Ketika warganet antusias mengonsumsi konten lewat media sosial, mereka tidak menyadari bahwa di balik konten-konten favorit mereka itu ada para konten kreator yang berjuang dengan kewarasan dan bertaruh dengan kesehatan mentalnya masing-masing.
Media sosial ibarat pisau bermata dua yang jika tidak berhati-hati dimanfaatkan, alih-alih menjadi peluang akan menjadi sumber bencana. Istilah ekonomi kreator, atau sebagian orang menyebutnya ekonomi renjana adalah model ekonomi yang kini banyak digaungkan. Jargon utamanya adalahnya, semua orang bisa menjadi konten kreator dan bisa meraih impian lewat media sosial dan mengeruk keuntungan dengan menjadi pusat perhatian.
Berbagai platform seperti Youtube, Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter, atau bahkan yang paling kontroversial, Onlyfans menjadi sarana yang dianggap jadi peluang untuk bersaing di era ini. “Kesuksesan” instan bisa diraih oleh siapapun yang berhasil menjaring massa dan menjadi pusat perhatian. Usia, pengalaman dan keahlian tidak lagi relevan, semua orang bersaing secara terbuka tanpa ada batasan.
Bagi mereka yang punya pengalaman dan latar belakang formal, bisa memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya untuk berbagi ilmu dan menjaring banyak pengikut. Sementara mereka yang tidak punya kemampuan formal, bisa menggunakan berbagai kreativitas untuk membuat pemirsa selalu naik turun emosinya. Lewat konten-konten yang menghibur, membuat tertawa, membuat menangis, bahkan konten-konten yang provokatif dan eksplisit. Semuanya demi untuk mendapatkan sorotan mata pada layar dan menghentikan jempol untuk berhenti bergulir. Dari sana kemudian pundi-pundi uang mengalir deras.
Ada begitu banyak cerita masyhur yang menjelaskan banyak orang berhasil mengubah nasibnya dengan menjadi konten kreator. Saya sendiri pun menjalani jalur kreator ini, dengan bermain kata dan mengolah kalimat seperti tulisan ini.
Sisi Gelap
Tapi di balik itu semua, ada begitu banyak cerita yang tidak terungkap dari para kreator yang harus mempertaruhkan segalanya untuk berhasil. Bahkan mereka harus mempertaruhkan kewarasannya untuk bisa semakin sukses dan tenar. Kehilangan kewarasan mungkin terdengar berlebihan, tapi seperti itulah kenyataanya.
Sebuah laporan dari Engadget tahun 2018 misalnya, menceritakan tentang seorang Youtuber yang mengalami burnout atau kelelahan mental bahkan mengalami depresi akibat tidak henti membuat konten untuk kanalnya. New York Times pertengahan tahun 2021 ini pun merilis kisah kreator Tiktok yang mengalami kelelahan mental dan malah membenci apa yang pernah ia cintai dan sukai: membuat konten.
Kelelahan mental bukanlah semata soal kompensasi ekonomi. Begitu banyak kreator kaya yang tiba-tiba memutuskan untuk berhenti dan tidak tidak lagi berkarya. Meninggalkan audiensnya begitu saja dan memilih untuk mencari ketenangan.
Cerita tentang kelelahan mental sebenarnya bukanlah hal baru. Jika kita cermati, sebenarnya masalah kesehatan mental adalah isu yang juga banyak dialami oleh para seniman atau pekerja kreatif bahkan jauh sebelum era media sosial. Kelelahan mental membuat para seniman dan pekerja kreatif kehilangan semangat dan gairah untuk terus berkarya. Kelelahan yang membuat sebagian dari mereka bahkan membenci karya, sesuatu yang dulunya mereka banggakan dan cintai.
Saya yakin kita tidak asing dengan kabar aktor, model, pelukis, penyanyi, penulis, favorit kita tiba-tiba berhenti berkarya. Sebagian beralasan mereka ingin mendapatkan ketenangan, sebagian yang salah melangkah, malah terjebak dalam adiksi dan perilaku menyimpang.
Dosa Fans dan Audiens
Ketika sosok-sosok kreator yang kreatif dan kita banggakan itu kemudian hilang dari peredaran, apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah mereka lelah “hanya” karena berkarya? Bisa jadi sumber masalah juga ada pada para audiens dan fans.
Konten kreator dengan audiensnya adalah bagian yang tidak terpisahkan. Kreator terus berkarya untuk para audiens dan fans. Sedangkan audiens dan fans akan membuat kreator bisa hidup dengan dukungan finansial dan sorot mata. Tapi kita perlu paham bahwa, konten kreator bukanlah objek. Mereka adalah subjek yang berkreasi dan beraktualisasi melalui konten. Konten kreator bukan badut yang bisa kita tuntut untuk terus melucu dan memberikan atraksi yang memenuhi ekspektasi penonton.
Ekspektasi ibarat belenggu mengerikan. Akibat ekspektasi, audiens bisa kecewa dan seketika kreator mendapat hujatan dan cemoohan. Kreator yang kemarin mereka likes dan simak itu tiba-tiba menjadi musuh bersama. Kita para penonton, seketika menjadi hakim atas nasib konten dan kreator yang kita saksikan.
Yuk Beri Ruang
Ketika kita sadar bahwa sebagai audiens, kita juga punya peran terhadap kewarasan idola dan kreator yang kita sukai. Inilah saatnya kita perlu bisa untuk memberi ruang untuk para penulis, komikus, aktris, aktor, dan kreator-kreator lain. Kita tidak sepatutnya merasa kecewa dan marah ketika idola kita itu memutuskan untuk beristirahat. Kita tidak sepatutnya memaksa kreator untuk terus tampil dan berkarya memenuhi keinginan kita sebagai audiens.
Sebab jangan lupa, kewarasan kreator lebih penting dari konten favoritmu itu. Tanpa kreator yang waras, kita tidak bisa baca komik yang kita sukai. Tanpa kreator yang sehat, kita tidak bisa menyaksikan video lucu itu. Tanpa kreator yang fit, kita tidak bisa saksikan adegan seru yang kita nanti-nantikan.
Jika kita selama ini menjadi audiens yang terus menerus menuntut, ini saatnya kita untuk mengubah kebiasaan. Lebih banyak mengapresiasi, mendukung dan memberi ruang untuk kreator-kreator favorit kita itu untuk juga beristirahat. Memang, ada sebagian kreator yang memutuskan untuk berhenti, sebagian lainnya kembali. Apapun keputusan mereka, kita sebagai audiens harus tetap bisa menghargai.
Semoga kita bisa menjadi audiens yang bijak, untuk bisa terus mendukung kreator berkarya dengan memikat.
One Reply to “Kewarasan Kreator Lebih Penting dari Konten Favoritmu Itu”