Sedang membaca dan menulis sambil menyamar menjadi seorang guru

Menziarahi Kedukaan dan Puisi Lainnya

Moh. Ainu Rizqi

1 min read

Menziarahi Kedukaan

Kita selalu percaya, sayang, bahwa tak satupun manusia
di muka bumi ini terbebas dari kedukaan.
kita mengimani bahwa kedukaan adalah sebuah keniscayaan
kita berkhidmat pada sepi, bahwa kedukaan adalah
entitas yang musykil untuk dipahami.

Suatu ketika, saat kau berdiri di tepi pantai
kau akan saksikan, bahwa kedukaan
adalah batu karang yang tabah dihempas ombak
tanpa pernah sekalipun mencoba membalas.

Atau, ketika kau sedang berada di sebuah kelas
di sebuah sekolah dasar, kau akan saksikan seorang anak
yang riang gembira setiap hari
namun terlampau rapuh batinnya:

Sebab orang tuanya yang meninggal
sebab kesendiriannya yang tak pernah dijamah
sebab cinta yang tak pernah mampu
untuk ia imajinasikan.

Itulah sedikit kedukaan, sayang, yang suatu ketika perlu
kita ziarahi, sebelum menziarahi kedukaan kita sendiri
yang teramat hening.

(Kediri, 2025)

Petang

Sebelum petang benar-benar menandaskan tugasnya, sudahkah kau memaafkan hari ini?

Seperti biasa. Aku tak akan pernah memaafkan, sebab aku tak pernah merasa dicurangi; sebab aku tak pernah merasa dizalimi; sebab aku tak pernah merasa disakiti.

Lantas mengapa kau murung?

Seperti biasa. Kemurunganku adalah sebentuk keyakinanku, bahwa untuk memaknai bahagia,
seseorang perlu menderita;
Bahwa untuk memaknai keceriaan
seseorang perlu kemurungan.

Namun, apakah kau pernah bahagia dan ceria di setiap petang?
Apakah petang pernah menanyakan begitu sebelum ia dipadamkan malam?

Oh, petang, kesementaraanmu adalah keabadian bagi burung-burung yang kembali pulang ke sangkar
sebelum mereka dapati sangkar mereka di pohon itu
yang telah luluh lantak
oleh kerakusan si pencari
kebahagiaan (yang semu).

(Kediri, 2025)

Kepada Kawan

Kawanku, yang entah dan lelah
Dunia seisinya tak akan pernah mengerti apa yang kau cemaskan.
Dunia tak pernah mengerti letih dan sedu-sedan yang tak pernah kau jual di laman-laman media sosial.

Kawanku, yang entah dan lelah
Barangkali hari tak pernah berpihak padamu
dan waktu tak pernah membuaimu.

Kawanku, yang entah dan lelah
kau tahu, bahwa hari-hari kita, waktu demi waktu, detik demi detik,
yang tak pernah kosong itu, merupakan neraka agung yang menjadikanmu sekrup-sekrup rezim;
sekrup-sekrup industri.

Mari kita mengadu pada Yang-Di-Sana:

“Mengapa di sini begitu runyam, sedangkan di sana begitu kelam?”

(Kediri, 2024)

Antara yang Mungkin dan Tak Mungkin

Yang pulang belum tentu datang, yang pergi belum tentu berangkat.
Bisa jadi yang pulang akan hilang,
yang pergi akan mati.

Kita hidup dalam dunia yang berceceran “bisa jadi”.
Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan segala kemungkinan.

Kemungkinan, katamu kala itu, adalah apa-apa yang sekiranya bisa kita gapai.

Sayangnya, aku kurang sependapat denganmu, sayang. Aku menganggap bahwa apa-apa yang gak dapat kita gapai pun masuk dalam kriteria kemungkinan.
Segala yang tak mungkin akan menjadi mungkin selagi kita tetap memasihkan yang pernah, dan menghidupkan yang punah.

Pada kemungkinan aku bermukim
Pada ketidakmungkinan aku bermakam.

(Kediri, 2024)

Akhir Pekan

Saban akhir pekan, jiwamu terbang
menuju horizon antah berantah
yang tak satu makhluk pun mampu
membahasakannya.

Saban akhir pekan, bahasa beralih rupa menjadi puisi yang tak pernah sanggup kau tulis.
Sebelum akhirnya akhir pekan benar-benar menuntaskan tugasnya, kau pun mendengus panjang.

Menghadapi kenyataan bahwa Senin akan kembali berjalan
bersamaan dengan rentetan penindasan dan penderitaan
yang konstan.

(Kediri, 2024)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Moh. Ainu Rizqi
Moh. Ainu Rizqi Sedang membaca dan menulis sambil menyamar menjadi seorang guru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email