Penyuka Kopi dan Buku

Penjual Senyum

Rahmat R. Souwakil

2 min read

Pagi itu, hujan deras menyambut Penjual Senyum. Penjual  Senyum bangun dengan malas. Membuka gawai sambil menguap malas. Penjual Senyum melalui malam yang singkat. Sebab seharian  berjualan dari satu desa ke desa yang lain dan malamnya  menghitung berapa rupiah didapatkan sambil berharap jualannya bisa mengantarkannya  meninggikan status sosial.  Di setiap desa yang dikunjungi, Penjual Senyum selalu disambut dengan tawa dan senyum khas orang-orang desa. Orang-orang desa selalu membeli dagangan Penjual Senyum bukan karena dibutuhkan, tapi untuk mempertahankan isi dompet agar terus tumbuh.

Orang-orang  desa tak mau isi dompet mereka kering lantaran tak membeli dagangan yang dibawa Penjual Senyum. Orang-orang desa berkeyakinan dengan membeli barang dagangan yang dijual  maka isi dompet akan tumbuh  dan kejayaan akan mereka raih. Di desa, para Penjual Senyum selalu menuruti apa yang disampaikan orang-orang desa. Para Penjual Senyum rela disuruh orang-orang desa. Mereka juga mau mengikuti harga yang ditawarkan orang-orang desa tanpa protes.  Orang-orang desa merasa benar-benar telah menemukan makna dari ungkapan ‘ pembeli adalah raja’ .

Kehadiran Penjual Senyum juga jadi hiburan bagi anak-anak. Sebab bagi anak-anak, cuma Penjual Senyum  yang bisa membuat desa-desa mereka ramai dengan lagu-lagu dangdut.

***

Orang-orang desa menyebut Penjual Senyum  sebagai  pedagang musiman. Penjual Senyum  hanya datang lima tahun sekali . Jika telah tiba waktunya,  Penjual Senyum akan berjualan dari kota sampai di desa-desa, dan jika dagangannya dibeli habis, maka  Penjual Senyum akan pergi ke kota-kota besar di seluruh penjuru negeri, untuk menaikkan status sosial menjadi penguasa.  Ketika Penjual Senyum naik status sosial, maka orang-orang desa sibuk dan bingung bagaimana menggunakan barang dagangan yang telah mereka beli dengan harga murah.

Kini mereka hanya meratapi barang-barang yang terpajang tak rapi di dinding-dinding dan di lemari-lemari rumah. Barang-barang yang telah dibeli seketika beralih status menjadi hantu, benda-benda yang menurut Penjual Senyum  bisa membuat kenyang, nyatanya hampir lima tahun orang-orang desa belum merasakan kenyang dengan apa yang telah mereka beli.

Orang-orang desa semakin frustrasi, sebab para Penjual Senyum kini tak lagi mudah ditemui untuk dituntut ganti rugi karena telah menjual barang yang tak bisa membuat kenyang. Orang-orang desa merasa tertipu karena barang-barang yang dibeli ternyata tak bisa dinikmati.

Sementara di desa orang-orang frustrasi, di kota para Penjual Senyum banjir pujian. Kini pujian sudah menjadi vitamin tambahan bagi  Penjual Senyum.  Di kota-kota besar,Penjual Senyum mulai menjual barang-barang yang lebih mahal kepada pedangan-pedangan besar di dalam maupun luar negeri.

***

Lima tahun berlalu, bulan depan adalah hari para Penjual Senyum datang ke desa-desa untuk menjual senyum. Kini mereka datang dengan warna lisptik  sedikit merah bak warna bendera  partai dan gigi putih bak kalung mutiara yang dikenakan oleh anak-anak mereka. Para Penjual Senyum  datang  dan disambut dengan meriah orang-orang desa. Orang-orang desa yang pernah kecewa dan merasa tertipu itu, seolah telah lupa pada kekecewaan dan kemarahan mereka.Biar seribu kali disakiti Penjual Senyum, orang-orang desa punya seribu satu senyum terbaik yang akan diberikan pada Penjual Senyum.

Tahun Dua Puluh Empat ini, mereka datang tak seperti tahun Dua Satu yang lalu. Kini Penjual Senyum datang dengan membawa anak-anaknya untuk berdagang. Jika lima tahun yang lalu Penjual Senyum datang  satu kelompok dengan orang lain  yang kompak memakai baju berwarna merah, kini Penjual Senyum datang berjualan dengan mengenakan baju berwarna-warni,  merah, biru, putih, oranye dan kuning.

Di sebuah ruangan, berdirilah Penjual Senyum  berpidato, pidatonya begini. Bapak-bapak yang saya hormati. saya rasa bangga bisa diterima di desa ini. saya datang ke sini dengan membawa anak-anak saya dengan  tujuan untuk meminta restu dari bapak  dan ibu-ibu, untuk membeli jualan saya dan jualan anak-anak. Di sini kami jual, anti korupsi, kartu pendidikan gratis, kartu agar tidak sakit dan kesejahteraan.

Semua hadirin tepuk tangan dengan wajah yang penuh keringat.

Setelah Penjual Senyum berpidato, giliran anak penjual Senyum naik di podium dan berpidato.  Bapak dan ibu yang saya hormati, sebagai anak adat yang lahir di desa ini, saya harap bapak-bapak dan ibu sudi untuk membeli barang-barang yang saya bawa, di antaranya, jalanan yang bisa diakses, kebudayaan yang harus dilestarikan, membuka lapangan  kerja untuk genarasi saat ini dan kesejahteraan untuk bapak-bapak dan ibu di desa ini.

Lagi-lagi semua orang bertepuk tangan.

Setelah selesai pidato, Penjual Senyum pergi dengan membawa senyum semringah dan meninggalkan luka di relung hati orang-orang desa. Sebab yang  datang setelah kepergian Penjual Senyum adalah orang-orang bertopi warna warni.

Pemilik topi warna warni itu datang ke desa-desa atas perintah Penjual Senyum. Mereka bilang, mereka mau membangun desa. Demi pembangunan, cengkeh, pala dan pohon kelapa orang-orang desa harus tidur berselimut tanah.

Orang-orang bertopi malas berbicara dengan orang-orang desa. Ketika ditemui orang desa untuk bertanya mengapa pohon-pohon cengkeh berselimut tanah,  mereka hanya berbicara dengan satu  kalimat “ Ini perintah  Penjual Senyum”. Kata-kata yang keluar dari mulut orang bertopi  bak undang-undang yang harus ditaati orang-orang desa.

Sejak orang-orang bertopi warna-warni masuk desa-desa, kini orang-orang desa tak mudah lagi mencari ikan di laut sebab laut jadi penuh gas  beracun. Orang-orang desa tak lagi panen cengkeh dan pala setiap tahun dengan gembira.

Sementara Penjual Senyum  tidur di atas tumpukan uang sambil berpikir tentang bagaimana cara memoles senyum agar bisa berjualan lagi lima tahun mendatang. ®

Rahmat R. Souwakil
Rahmat R. Souwakil Penyuka Kopi dan Buku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email