Belum sempat melepas helm dan menjagang motor, gawai di saku celanaku bergetar. Pesan itu masuk sesaat setiba aku di parkiran. Aku berangkat dibayangi kecemasan. Pikiran sudah tak keruan. Anakku sudah seminggu ini sakit. Sepanjang malam sering terbangun tiba-tiba disertai badan panas, lalu kejang-kejang. Tadi pagi juga belum ada tanda-tanda membaik. Takut ada hal buruk di rumah. Mungkin itu pesan dari istriku. Aku langsung mengecek pesannya. Ternyata bukan, pesan itu dari Bu Sherly bagian kesiswaan.
“Pak Dori ditunggu di ruang kepala sekolah,” tulisnya.
Aku cuma membacanya. Belum ingin menggubrisnya. Pikiranku sudah menumpuk-numpuk. Rasanya begitu malas menemui kepala sekolah itu. Dia egois, angkuh, dan yang paling menyebalkan, dia tidak solutif serta mata duitan.
Sejak aku kekeh tak memberi nilai Nduro, kepala sekolah itu getol sekali memanggilku. Baik saat papasan di lorong atau di parkiran, dia tak canggung menanyakan perihal nilai kosong anak kurang ajar itu. Sampai aku bosan mendengarnya. Seakan-akan Nduro ini anak yang harus dirawat, dijaga, dan didukung penuh. Padahal sudah jelas, Nduro tidak ada pantas-pantasnya mendapat pembelaan.
Pagi ini yang terbaru, dan aku tetap belum ingin menggubrisnya. Percuma saja meladeni orang seperti itu. Pikirannya tak bebas dan terjajah oleh aturan bobrok. Tak ada akhirnya.
Aku langsung naik ke atas, ke ruang guru. Di sekolah ini, semua guru terlihat baik, patuh, dan cenderung kurang idealis. Bagiku, guru yang semacam itu kurang pas. Guru harusnya mempunyai dasar pikiran kuat, punya prinsip, dan semangat tiada padam. Karena bagaimanapun sedikit idealis diperlukan dalam pemupukan karakter siswa. Tapi, agaknya pendidikan Indonesia sulit memahami itu. Idealis dianggap radikal.
Aku masuk ke ruang guru. Tidak ada agenda padat hari ini. Karena memang ujian akhir semester sudah berakhir tiga hari yang lalu. Siswa sudah masuk masa santai. Aku tinggal menagih tugas-tugas yang kurang. Kubuka beberapa buku ajar dan tanggalan. Di awal bulan nanti, rapor kelulusan sudah harus dibagikan. Semua guru kecuali aku, sudah menyelesaikan tugasnya, mengisi nilai siswa.
Guru di sebelahku menegur. “Kepala sekolah tadi ke sini, Pak Dori dicari kepala sekolah.”
Aku mengangguk pelan, “Bu Sherly tadi sudah memberi tahu.”
Bodo amat dengan panggilan itu. Tidak ada yang bisa merayuku untuk kali ini. Aku sudah putuskan untuk tidak berbelas kasih pada Nduro. Tidak ada jalan damai kali ini. Tetap akan kuberi warna merah. Bila perlu aku gunakan jangka untuk menulis lingkaran merah besar yang sempurna. Tidak ada penawaran. Nduro memang harus diberi pelajaran.
Gawaiku kembali bergetar. Kali ini kepala sekolah itu sendiri yang langsung mengirim pesan.
“Pak Dori, apa bisa ke ruangan saya sekarang?” tulisnya.
Ini sungguh meresahkan. Padahal sudah jelas aku jawab di rapat besar waktu itu. Sikapku jelas dan tegas. Tidak sudi dan tak rela memberi nilai hitam pada Nduro. Berbagai alasan, argumen, dan pertimbangan sudah kuutarakan. Tidak ada pantas-pantasnya anak itu mendapat nilai hitam di sekolah. Langkah tepatnya harus dikeluarkan. Kalau tidak, minimal jangan sampai dia naik kelas. Tapi entah mengapa, semua guru seperti tutup mata, mulut, dan telinga perihal itu.
Panggilan kepala sekolah masih kuabaikan. Sungguh muak rasanya. Aku kembali merapikan meja dan memilah beberapa buku siswa dan kertas. Tidak lama dari itu, ada panggilan masuk. Itu dari kepala sekolah lagi. Aku tetap mengabaikannya. Gawai itu terus berdering. Semua guru silih berganti perlahan melirik ke arahku. Getarannya terasa risih membentur meja, berulang-ulang.
Seketika aku kembali teringat anakku di rumah. Kuharap dia sudah membaik saat aku pulang. Sejujurnya, aku mulai kesulitan menebus obat-obatnya. Kepala rasanya mau pecah memikirkan itu. Gaji guru honorer tidak pernah bisa diharapkan. Tapi entah mengapa aku tidak bisa keluar dari profesi ini. Lebih mirip sebuah kutukan.
Sementara di meja, gawai itu terus menyala. Agaknya kepala sekolah itu keras kepala. Aku yang sudah benar-benar risih akhirnya tidak ada pilihan, langsung mengangkatnya.
“Baik, Pak, saya ke sana sekarang,” jawabku tak ingin basa-basi. Ini harus segera diakhiri sekali lagi. Kepala sekolah itu perlu diberi penegasan. Tidak ada negosiasi. Menyusuri anak tangga, aku sudah siapkan jawaban untuknya.
***
Di ruangan berpendingin itu dia mempersilakan aku duduk. Menyodoriku air mineral gelasan dan menawari gorengan. Raut wajah tuanya terlihat lelah. Tampaknya dia begitu tertekan.
Seperti kemarin-kemarin, dia lebih banyak basa-basinya. Dia menjelaskan aturan sekolah, aturan guru, aturan siswa, tugas guru, tugas siswa, dan seterusnya. Persetan dengan itu semua. Salah tetaplah salah. Dan benar tidak mungkin salah. Sudut pandang manusia yang memorat-maritkan itu.
Tidak ada argumentasi baru. Karena memang sebenarnya orang seperti dia tidak pernah punya solusi. Ujung-ujungnya berkutat pada kalkulasi untung rugi. Semua cenderung klise dan monoton. Aku paham betul permodelan semacam itu. Hapal di luar kepala. Tapi tak menggoyahkan pendirianku. Nduro tetap akan mendapat warna merah di rapornya.
***
Aku ingat betul betapa nakalnya anak itu. Dia siswa yang tak tahu diuntung dan kurang ajar. Tidak memiliki tata krama dan etika. Tingkahnya di sekolah lebih mirip preman ketimbang siswa. Aku sendiri heran, mengapa masih ada sekolah yang mau menerima dan sekarang mati-matian membelanya.
Nduro siswa pindahan. Sudah banyak yang tahu kalau Nduro dikeluarkan dari sekolahnya dulu karena kasus kekerasan dan bolos sekolah. Dia diketahui memukul salah seorang guru agama di sekolahnya hanya karena tidak mau disuruh salat.
Mulanya guru agama itu cuma menegurnya. Tapi Nduro justru ngelunjak dan menyumpahinya. Sekalipun guru agama, tetap saja dia manusia yang punya batas kesabaran. Emosi guru agama itu tersulut. Seketika tangannya bergerak menampar wajah Nduro yang sedari tadi banyak celometannya. Sontak Nduro memberontak. Itu disaksikan banyak siswa. Nduro merasa malu atas perlakuan itu. Dia kembali menyumpahi guru agamanya sebelum pergi.
Selepas pulang, Nduro sudah menunggu di tikungan. Di sanalah guru agama itu dibegal. Nduro dengan beraninya langsung memberhentikan motor guru agamanya dan seketika langsung melayangkan bogem mentah persis ke arah wajah. Sedikit ada perlawanan, tetapi Nduro lebih siap untuk bertarung. Alhasil, guru itu menerima beberapa pukulan sebelum dilerai warga sekitar. Nduro langsung kabur masuk ke jalanan kampung. Dan keesokan harinya, sekolah langsung mengeluarkan Nduro. Tidak ada toleransi dan jalan damai untuknya. Untung-untung tidak diperkarakan ke polisi. Nduro cukup beruntung. Lalu, sekolahku menampungnya.
Di sekolahku, Nduro tetaplah Nduro. Tidak berubah sama sekali. Bahkan lebih bengis dari sebelumnya. Dia tetap mirip preman. Satpol PP pernah mendapatinya merokok di tempat game saat jam sekolah. Lalu, dia juga sering ikutan demo bareng mahasiswa membawa molotov rakitan. Dan yang tak bisa ditolerir, satpam sekolah dibuatnya masuk ke puskesmas gara-gara memindah sepeda pancalnya sembarangan.
Denganku pribadi tidak kalah garangnya. Saat itu, aku mengajar di kelasnya. Aku menjelaskan perihal rumus dan hapalan soal ujian. Di bangku belakang, dia begitu ramai dan provokatif. Siswa yang diam, dibuatnya marah. Kelas langsung tersulut oleh tingkahnya. Tidak kondusif lagi. Salah seorang siswa yang merasa risih, tak terima dan meladeninya. Alhasil mereka bertengkar singkat. Saat kutegur, Nduro balik membentak dan langsung mengajakku duel selepas pulang sekolah. Tidak sampai di situ, dia mengata-ngatai, bahwa aku guru homo yang miskin. Itu ucapan yang begitu menyakitkan. Aku tersinggung bukan main. Bisa saja aku meladeninya. Tapi bagaimanapun aku lebih rentan masuk penjara untuk soal begituan. Seumur-umur aku mencoba kerja ini dan itu, aku tak pernah menyangka bahwa menjadi guru begitu memilukan.
***
“Kita sama-sama tahu tingkah Nduro, Pak. Sekolah belum bisa mengeluarkannya. Citra sekolah di masyarakat akan jelek. Sekolah juga butuh siswa walau cuma satu. Jadi kita bantu saja sampai dia lulus.” Itu inti dari perkataan kepala sekolah kepadaku.
Mendengar itu, aku sebenarnya ingin tertawa. Sekolah sudah persis seperti ladang pembuatan ijazah. Sudah jadi rahasia umum, sekolah ini memang hanya mencari keuntungan dan bisnis.
Tapi nyatanya aku cuma bisa diam tidak membalas. Kepala sekolah itu menatap tajam ke arahku. Dia ingin ada jawaban yang melegahkan. Tapi, aku belum sudi untuk memberi warna hitam dan meluluskannya. Wajah, tingkah, dan perkataan Nduro saat di kelas tidak bisa aku lupakan. Begitu melekat sampai kini. Terus berpendar mengusikku. Dia harus diberi peringatan keras. Hanya itu inginku.
“Kalau Bapak masih bersikukuh, tidak ada pilihan lagi,” lanjut kepala sekolah itu. “Yayasan sudah sepakat mengambil jalan sendiri. Dan Bapak boleh mencari sekolah lain.”
Itu ancaman yang serius bagiku. Aku menelan ludah beberapa saat. Jantungku seolah berhenti beberapa waktu. Tak kusangka aku benar-benar tersudutkan. Itu bukan pilihan, melainkan pembenaran kesalahan. Aku kembali menatap wajah dan sorot mata kepala sekolah, memastikan bahwa dia tidak bercanda. Tapi rasanya, itu benar-benar serius.
Tidak begitu lama, gawai di kantongku bergetar lagi. Aku izin keluar untuk mengangkatnya.
“Halo, Mas. Cepetan pulang! Anakmu kejang-kejang!”
***
Editor: Ghufroni An’ars