-lebar, berbagi rokok, dari jam istirahat sekolah sampai pulang. Ya, mereka bolos di sisa pelajaran yang ada. Mereka membicarakan mulai dari hidup masing-masing yang sama membosankannya sampai membayangkan bagaimana mereka akan mati satu sama lain. Mereka seperti sepasang pecundang yang ngobrol tentang hal-hal filosofis.

“Aku tidak ingin mati,” ucap Pemuda Pemurung.

“Kalau begitu, kau harus tahu bahwa manusia bisa mati dengan gaya.”

Tidak satu pun dari mereka menyangka bahwa itulah pertemuan pertama mereka merangkap yang terakhir. Hari berikutnya setelah pertemuan itu, si Pemuda mendapat kabar bahwa kenalan barunya, seseorang yang lebih suka dipanggil Julian meski nama aslinya Panjul, pulang ke kampung halamannya di pulau Sumatera dan menetap di sana mengikuti keluarganya.

“Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Nikmatilah hal-hal kecil dalam hidup, meski hidup berjalan seperti bajingan. Carpe diem!” demikian kalimat terakhir Julian alias Panjul yang mengaku mengutipnya dari penulis yang ia lupa siapa namanya. Berdasarkan pertemuan dan pengalaman pertama dan terakhir mereka, Pemuda Pemurung mantap menganggap Julian, atau Panjul, atau siapa pun sebutannya, sebagai sahabatnya.

Pada hembusan kelima, si Pemuda Pemurung mulai berjalan menyusuri trotoar yang lengang menuju kos. Sambil tersenyum kecil, ia menyadari bahwa takdir bekerja dengan cara yang tidak pernah disangka-sangka. Ia pun teringat betapa banyak orang yang mengesampingkan takdir, lebih-lebih ketika mereka berhadapan dengan persoalan hidup yang datang dan meninju batang hidung sampai berdarah-darah. Orang-orang yang kelewat optimis memang sering begitu, pikirnya.

Pemuda Pemurung memutar kembali lagu-lagu The Panturas di dalam kepalanya sambil menikmati rokok, tak menyadari seseorang berjalan ke arahnya dari arah berlawanan, dan dalam kecepatan yang cukup mantap, mencegat si Pemuda.

“Kau Pemuda Pemurung?”

 

II

Perempuan itu melihat jam yang berada tepat di dinding di belakang seorang kasir minimarket. Pukul dua belas lewat lima. Ia harus menyelesaikan tugasnya paling lambat pukul satu siang ini atau ia akan menerima akibatnya.

Perempuan itu bernama Taki. Taki menganggap dirinya adalah seorang pembunuh bayaran, meski sebenarnya ia hanya seorang mantan atlet bela diri yang kini bekerja sebagai tukang pukul. “Julukan pembunuh bayaran lebih keren, dibandingkan tukang pukul,” katanya suatu kali kepada pacarnya, Panjul.

“Kau pernah membunuh orang?” tanya Panjul.

“Belum. Aku belum berani membunuh orang. Membunuh orang berarti harus membayangkan bagaimana jika kita yang dibunuh. Dan kematian adalah satu hal yang menakutkan. Kau tahu, aku bahkan selalu berharap untuk tidak mati. Aku ingin hidup abadi.”

Tapi tidak ada yang abadi. Taki tahu itu.

“Kalau begitu, kau harus tahu kalau ada cara mati dengan gaya,” ucap Panjul sambil menghembuskan asap rokok dan tersenyum tanpa melihat ke arah Taki.

Taki tidak memiliki kepandaian apa-apa selain bela diri, dan untuk perempuan seusianya, dua puluh tiga tahun, tidak bekerja dan belum menikah adalah sebuah aib di kampungnya. Taki lemot dalam berhitung, ingatannya tumpul, Taki tidak suka ditekan orang, bahkan Taki tidak pandai melakukan pekerjaan praktis dasar yang setidaknya harus dimiliki setiap perempuan di seluruh dunia: Memasak. Taki pernah mencoba untuk memulai usaha jualan lontong sayur di pagi hari, tetapi kemampuannya dalam memasak lebih buruk dari kata buruk itu sendiri, dan tidak satu pun dari keluarganya pandai membikin lontong sayur kecuali ibunya yang meninggal seminggu yang lalu. Alhasil, dalam tiga hari berjualan, lontongnya hanya laku satu hari dan sisanya lengang belaka.

Menyadari nasib dan kepandaiannya dalam melakukan sesuatu adalah nihil, Taki memutuskan untuk pergi ke ibu kota dan menemui kenalannya dari Facebook, seseorang yang lebih suka dipanggil Julian padahal nama aslinya Panjul. Melalui Panjullah akhirnya Taki bertemu pimpinan tukang pukul termasyhur di ibu kota, Ajo Jojo, dan memeroleh pekerjaan yang sesuai dengan satu-satunya kepandaiannya.

Menjadi tukang pukul cukup mudah baginya. Ia hanya perlu mendatangi, sesekali membuntuti, dan menghajar targetnya sampai babak belur. Ini adalah pekerjaan paling menyenangkan di muka bumi, menurutnya. Tetapi ia belum pernah bertemu kliennya secara langsung karena mereka memesan jasa tukang pukul melalui Ajo Jojo. Kebanyakan korbannya adalah orang-orang tengik yang selalu beranggapan bahwa dunia di sekelilingnya berada tepat dalam genggamannya. Mereka seenak tahi kucing untuk mempermainkan orang-orang. Bermain-main dengan seseorang adalah tindakan tolol¸ pikir Taki.

Taki keluar dari minimarket setelah membeli lima buah pisang Cavendish kesukaannya. Empat pisang ia letakkan di dalam tas rajut kecil yang dibawanya, dan satu lagi hendak ia buka nanti di perjalanan. Ia menyenangi pisang karena selalu mengingatkannya kepada Panjul.

Taki mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan mengeluarkan sebuah foto polaroid yang memperlihatkan seorang lelaki yang wajahnya terlihat malas dan kurang gairah hidup. Di belakang foto itu terdapat tulisan: Met (As Pemuda Pemurung), 22th, kuliah, Kos Mantap jl. Paten nomor 20. Nomor kamar 13. Ciderakan sebelum pukul satu.

“Sepertinya akan mudah,” katanya pelan pada diri sendiri, melihat targetnya tidak menunjukkan potensi perlawanan macam apa pun karena tubuhnya kurus-tinggal-tulang belaka. Demi melihat targetnya yang sekarang, Taki menerka-nerka ketengikan macam apa yang dilakukan oleh orang ini sampai-sampai seseorang menyewa tukang pukul. Ia tak tahu kenapa orang tersebut harus dihabisi. Ajo Jojo jarang memberikan alasan mengapa si klien meminta si anu untuk diberi pelajaran atau si ini untuk ditumbuk batang hidungnya.

Hari itu hari Minggu. Taki tahu mahasiswa mana pun biasanya akan diam di kos dan mengerjakan tugas yang biasanya harus dikumpulkan sebelum pukul dua belas malam hari itu. Dengan dasar demikian, Taki memutuskan untuk duduk sebentar di bangku teras minimarket sambil memasang riasan wajahnya. Ia tak sempat memakainya tadi sebab ia telat bangun, bahkan ia belum mandi sejak dua hari lalu. Tipikal perempuan pemalas yang tidak akan peduli pada politik, gempa bumi, bahkan banjir sekali pun.

Setelah selesai memakai riasan wajah, Taki melanjutkan perjalanannya. Di kepalanya tertanam keyakinan bahwa tugasnya akan selesai dengan cepat dan mudah. Segalanya akan baik-baik saja, sesuai rencana, dan ia akan pulang dengan keriangan seorang bocah yang keinginannya dikabulkan orang tua. Aku tak sabar, pikirnya sambil mengeluarkan sebuah pisang dan ketika bersiap membukanya, tiba-tiba pundaknya disenggol oleh seseorang dan membuat pisangnya hampir jatuh.

Taki melihat orang yang menyenggol pundaknya, seorang pemuda seusianya.“Kau tak punya mata atau memang telah menggadaikannya?” ujar Taki sembari melihat apakah pisangnya baik-baik saja.

“Maaf, aku tak sengaja. Aku sedang tidak fokus,” ucap pemuda itu sambil terus memohon-mohon.

“Oh, aku tahu, jangan-jangan kau adalah pria yang doyan cari perempuan untuk kau dekati dan ini adalah caramu untuk mendekatiku? Ini bukan sinetron, Bung. Pasti kau juga doyan catcalling, bukan? Aku dengar beberapa perempuan di sekitar sini pernah jadi korban.” Berondongan tuduhan Taki sukses membuat pemuda itu berpaling dan pergi. “Pergilah seperti maling ketahuan,” ucap Taki pelan.

Perasaan kesal membuat Taki semakin tak sabar untuk menemui targetnya. Ia percepat langkah menuju tempat targetnya. “Akan kubuat ia seperti perkedel,” ucap Taki sambil makan pisang.

Takdir, bagaimana pun, tidak dapat diganggu gugat. Takdir pulalah yang menetapkan bahwa hari itu target Taki sedang tidak di tempat dan seketika membuat Taki panik bukan kepalang sebab jika dalam lima belas menit ia tidak mengahajar target dan melapor pada Ajo Jojo, ia yang akan kena hajar. Aku harus mencarinya, pikirnya, tapi di mana? Terlalu banyak kemungkinan. Taki kelewat panik dan menjadi berlebihan setelah mengingat betapa ia  menganggap semua akan baik-baik saja sebelumnya.

Dibukanya kembali dompet dan mengeluarkan foto polaroid yang menampakkan seorang pemuda dengan wajah malas dan membolak-baliknya. “Anjing!” umpatnya keras. Segera setelah sumpah-serapah dan carut-marut berhamburan, Taki mulai berjalan. Dia pasti ke sana, pikirnya.

Mereka bertemu setelah dua menit Taki berjalan dari tempat tergetnya menuju arah minimarket. Apa-apa yang dicemaskannya seperti mengalir dari kepala menuju kakinya dan keluar melalui jari-jari kaki.

“Kau Pemuda Pemurung?”

“Iya. Ada apa? Masih ingin berdebat?”

“Aku ingin membunuhmu. Seseorang menugaskanku begitu. Seharusnya aku lakukan sejak kau menabrakku tadi, sehingga aku tak perlu cemas kalau aku yang bakal mati andai tidak bertemu denganmu.”

Pemuda Pemurung diam dan berpikir. Ia bisa saja lari lintang pukang meninggalkan perempuan itu dan keluar kota dan bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan, atau mencoba masuk pesantren sebagaimana di dalam sinetron di televisi dan berakhir menjadi menantu ustaz. Namun satu hal yang terang di benaknya adalah perkataan sahabatnya, Panjul, “Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Nikmatilah hal-hal kecil dalam hidup, meski hidup berjalan seperti bajingan. Carpe diem!

Parit Malintang, 2021.

Ridho Daffa Fadilah
Ridho Daffa Fadilah Mahasiswa Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email