Dalam sejarah kontemporer, bulan September tak begitu bernada ceria seperti lagu yang dipopulerkan Vina Panduwinata. Kemurungan dan kengerian menimpa berbagai bangsa pada bulan ini. Dua di antaranya adalah Peristiwa 9/11 dan Gestapu.
Buntut Panjang Global War on Terror
Dua pesawat jet menghantam menara WTC di New York pada 11 September 2001. Sejak itu, dunia tak lagi sama.
Kekosongan ideologi pasca runtuhnya tirai besi di negara-negara Blok Timur mulai diisi oleh sentimentalitas terhadap negara-negara Islam. Boleh jadi, tesis Huntington kala itu benar adanya, Peristiwa 9/11 seolah-olah menjadi titik balik yang menghadap-hadapkan peradaban Islam dengan Barat. Salah satu aktor utama dalam fabrikasi kosong Global War on Terror adalah Amerika Serikat. Viktimisasi itu berujung panjang.
Tanpa ayal, belum genap 3 bulan, Afghanistan didatangi konvoi alutsista. Pada mulanya, hanya sekitar 300 orang pasukan diterjunkan untuk menghabisi para sempalan Taliban hingga ke akar-akarnya. Janji-janji semu akan upaya pembangunan awalnya memang dilakukan secara efektif di Afghanistan.
Di Pakistan, bin Laden akhirnya ditangkap, mulai dari sopirnya dan berbuntut pada penyerangan kompleks pemukimannya di Pakistan. Semua menyambut dengan riuh. Beredar pula dokumentasi berupa foto ketika Obama dan para pejabat menunggu kabar dari lapangan mengenai nasib bin Laden. Setelah operasi dinyatakan berhasil, ia langsung menggelar konferensi pers di Gedung Putih untuk menyatakan bahwa “AS telah membunuh Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda, dan teroris yang bertanggungjawab atas kematian ribuan orang tak bersalah, termasuk wanita dan anak-anak.”
Al-Qaeda bertindak atas motivasi semu bahwa AS memiliki preseden tindakan yang menyengsarakan umat muslim di Chechnya, Libanon, Somalia, dan Irak. Singkatnya, Al-Qaeda hendak memberi pelajaran untuk AS. Terlepas dari motivasinya, menabrakkan pesawat ke gedung bukanlah hal yang bisa dibenarkan dalam hal apa pun.
Di sisi lain, kala ada penyerangan, AS bertindak tanpa melihat adanya gradasi. Jelas betul bahwa di posisi ini, AS hendak membalas dendam. Di benak para pemangku kebijakan AS, pelaku teror harus membayar tindakan mereka terhadap AS.
Yang menarik di sini adalah pandangan bahwa seolah-olah serangan terhadap AS adalah serangan terhadap dunia. Slogan Le Monde yang menyatakan “Kita Semua Amerika” adalah salah satunya. Akibatnya tidak tanggung-tanggung, Afganistan didatangi dan ‘dibenahi’. Namun, hari ini, kondisi domestik Afghanistan tetap melarat. Politik domestiknya kacau balau. Ketimpangan sosio-ekonominya juga tidak lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu, paling tidak sebelum AS datang atau saat Taliban berkuasa.
Baca juga:
Peristiwa ’65 dan Genealogi Ketakutan
Tanggal 30 September menjelang dini hari, tujuh perwira di kalangan Angkatan Darat ditangkap dan dibunuh oleh Pasukan Cakrabirawa—pasukan pengamanan presiden kala itu. Ketujuhnya adalah Ahmad Yani, Donald Isaac Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo, Suprapto, M.T. Haryono, S. Parman, dan Pierre Tendean. Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI dituding membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).
Isu Dewan Jenderal berpegang teguh pada kenyataan bahwa sesungguhnya jenderal-jenderal yang menjadi korban mempunyai kepentingan untuk menjatuhkan Sukarno. Oleh karena itu, PKI, sebagai organisasi yang “dekat” dengan Sukarno, bertindak.
Kemudian, beredar pula Dokumen Gilchrist yang meyakini bahwa ada keterlibatan intelijen dari negara-negara Blok Timur seperti Uni Soviet dan Cekoslovakia untuk membuat spekulasi atau dugaan seakan-akan Amerika Serikat dan Inggris ingin mengintervensi Indonesia. Yang ketiga, muncul pula asumsi adanya mengenai keterlibatan intelijen asing dari Blok Barat yang mengintervensi. Sejak dekade 1950-an, CIA mencoba berbagai operasi rahasia mulai dari membuat film porno dengan Sukarno palsu hingga menyuplai senjata untuk pemberontakan. Amerika Serikat mencoba mendekati militer, kendati militer sendiri terpecah menjadi beberapa faksi.
Pasca 1965, lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang hingga kini tak pernah diketahui wujudnya, Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI dipilih untuk menduduki jabatan presiden. Setelah Soeharto naik takhta, ia segera membersihkan “unsur-unsur komunisme” yang masih melekat di kabinet. Di tahun yang sama pula, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme dirilis. Praktis, pada tanggal 12 Maret 1966, PKI resmi dilarang.
Setelahnya, yang melekat di benak masyarakat adalah PKI yang mendalangi pembunuhan ketujuh perwira secara keji. Oleh karena itu, muncul stigma yang buruk tentang simpatisan maupun aktivis PKI di masyarakat. Sejak saat itu, simpatisan komunisme dan bahkan ideologi kiri lainnya diberangus hingga ke akar-akarnya tanpa proses hukum serta mekanisme yang jelas. Ideologi kiri menjadi suatu hal yang diharamkan tanpa landasan jelas oleh pemerintahan Orde Baru.
Peristiwa ’65 berbuntut panjang. Korban jiwa terus berjatuhan hingga tahun-tahun setelahnya. Tercatat dalam dokumen resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pasca-1965, setidak-tidaknya 500.000 hingga 3 juta orang dibunuh, diperkosa, dan dihilangkan secara paksa tanpa proses pengadilan hanya karena diduga simpatisan PKI. Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memutuskan bahwa berbagai kekerasan setelah peristiwa 30 September 1965 merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat.
Baca juga:
Perihal Melupakan
Tanggapan atas peristiwa-peristiwa itu selalu nisbi—selalu dianggap sakral oleh satu pihak, tetapi tidak bagi yang lainnya. Sang berdaulat yang memiliki infrastruktur dan kesempatan siap untuk memonopoli kebenaran. Hitam-putih menjadi jelas sekali. Pembalasan selalu menekankan kebutaan akan hal-hal yang seharusnya dimasukkan dalam kalkulasi sejarah. Tak terkecuali oleh dua aktor “pemenang” yang diulas di atas. Keduanya memandang sang lawan bagai mengenakan kacamata kuda.
Efeknya menjadi tak terkira. Kebutaan total akan membimbing kita ke arah yang tak menentu. Jutaan orang meninggal, kehilangan tempat tinggal, yatim, piatu, dan menyisakan segambreng penderitaan lain. Hingga hari ini, kondisinya tak begitu banyak berubah. Afganistan yang hendak “dibenahi” AS masih stagnan, bahkan kembali terperosok di bawah kuasa rezim brutal Taliban. Agaknya, yang terpenting bagi AS adalah gruduk terlebih dahulu.
Tanggung jawab AS di tanah Pashtun menjadi semu. Perang terhadap terorisme terus disebarkan oleh AS ke mana pun ia pergi hingga dua dekade kemudian. Bersamaan dengan itu, mereka gagal bertanggung jawab dan lantas pergi dari tanah-tanah tempat mereka beroperasi setelah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari sana.
Namun, negitu mudah kita lupa akan tanggung jawab moral dan etis yang seharusnya dipikul AS di Afganistan. Hari ini, ketika Taliban kembali berkuasa, perempuan menjadi lagi-lagi terpenjara, oposisi diberagus suaranya. Kemudian, yang paling gawat dan kentara, kebebasan menjadi terlalu mahal harganya. Sia-siakah Global War on Terror yang ambisius itu? Di mana penggenapan Persetujuan Bonn 2001?
Di Indonesia, narasi ketakutan akan komunisme diawetkan oleh pemerintahan Orde Baru. Lawan-lawan politik yang tak sejalan dengan kepentingan elit pada saat itu akan dicap sebagai PKI. Sudharmono, seorang calon wakil presiden, pernah dicap PKI oleh para penentangnya, termasuk kelompok militer yang lebih menginginkan Try Sutrisno untuk menjadi pendamping Soeharto. Hal yang sama juga dialami oleh Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan ketika mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1996. Belum satu bulan partai tersebut dideklarasikan, orang-orang di tubuh pemerintah mengatakan bahwa sebagian besar anggota PRD adalah anak-anak eks PKI. PRD merupakan partai oposisi yang menentang otoritarianisme Orde Baru. Mereka dicap PKI karena kritis pada pemerintah. Sebutan PKI menjadi bahan untuk membungkam lawan-lawan politik Orde Baru.
Hingga kini, narasi ketakutan terhadap komunisme menjadi sumbu yang menciptakan kegaduhan di musim-musim politik. Klaim asal bunyi soal kebangkitan komunisme membuat banyak orang kalut dan gegabah memberi atau mencabut dukungan politik. Dari pemilu ke pemilu, label komunis menjadi cara yang efektif untuk membunuh karakter seseorang. Mengapa bisa terjadi demikian? Semata-mata karena adanya pelupaan. Yang kita ingat adalah isu penculikan tujuh jenderal, tapi kita melupakan sekian banyak orang tak bersalah jadi korban pembantaian massal, pengasingan, dan pemenjaraan tanpa proses hukum yang jelas, transparan, dan adil.
Politik lupa adalah ancaman yang niscaya. Maklum saja, kepentingan selalu menjadi driving force dalam politik. Tentu saja konyol apabila kita menggeneralisasi semua proses politik sebagai proses melupakan. Namun, bagian-bagian spesifik mengenai peristiwa politik tertentu, paling tidak dari 9/11 dan Gestapu, menjelaskan varian paling nyata mengenai peran melupakan dalam politik. Karena lupa, seolah-olah semua hal dikotomis, hitam dan putih.
Korban dari dua peristiwa kelam di bulan September itu hingga hari ini masih menderita. Sudah seharusnya kita mendengarkan ingatan-ingatan mereka. Atau, jangan-jangan, mereka sendiri sudah lupa akan peristiwa tersebut?
Editor: Emma Amelia
One Reply to “September dan Politik Lupa”