Masih pagi, Laila melamun ditatap lalat. Ia balas melotot, hendak bertanya, tapi lalat langsung raib terbang dan hilang. Meninggalkan laut teduh di hadapannya, yang membawa derai angin basah, ia lirik-lirik perutnya sendiri. Ternyata sudah membengkak sebesar jambu biji. Tapi ia lebih naksir pada panorama laut teduh.
Memang, laut itu teduh dan bersahabat dilihat dari bibir pantai, tapi tak seorang pun menyangka, di ujung laut yang tak terjamah, badai mungkin sedang mengamuk. Termasuk Laila, masih melihat laut itu teduh, berarak-arakan ombaknya seperti semut-semut kecil dan angin-angin kecilnya menggulung rambut poninya yang halus.
Aku tidak mendaftarkannya ke sekolah. Selain kekurangan biaya, aku mengikuti tradisi leluhur para pelaut. Anak-anak harus menjadi asin dulu dengan laut. Jangan cepat-cepat merantau dari pesisir. Mereka berpesan, apabila sudah nikmat di daratan, anak-anak tidak lupa kehidupan laut yang juga mahadaya misterinya lebih luas dan dalam dari daratan.
Di sini, anak laki-laki diajarkan berlayar jauh dan menjauhi pikiran ingin bersauh ke daratan lagi. Mereka tangguh menombak ikan-ikan, punya rata-rata menyelam tanpa bernapas lebih dari 10 menit dan kuat mendayung sampan di tengah gojlokan ombak malam hari. Mereka begitu percaya diri, sampai-sampai berkata laut menjadi asin karena keringat mereka yang tumpah ruah.
Laila, dara kecilku tak bisa kuajarkan seperti anak laki-laki yang mau dewasa. Tradisi tak mengisahkan seorang pun dara bisa bertarung di tengah laut. Cerita kakek, nenek, mamak, bapak, bahkan suamiku yang sudah mati ditelan laut, juga tak pernah menyebut daftar perempuan pergi jauh menghampiri ujung laut yang samar-samar dari pantai. Aku sering mengiyakan mereka, karena memang aku sendiri tak pernah tahu berlayar ke ujung laut, sampai jauh dari rumah.
Hanya abang kandungku yang sekarang di sisiku ini, ikut memandang punggung Laila. Ia sering diejek sebagai laki-laki bukan jantan perkasa oleh teman-teman masa kecilnya. Ia merasa laki-laki tak selalu berpasangan dengan kejantanan. Itu warna tertentu saja, di antara ragam warna lain. Meski kawan sesama laki-lakinya sulit percaya, aku mengerti. Jadi, ia mengerti juga kegetiranku kalau aku ragu melanjutkan besarnya cerita tentang laki-laki laut pada Laila. Aku menoleh ke abang.
“Bang, Laila masih kularang coba-coba naik sampan kecil itu. Kau tahu kan, Kitab Kita adalah kitab para lelaki. Meski aku ragu, tapi toh aku terpaksa ikut Kitab itu, seperti cerita tentang badai yang lesap oleh laki-laki atau ombak yang lucut oleh laki-laki atau ikan-ikan yang kalah gesit dengan laki-laki saat menyelam di laut. Semua cerita oleh laki-laki. Kitab selalu bicara tentang laki-laki, yang kadang tak berarti bagiku. jadi, firasatku Laila akan waktunya merasakan yang sama, bang”
“Aku ini laki-laki. Tapi apa pernah, kau lihat aku benar-benar menjadi seperti di Kitab Suku itu? Aku, laki-laki, abangmu sendiri, bahkan susah ereksi. Aku bisa naik sampan sendirian ke tengah laut, tapi tidak tentu akan kembali ke daratan dengan selamat.”
Angin mendadak kencang di akhir kata-kata abangku.
Pandanganku kabur ke arah Laila.
“Laila! Laila!”.
***
Keesokan harinya, aku berpikir supaya Laila minum sebutir kelapa hijau. Kuminta abangku mencarikan dua sekaligus untuknya. Mukanya pucat setelah angin kencang kemarin. Dan kadang-kadang sambil terpejam dan gelisah di ranjangnya, ia melirih, “emak, lautnya kenapa tidak teduh. Anginnya kencang sekali. Sakit”.
“Laut akan teduh lagi, nak. Itu perbuatan angin, bukan laut.”
Suara sandal mengeset di lantai kayu. Nenek datang. Sambil tertatih-tatih dan bungkuk jalannya, nenek masih membawa seikat ikan pindang dari pasar. “Kau masaklah ini. Aku mau bertemu cucuku, daraku sayang?”.
“Laila, hari ini demam, mak. Abang lagi kuminta mencari kelapa hijau. Dia lagi baringan di kamar.”
“Kau punya sisa obat mantri?”
“Habis, emak. Dulu aku bagi-bagikan ke tetangga yang batuk-batuk. Dua butir kelapa hijau mungkin cukup, mak”
“Mak…emak…”. Kubantu emak berjalan ke suara yang memanggil-manggil aku.
“Emak, Laila mau lihat laut teduh. Laila lihat ombaknya seperti semut berbaris.”
“Iya nak, setelah demam-mu pulih, mamak temani kamu lihat laut teduh lagi.”
“Emak, kalau Laila sudah besar, aku mau duduk di atas semut ombaknya. Tapi…lautnya akan teduh lagi, kan?”
“Lautnya akan teduh, Laila.”
Aku melirik ke bola mata emak yang masih sebesar biji salak. Mata yang menggantung aneh di lipatan-lipatan kulit wajahnya, ketika mendengar Laila bilang laut teduh. Aku tahu seumur-umurku jadi anak perempuan satu-satunya, emak hanya punya kamus kata bahwa laut itu ganas.
“Itu tradisi, sudah diwariskan dari Kitab Kita. Kamu harus berpegangan kuat-kuat kalau ingin selamat”, begitu selalu kata emak menutup cerita-ceritanya mengantar tidurku di masa kecil
Sejak itu, bukannya kagum berseri-seri, aku seperti rusa yang sendirian tersesat di tengah hutan, merasa dikejar-kejar pemburu Dan tidak tahu menahu alternatif jalan selain percaya Kitab Kita kata emak itu.
Laila sudah tenang, minum kelapa hijau yang dibawa abang. Mata emak memberi sinyal agar aku keluar kamar dengannya.
“Maira, apa itu laut teduh? Itu kau menyesatkan”. Mamak begitu lantang mengatakannya di mukaku.
“Emak, Laila terlalu kecil kalau harus mendengar Kitab Kita yang bercerita laut itu ganas”. Emak memejam mata saat suaraku lebih keras dan mulutku membusa.
“Almarhum suamimu, bapakmu, bahkan semua leluhur kita yang laki-laki meninggalkan pesan yang sama: laut yang mereka temui ganas, Maila. Makanya laki-laki kita banyak yang tak kembali ke daratan, padahal kita sedang hamil atau sakit.”
“Bagaimana percaya laut ganas, Maira tidak pernah diajak melaut. Semua perempuan di suku kita hanya dilatih untuk bertahan ditinggal dan kehilangan. Laki-laki bebas melosok jauh, lupa dengan daratan. Aku curiga, mereka tidak tewas dimakan laut, tapi sedang berpesta dansa di seberang benua daratan lain, bersama…”. Aku menahan-nahan mengatakan itu. Tapi firasatku yang tak bohong ini biarlah aku yang menyimpannya.
“Tapi Maira, itu kepercayaan yang benar. Kita tidak perlu susah-susah mencari bukti. Tinggal dengar dan iya saja dengan kawan dan sanak laki-laki. Dari dulu begitu, tapi kenapa lalu kau membuat dirimu mau berubah?”
“Aku hanya mau mencabangkan jalan, mak. Untuk Laila! Jalan tak harus lempeng ke depan, kan? Apakah salah, aku dan Laila menyetir diri kita sendiri. Di situ juga ada iman, kan?” Aku merasa dilegakan beban pundakku mengatakan hal itu.
Emak duduk di dipan yang terbuat dari kayu kelapa. Kasur kapuknya kubuat dari buah pohon kapas langsung. Saat itu Laila baru belajar berjalan. Dan satu bulan bisa berjalan, kudengar cerita mengerikan dari kawan sepelayaran suamiku. Bagaimana ketika datang badai, saat menyiapkan layar ia terpental jatuh. Sekejap tubuhnya hilang, sekejap semuanya reda. Aneh bin Ajaib. Cerita Kitab Kita yang mengatakan laki-laki itu raja atas lautan tidak selalu sama dengan kenyataan depan mataku. Jadi, Kitab itu adalah wasiat kesaktian yang diturunkan atau sekedar mimpi yang terus-terusan gagal?
Suamiku selalu bercita-cita menaklukan laut yang ganas. Memang katanya laut hanya punya satu wajah: ganas. Jika tidak waspada terhadap ombaknya, kita akan lepas dari kehidupan dan tidak ingat lagi apa-apa yang berharga sudah diperoleh di dunia di tempat kita bisa bernapas. Sementara aku melihat wajah laut itu teduh, seperti sebuah payung raksasa bagi semua makhluk di laut, dan memisahkannya dari segala kerakusan dunia permukaan dan daratan.
Aku dan emak jeda sejenak dengan ingatan kami masing-masing. Entah dipikiran emak apa, aku juga berpikir. Sepertinya emak mau mengeluh dan marah, tapi sudah lupa caranya ketika masih muda ocehannya membuat lima abang-abangku jadi patung. Memang kepadaku emak tidak pernah marah. Emak pernah cerita. Waktu bayi aku hanya kebagian sisa-sisa air susunya.Tapi, air susunya yang sudah mampet untuk anak terakhirnya ini diganti perhatian melebihi kepada empat anak pertamanya.
Emak berlirih lagi, “Apa ini maksudmu, Laila tidak usah kenal Kitab Kita. Kalau begitu berarti kau membuat Kitab penanding.. Maila, ini berbahaya..”
“Tapi mak, apakah leluhur tega menghukum niat baik?”
“Tapi Maira, apakah niat baik pasti baik buat kita?. Kau bilang laut teduh, tapi emak tahu laut ganas, manakah yang baik buat kita?
Maira berpaling ke jendela persegi. Rumahnya hanya sepelemparan batu dari laut lepas. Melihat mendung di atas laut, dia berusaha berpikir. Maira masih melongok tajam ke luar jendela.
“Aku hanya mencoba percaya pada yang lain, mak, kalau laut teduh nanti bisa kualami.”
Emak mulai sedih sekarang. Dia punya firasat juga. Aku bisa baca arah bola matanya. Oh mamak, pasti kau juga menyimpan dalam-dalam di hatimu.
“Emak, tentang Kitab Kita, sebenarnya sudah sering kudongengkan pada Laila di malam-malam pertama kelahirannya. Tapi, mimpi-mimpi tidur malamnya tak seperti bunga mimpiku dahulu yang dihantui ganasnya lautan. Dia ajaib, mak, Laila bisa melihat laut itu teduh, ketika beranjak gadis. Aku temukan kata laut itu teduh, setelah mendengar Laila mengatakan mimpinya tentang telentang di atas perahu kecil yang digoyang-goyang lautan yang menggenang tenang.”
Maira merasa ucapannya tadi bisa membikin emak sebentar menghela napas. Tidak pernah duet emak anak ini buntu dengan saling mempertanyakan. Sebelum ikut suaminya, lalu membangun rumah sendiri dan punya satu anak, obrolan hanyalah seputar pohon, meja, kursi, pasar, dapur dan makanan. Tapi hari ini, saat suami sudah mati dan anak sakit, Maira menatap dan ditatap pertanyaan dirinya sendiri, tentang Laila dan emaknya.
Emak membaringkan tubuhnya di dipan yang tadi didudukinya. Aku tahu dari dulu, emak tak bakal tega membuat anaknya merasa bersalah. Emak pernah bilang tindakan yang paling keji dari manusia adalah membuat sesamanya merasa bersalah, lalu memakai rasa bersalah orang itu untuk jadi tuan atas segalanya. Raja di atas rasa bersalah.
Tapi aku merasa bersalah dengan diriku sendiri. Semua aib dan maluku sudah tercetak di wajahku. Tiap hari kutaruh wajahku di cermin bundar, aku menatap aku yang penuh salah. Ternyata ada wajahku yang ingin ganas, ingin menjadi apa yang ada dalam cerita laut ganas itu. Sering kubayangkan mulutku adalah mulut laut, lalu kujulurkan lidah-lidahku menjadi tembok-tembok ombak yang menjulang, dan melumat-lumat siapapun laki-laki yang sedang lari melaut dari daratan.
Mendung yang tadi tampak di ujung laut beranjak ke bibir pantai. Maira mulai membayangkan dia juga badai yang berteman dengan laut ganas. Dia tahu badai hasrat dirinya itu bisa dahsyat menyapu semua yang menghalanginya. Orang tak pernah tahu, beberapa kali dalam semalam, Maira mendayung sendiri sampan nelayan sekuat dan sekencang badai. Dia berdiri di laut lepas. Seperti badai, dialah yang menggoyangkan laut. Menjadi badai yang membuat nelayan-nelayan mana yang beranjang di geladak tidak takut saat kapal mereka oleng mau tenggelam.
Ada laut ganas di wajahku dan badai guntur dalam hasratku. Aku merasa memilikinya sendirian. Dan aku memang hanya perlu membuatnya jadi milikku. Seperti emak, aku tak tega bila Laila mengetahui wajah dan hatiku yang tak sama dengan laut teduh dipikirannya. Seuntung-untungnya aku adalah perempuan, yang kata orang bisa berhati reda dan punya tubuh lindap, toh aku merasa diriku tetap manusia, binatang, pohon buah dan tumbuhan liar. Ada akal, ada rasa, tapi tak ada kendali terus-menerus yang pasti. Meski aku merasa tahu diriku, tetap ada warna tertentu yang tak kuketahui.
“Maira…Maira! Laila tidak ada di ranjangnya!”
Maira gegas jalan kepada suara itu. Lamunan dan pikirannya terhenti. Dia mendapati kamar Laila lengang. Angin juga tidak ada. Dua buah kelapa yang dipetik abang Maira teronggok miring di lantai. Mendekat ke jendela, Maira melongok ke semua arah. Tak dikenali apapun serupa tubuh Laila. Maila hanya melihat barisan nyiur doyong di tepian laut itu.
“Ada apa Maira? Di mana Laila?”
“Mak, Laila tak ada di ranjang. Dia melompat lewat jendela. Masih ada jejak kakinya dekat jendela ini.”
Tak tega aku menyalahi Bang Jaka. Dia buta. Jadi mana mungkin bisa mencegah larinya Laila.
“Emak, bang. Mungkin dermaga nelayan. Ya, Laila suka tidur di pasir melihat perahu-perahu yang tambat dan goyang-goyang. Dia suka kapal bergoyang karena itu mimpinya yang diceritakan.
“Huss. Perempuan dilarang membayangkan naik kapal goyang. Cuma laki-laki yang bisa berdiri di situasi itu.”
“Mak, jangan dulu sebut-sebut hapalan Kitab Kita lagi. Sekarang Laila hilang. Laila hilang, mak!”
Lekaslah mereka bertiga mencari satu yang hilang. Maira terbirit-birit di depan, tapi emak dan Bang Jaka hanya bisa melangkah sepertiga dari langkah Maira. Sesekali Maira menunggu mereka, sesekali Maira lebih cepat.
Sambil lari dan menanti, tumpah sudah air matanya. Air mata penuh khawatir tentang dara kesayangan satu-satunya. Dia tidak bisa menahan air mata cemasnya, seperti tidaklah mungkin membendung semua air laut. Maira berteriak melawan ombak yang pecah. Lagi hari mulai temaram, Laila yang dicari tidak ditemui.
Maira memberontak. Ia cabik-cabik rambut dan pasir di sekelilingnya. Kadang merasa tak peduli diri sendiri perlu. Tetapi untuk ukuran ibu yang kenal betul anaknya, tak mungkin lagi ia berlebihan mengurusi diri sendiri. Sejak Laila lahir, perbuatan mengelus, menyuapi, menyisir dan membopong Laila, bagi Maira adalah kesukaan nomor satu. Lebih puas dan melayang seperti minum ciu, daripada dulu suka bergincu buat dirinya sendiri.
Ombak di depan mata Maira membangun tembok. Masih tidak ada tanda, kecuali angin dan dingin. Warna laut pun sudah bukan biru berkaca-kaca, tapi menggelap bersama akhir hari.
“Maira, emak penasaran cerita laut teduh itu?” Meski tidak jelas, suara emak yang melawan angin laut menyentakku.
Aku tersadar. Kaki, rambut, muka dan tanganku berantakan dengan pasir. Emak bilang laut teduh? Ya, firasatku tak salah, Laila ingin tahu laut teduh. Sekarang, emak pun ingin tahu.
Pikiran Maira mulai tidak keruan. Kepercayaan yang dibangunnya untuk melawan Kitab Kita seketika seperti daun terakhir di ranting pohon yang meranggas. Niatnya yang cuma mau menyenangkan Laila soal laut teduh seperti bukan niatnya lagi.
“Maira, itu perahu goyang. Emak lihat itu satu-satunya yang bertahan terhuyung ombak.”
“Kita apakan perahu itu, emak?”. Aku tidak percaya, mengapa emak lebih peduli perahu daripada Laila.
“Kita pakai mencari Laila. Kan Laila, anakmu, mencari tahu laut teduh.” Suara emak jadi lebih yakin dari diriku.
Bertiga naik ke perahu. Dayung cuma dua, jadi tentu tugas Bang Jaka. Meski buta aku tahu tenaganya sangat kuat. Aku duduk di depan dengan mata sigap dan waspada. Siap mengarahkan ke kiri atau ke kanan. Emak duduk di tengah, bungkuk dan berpegangan erat-erat.
Kami menjauh dari daratan. Tubuh kami mengayun bersama perahu. Belum jelas laut itu bakal sungguh teduh atau ganas. Emak tahunya laut itu ganas, tapi dia penasaran laut yang teduh. Aku masih yakin laut itu teduh, tapi khawatir juga jika laut ternyata ganas.
“Laila…! Laila…!” Sekeras apapun risauku seperti hanya aku yang mendengar.
Emak bungkuk sekali di kursi perahu. Bang jaka masih terus mendayung. Mereka memberiku jeda untuk lega. Oh, Laila, andai kau lebih bersabar, kita bisa berempat di sini.
Emak minta berpegangan tangan dengan Bang Jaka.
Di belakang punggung Maira, mereka saling tatap. Bisik-bisik kata yang sama.
“Laila dan Maira sama-sama hamil.”
*****
Editor: Moch Aldy MA