“Paket…”
Masih tak ada balasan apapun dari dalam rumah tersebut. Ini adalah seruan ketujuh kalinya. Ia mengamati lagi gerbang rumah. Pandangannya beralih ke paket seukuran dua kali kotak sepatu yang terselip di ketiak kiri. Pagar besi itu sangat rapat, tidak ada sela untuk menyisipkan. Ia mendongak ke atas, pun tak mungkin melempar. Tinggi pagar itu dua kali tinggi dirinya, bungkusan yang dia bawa pasti remuk menghantam lantai atau tanah di balik pagar itu jika dia melemparnya.
Dia melihat ponsel yang sedari tadi tergenggam di tangan kemudian mengetikkan sebuah pesan, pesan yang sama yang hari ini juga dia kirim ke orang lain.
“Paket saya bawa lagi ke gudang.”
Ini adalah paket ketiga yang gagal diantarkannya ke penerima karena dia tidak bisa menemui mereka. Dia juga tidak bisa meninggalkan maupun menitipkan sebab dia masih harus menagih biaya pembayarannya. Ketiga paket itu harus kembali ke gudang transit di area itu, yang mana adalah rumahnya sendiri.
Baginya, mengantar paket ibarat menjalankan puasa, harus ditunaikan hari itu juga jika tidak maka harus diganti. Artinya ada beban tanggungan ekstra paket di lain hari yang harus diantar. Jika dia tak benar-benar mengatur pengiriman dengan jeli—memetakan alamat, menguasai wilayah, memastikan motornya tidak rewel—akan banyak paket yang terlambat dikirimnya, yang artinya akan membuat pekerjaannya menumpuk. Selain itu, target jumlah paket hari itu tak akan terpenuhi dan akan berpengaruh pada upah hariannya.
Ia kembali menaiki motor bersiap melaju menuju tujuan pengiriman selanjutnya. Udara panas yang seharian membakar kulitnya mendadak kini mulai berganti dengan air yang tumpah dari langit. Ia semakin gelisah. Salah satu “musuh” utama seorang pengantar barang sepertinya adalah hujan. Meski semua paket ini terbungkus karung dan tertutup plastik, tapi terlalu beresiko. Dia menepi, berteduh.
Dia melihat jam tangannya, jarum menunjuk ke angka dua. Dia menghitung lagi barang yang sudah diantar hari ini. Sangat jauh di bawah target. Baru dua puluh lima paket yang telah dia tunaikan dari tujuh puluhan paket.
Usianya yang tidak lagi muda pun sangat berpengaruh. Dia tak bisa terus-terusan mengantar tanpa henti. Setiap dua jam dia harus beristirahat demi menjaga mata tetap fokus dan mempertahankan fisik yang terus melemah.
Hari biasa, ia hanya mengantar lima puluhan sampai enam puluh paket. Tapi menjelang lebaran seperti ini, jumlah meningkat. Sementara jumlah kurir pasti menurun. Kawan-kawannya sesama kurir sudah banyak yang libur dan mengambil cuti pada saat ini. Meski upah naik menjelang dan selama lebaran, mereka lebih memilih mudik atau mempersiapkan lebaran di rumah.
Seandainya bukan demi Aryo, anak satu-satunya yang baru diberikan Tuhan lima belas tahun setelah pernikahannya, dia tentu lebih memilih mempersiapkan lebaran di rumah. Apapun akan dia lakukan demi anak yang harus kehilangan ibunya tepat saat anak itu hadir ke dunia itu.
Suatu hari ketika pulang kerja, dia mendapati anaknya duduk meringkuk dengan kepala tertunduk di kamar. Dia mendekati, anaknya menangis. Ia bercerita bahwa kawan-kawannya mengolok-olok sepatunya yang ketahuan bolong pada bagian alas.
Sepatu itu memang sudah cukup usang, tanda-tanda kerusakannya sudah kentara. Tapi, penghasilan seorang kurir tidak cukup untuk hal-hal di luar kebutuhan pokok. Upah saat menjelang lebaran seperti ini lumayan untuk tambahan membeli sepatu. Kesempatan itu pun dia gunakan.
Hari ini dia harus pulang membelikan anaknya sebuah sepatu baru. Bosnya, kepala cabang pengiriman, menjanjikan akan memberikan langsung upah hari itu, tergantung berapa paket yang selesai dia antar. Total tujuh puluh paket yang ditargetkan hari itu. Jika dia berhasil mengantar semua, akan ada tambahan upah lagi.
Air langit yang tumpah ke bumi mulai reda. Dia segera melanjutkan perjalanan ke alamat selanjutnya. Dengan segenap tenaga yang tersisa dia mengejar seluruh alamat. Pukul sembilan malam, dia sudah tiba di kantor jasa pengiriman. Upah dan bonus pun diberikan padanya.
***
Jam menunjukan pukul setengah sebelas malam. Kotak seukuran sepatu sudah tergantung di motor. Dia melaju dengan kecepatan paling terukur, sembari menahan pinggang yang nyeri. Dia memaksimalkan daya yang tersisa agar tetap fokus. Sepanjang jalan, dia mendengar suara takbir. Mulutnya turut melantunkan nada yang cukup membantunya agar tidak mengantuk itu.
Dia sudah tidak sabar menyerahkan paket terakhir ini, bukan untuk orang lain tapi untuk anaknya sendiri. Dia sudah membayangkan mengetuk pintu rumah kontrakan sambil berlagak sebagai kurir dan berteriak “paket…”. Anaknya, yang tidak akan tidur sebelum ayahnya pulang, akan segera membuka pintu. Sebuah kejutan bagi anaknya yang membuat malam lebaran semakin indah.
Balutan kepenatan sekaligus bayangan kebahagiaan membuat kewaspadaannya mengendur. Di sebuah tikungan, dia berkelok ke kiri. Sebuah truk melaju dari arah kanan dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba, terdengar suara keras menggelegar di tengah saut-sautan lantunan gema takbir. Ia dan motornya terhempas. Begitu juga kotak sepatu untuk anaknya.
*****
Editor: Moch Aldy MA