Di sebuah negeri di mana orang tuli dan bisu menjadi kaum yang dilupakan, datanglah seorang yang mungkin saja merasa dirinya Mesiah. Pada hari besar di mana orang-orang tuli dan bisu merayakan hidup mereka, bersama dengan orang-orang buta, lumpuh, dan lainnya, Sang Juru Selamat tampil ke depan mengumumkan kabar gembira. Sang Juru Selamat memilih salah satu orang yang di matanya seperti domba tersesat menunggu jalan pulang.
Setelah lelah berkhutbah, ia berkata lantang, “Bicaralah!”
Seorang tuli yang dipanggil maju memperhatikan gerak bibir Sang Juru Selamat. Lirik matanya, deru nafasnya, dan detil-detil kecil yang lain. Ia disuruh bicara setelah sekian lama tak bisa mendengar suaranya sendiri. Ia ingin mengeja nama yang diberikan kedua orangtuanya saat lahir. Di hadapan Sang Juru Selamat, apa yang tidak mungkin terjadi?
Bukankah Yesus pernah mengunjungi Betesda untuk menemui seorang lumpuh yang bertahun-tahun mencari keajaiban di kolam itu tanpa pernah mendapatkannya. Saat Yesus berkata, “Angkat alas tidurmu dan berjalanlah!” Seketika itu juga ia bisa berdiri di atas dua kakinya sendiri.
Si Tuli lalu menggerakkan bibirnya. Ia mengeja namanya sendiri. Ia tersenyum dan terus menyebutkan namanya kepada seluruh telinga yang mendengarnya, kepada seluruh mata yang melihatnya berdiri di sana, hari itu.
Orang-orang tuli, orang-orang bisu, orang-orang buta, dan orang-orang kecil lain yang mendengar Si Tuli memanggil namanya sendiri ikut tersenyum. Sementara Sang Juru Selamat mendekatkan dirinya ke Si Tuli dan terus mengulangi titahnya, “Bicaralah! Bicaralah!”
Si Tuli terus menyebutkan namanya dengan lantang. Namun, di telinga Sang Juru Selamat, ia hanya mendengar A U A U. “Bicaralah!”
Giliran Si Tuli yang lelah, ia kembali kepada teman-teman dan keluarganya meninggalkan Sang Juru Selamat. Ia berjalan dengan tersenyum, disambut orang-orang tuli dan bisu yang memanggilnya dengan nama yang diberikan kedua orangtuanya.
Saat Sang Juru Selamat melanjutkan khutbah kedua tentang janji Tuhan dan keabadian yang kekal, orang-orang yang tadi mendengarkan mulai berarak pulang.
Si Tuli kembali ke rumah dengan teman-teman yang sudah lama mendampinginya, dan teman-teman yang baru ditemuinya. Seiring suara sang juru selamat yang kian jauh, mereka saling berbisik.
“Orang yang tidak bisa mendengar suara kita pastilah bukan Sang Juru Selamat.”
Si Tuli hanya mengangkat sedikit bahunya. “Ia bahkan tak ingin mendengarkan.”