Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro

Mendadak Kaya Berujung Petaka

Hamzah Jamaludin

2 min read

Tahun 2021, warga desa Sumurgeneng, kecamatan Jenu, Tuban, jadi miliarder usai menjual lahan pertanian ke Pertamina. Mereka ramai-ramai membeli mobil, berbondong-bondong menjadi konsumtif dengan membeli barang-barang yang tidak memberikan manfaat lebih. Kini, setahun berlalu, warga yang dulu mendadak kaya itu berunjuk rasa di kantor PT Pertamina Grass Recovery (GRR), menagih janji untuk diberi pekerjaan. Mereka menyesal menjual lahan yang dimiliki. Dulu, dari lahan itu, mereka bisa bercocok tanam dan mendapat penghasilan setiap kali panen.

Apa yang terjadi di Tuban hanya salah satu contoh saja dari dampak pengambilalihan lahan. Pembangunan kerap kali mengubah perilaku masyarakat yang terdampak. Henri Lefebvre dalam bukunya, The Urban Revolution (2003), mengemukakan bagaimana kehidupan tradisional di desa-desa perlahan-perlahan lenyap dan desa kemudian berubah menjadi kota-kota kecil bagi industri pertanian.

Baca juga: Perempuan Penjaga yang Dibisukan

Lahan produktif harus dicerabut begitu saja demi terciptanya pembangunan industri yang dampaknya selain merampas sumber kehidupan warga – juga merusak ekosistem. Perubahan lingkungan ini memutus mata rantai dalam berbagai siklus yang hidup dalam ekosistem, sehingga mengganggu keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan.

Mengutip Chambers (1987:2), orang luar tidak merasakan kemiskinan desa. Mereka tertarik dan terperangkap dalam kelompok inti perkotaan yang mengembangkan dan menyebarkan ilmu dan kepandaian sendiri sementara kelompok pinggiran pedesaan tersisih dan terlupakan.

Kendati kehadiran industri sangat berpengaruh terhadap pendapatan ekonomi nasional, namun, ada bias yang terlihat. Pembangunan industri acap kali mengorbankan masyarakat kecil melalui perampasan ruang-ruang hidupnya. Yang terjadi di Tuban adalah contoh nyata. Ketika warga tak lagi punya lahan pertanian – yang merupakan ruang hidup mereka – mereka pun kehilangan sumber penghasilan dan harus bergantung pada industri untuk memberi mereka pekerjaan.

Baca juga: Hutan Dibabat, Pangan Terancam

Kelak petaka yang timbul terus menerus tidak hanya dirasakan generasi hari ini, tapi akan diwariskan ke generasi mendatang – generasi yang sudah tidak memiliki ruang hidup. Lebih dari itu, generasi mendatang akan mewarisi lingkungan alam yang sudah rusak akibat kesalahan tata kelola generasi sebelumnya.

Pembangunan industri yang membabi-buta menghancurkan alam lewat tata kelola yang tidak memandang kestabilan bagi sumber daya alam. Penanaman logika antroposentrisme yang memandang segala sesuatu dari kepentingan manusia, menyebabkan manusia mengksploitasi dan menguras alam semesta demi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam. Pola perilaku yang ekspolitatif, deskruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara pandang yang hanya mementingkan kebutuhan manusia (Keraf, 2002: 35).

Oleh karena itu, menurut Hull (2008) dengan cara pandang antroposentris ini, olah kemakmuran ekonomi menjadi satu-satunya ukuran dan mengabaikan dampaknya terhadap kondisi sosial dan lingkungan tempat satu-satunya perekonomian bertopang secara material. Sehingga dari pemahaman ini menculnya sikap yang begitu serampangan terhadap alam, menanamkan sikap skeptis dan memandang keuntungan semata, akhirnya pertumbuhan industri terus menguras dan mencerabut lahan-lahan produktif milik masyarakat.

Baca juga: Kebudayaan Industrial dan Padamnya Kegairahan Petani

Menurut Abdoellah (2020:158), lingkungan sering kali hanya dilihat dan diperlakukan sekadar sebagai ruang dan sumber daya yang dieksplotasi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan yang terbatas dan berjangka pendek. Dengan cara pandang seperti itu, tidaklah mengherankan kalau kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana dan dampaknya sudah banyak kita saksikan. Peristiwa ini merepresentasikan sangat jelas terjadi di wilayah pesisir laut Pantura, lingkungan atau lahan yang sangat berpotensi sebagai tempat aktivitas masyarakat dalam pengelolaan lahan pertanian harus dialih fungsikan 1000 hektare pertanian di kecamatan Walakota dialihfungsikan industri dan kawasan pendukung perumahan.

Sementara itu, mengenai kritik pembangunan dalam buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme (2018) Magdoff & Foster mengatakan  berkembangnya prinsip dengan hanya mengharuskan alam untuk dieksplotasi sejalan dengan bertumbuh pesatnya perkembangan kapitalisme. Kapitalisme menyebabkan hilangnya hubungan alam, sesama manusia dan masyarakat. Budaya konsumsi dan mementingkan diri sendiri yang ditumbuhkan oleh sistem ini membuat orang-orang kehilangan hubungan dengan alam yang dipandang terutama sebagai sumber material untuk perluasan ekspolitasi atas manusia dan masyarakat lainnya (Magdoff & Foster, 2018:87).

Logika pemerintah Indonesia dalam penciptaan pembangunan indstrusi secara jelas memperlebar kapitalisme tumbuh pesat. Hasilnya adalah semakin banyak lahan-lahan produktif bagi masyarakat yang tercerabut begitu saja.

Alih fungsi lahan pun kerap kali menjadi medan pertarungan panjang. Tidak jarang proses pengambilalihan lahan diwarnai tindakan represif, teror, intimidasi dan berbagai tindakan-tindakan yang melanggar hak hidup dan hak asasi manusia. Negara yang seharusnya menjamin warga negara, lebih memilih membela kepentingan kaum pembisnis.

Jika sudah begini, rakyat hanya bisa melindungi diri sendiri. Jangan melepas lahan produktif hanya demi kemewahan sesaat lalu berujung penyesalan seumur hidup. Lahan produktif kita adalah hidup kita.

Hamzah Jamaludin
Hamzah Jamaludin Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro

One Reply to “Mendadak Kaya Berujung Petaka”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email