Kisah Paling Puisi
Panggil aku kisah
Aku ingin kembali ke surga pun
Neraka lebih pantas
Untukku, jiwa yang penuh bekas
Ambil semau-mu, semua-ku,
Puisiku tak lagi magis
Tak kutemui obatnya lagi
Hei kasih
Tetap berdiri pun dianggap gila
Sabar, nanti kita akan bermetafor dengan bunga
Kekasihku,
Jangan ikat padaku
Sesuatu yang layu dan membiru
Ah sial,
Aku tak tahu ini apa
Di mana aku harus menyerahkan semua-ku
Jiwaku dipatri untuk satu, denganmu
Kisah-kasihku,
Kau harus nyata malam ini
Hina nestapa pun tak apa
Asal kau tak tahu apa putus asa
Kita adalah Atlantis
—sesuatu yang pernah diagungkan di seluruh sudut dunia. Berdiri di atas segalanya layak Mahabharata, hingga menutupi segala keromantisan melampaui sang Qays. Namun, kini kita hanyalah buah pemikiran seorang filsuf yang dipaksa untuk terus nyata. Terus ada. Entah pada buku tulisan. Entah pada puisi-puisi yang penuh debu nan tua.
ego(is)me
Aku ingin egois
Mendo’akan kebahagiaan
Yang tak melebihi kebahagiaanku
Aku ingin egois
Mengharapkan kebahagiaan abadi
Pada sesuatu yang tidak abadi
Aku ingin egois
Ceritakanlah duniamu
Tanpa perlu kau berkata apapun
Aku ingin egois
Membangun jembatan
Untuk rumah yang sama sekali tak ada jarak
Aku sangat egois
Memasukkan dunia kedalamku
Hingga aku tak kenal aku
Memuja Kematian
Biarkan aku diam-diam menyalakan lilin
romantisku tanpa kau ketahui. Dengan diksi
seadanya tanpa metafora, pandangan pun
dipaksa kiri-kanan demi sebuah kertas usang.
Tiap-tiap goresan adalah sambungan titik
yang tak pernah kau lihat. Andai puisiku
hidup, pasti ia akan hanyut oleh air matanya
sendiri dan menggigil kedinginan di sela genting.
Kemudian ia mengkerut karenanya, sampulnya tak cukup menghangatkan. Menjadikannya sampah di sudut lemari, berteman dengan debu, dilindas waktu, hingga habis dimakan koloni sepi.
Kejam sekali kehidupan, tak ada balasan
untuk hangatnya dekapan. Pun aku kembali
pada sepi, mendekap segala khianat. Yang
menghangatkan di dalam kepalaku sendiri.
Ba’da Koma
aku berucap padamu
dengan kata yang berhenti pada koma
menghentikan rintihan panjang
lalu istirahat pada jeda kecil
di antara kata-kata kita
aku melihat padamu
dengan sebelah mataku
menyatakan yang maya-mu
demi kembali terfokus
padamu, khusus
aku menulis untukmu
dengan syair yang tak memiliki koma
dan berisyarat pada pena
untuk kembali melukis
titik pada kedua matamu
semuanya masih berakhir pada koma
hurufku selanjutnya tak lagi tercatat
peristiwa itu menjadi cacat
tak lagi ada sebuah lekat
dan seperti saat koma tercipta
kodrat semuanya tak bisa semaunya
setelahnya tiada lagi ada
atau bahkan mati di antara spasi
padamu, seluruhku menyeluruh
sesampainya menemui titik
yang hanya dimiliki 2 kata
kau.
dan
kematian.