Suka baca sejak bisa membaca. Suka nulis sejak bisa menulis. Suka kamu sejak pertama kali mata kita saling menyapa.

Pameran yang Berbeda

Virya Anisa

2 min read

Hari itu hujan rintik-rintik, notifikasi di ponselku terus berdenting. Grup alumni SMA mendadak ramai. Ada satu foto yang terus di-forward—foto dia dengan pasangannya yang baru. Wajahnya tampak sumringah, mesra dengan tangan melingkar di bahu seseorang. Caption foto itu berbunyi:

“Akhirnya, bersama yang terbaik.” Di ujung kata diselipkan emoji berbentuk love berwarna biru.

Aku menatap foto itu cukup lama, bukan karena iri, tapi lebih pada refleksi tentang waktu. Beberapa bulan lalu, aku mungkin akan merasa hancur melihatnya berjalan dengan seseorang yang bukan aku. Namun, sekarang yang tersisa hanya rasa hampa—bukan sakit, tapi semacam jeda tenang yang hadir setelah badai. Semua kenangan bersamanya tiba-tiba melintas, tapi tidak ada yang menampar atau membuatku ingin menangis. Justru, ada kesadaran baru bahwa hidupku telah berjalan ke arah yang berbeda, dan aku baik-baik saja.

Di grup alumni, komentar-komentar riang bermunculan, mengirim ucapan selamat dengan emoji cinta dan harapan kebahagiaan. Di sela-sela pesan itu, ada nama Tania muncul: “Akhirnya, mantanmu tuh udah gak galau lagi!” Aku hanya membaca tanpa berniat membalas, lalu pandanganku beralih ke sertifikat di meja. Prestasi yang kutempuh lewat malam-malam panjang dan jatuh-bangun usahaku terasa seperti balasan tak langsung untuk foto itu. Bukan balasan dengan niat membuktikan siapa lebih baik, melainkan sebagai pengingat bahwa kebahagiaan bisa hadir dalam bentuk yang berbeda—dan pilihanku adalah memamerkan pencapaian yang selama ini kupupuk dengan keringatku sendiri.

Sekali lagi, kutatap layar yang memperlihatkan foto itu. Aku tidak merasakan sakit seperti dulu. Ada rasa aneh, hmm mungkin jika kudeskripsikan rasanya lebih seperti campuran geli dan lega. Betapa kerasnya ia mencoba menunjukkan bahwa dirinya bahagia—lewat satu foto yang terasa seperti pengumuman untuk seluruh dunia. Seolah-olah kebahagiaan hanya sah jika disaksikan dan diakui banyak orang. Barangkali, itu caranya meyakinkan diri sendiri bahwa ia sudah menemukan apa yang selama ini dicarinya.

Aku menarik napas dan kembali menatap meja kerjaku. Di sana ada sertifikat penghargaan kompetisi internasional yang baru saja kudapatkan. Jujur, kalau itu dia, mungkin aku juga akan ikut pamer, tapi caraku berbeda.

Tepat setelah itu, aku buka Instagram, menekan tombol “unggah” dan memilih foto saat aku berdiri di panggung dengan senyum lebar, memegang trofi kemenangan. Caption-ku sederhana:

“Kerja keras akhirnya terbayar. Untuk setiap malam panjang dan kegagalan yang tak terhitung, ini untuk kita!”

Hanya dalam hitungan menit, notifikasi mulai berdatangan. Teman-temanku mengirim ucapan selamat. Tania bahkan berkomentar dengan emoji api dan tepuk tangan. Beberapa ada yang berkomentar “Menyala, sister—dengan emoji api”, adapula yang berkomentar “Terbaik. Panutan. Keren.” Dan masih banyak kagi komentar-komentar pujian lainnya. Aku merasa dihargai, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada perasaan bahwa aku merasa cukup—bukan, bukan karena membandingkan diriku dengan orang lain, melainkan karena sadar bahwa pencapaianku memang layak dirayakan.

Lalu, satu pesan masuk dari Dia. Bunyinya: “Keren banget, ya. Selamat buat kamu. Aku bangga pernah kenal kamu.”

Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba menangkap makna di balik kata-katanya. Ada sedikit getaran dalam hati, tapi tidak seperti dulu—bukan rasa rindu atau harapan, melainkan kelegaan aneh yang sulit dijelaskan. Pesannya sederhana, tapi terasa seperti penutup buku yang sudah terlalu lama terbuka.

Aku mengetik balasan singkat, “Makasih.” Saat pesanku terkirim, aku menyadari bahwa untuk pertama kalinya aku merasa tidak perlu membuktikan apa-apa lagi padanya. Tidak ada dendam, tidak ada penyesalan—hanya perasaan damai, seolah aku dan dia akhirnya tiba di persimpangan hidup masing-masing dengan tujuan yang berbeda.

Aku tersenyum kecil. Pamer memang boleh, tapi semua orang memilih cara dan ‘barang’ pamerannya sendiri. Dia dengan pasangan barunya dan aku dengan pencapaianku. Kita hanya berada di pameran yang berbeda.

Sambil mematikan layar ponsel, aku berbisik pada diri sendiri, “Pameranku lebih berarti.”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Virya Anisa
Virya Anisa Suka baca sejak bisa membaca. Suka nulis sejak bisa menulis. Suka kamu sejak pertama kali mata kita saling menyapa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email