Rintik gerimis masih menjuntai dari balik awan. Semilir angin bertiup dengan iramanya yang sendu. Di bawahnya, Duratno mengemudikan mobilnya perlahan, seolah-olah berusaha menjaga sisi-sisi ban agar tetap kering. Lalu, laju kendaraannya berangsur melambat, memasuki sebuah pelataran lapang beralaskan konblok.
“Sampai bertemu,” kata Duratno sambil memainkan jemarinya, “ingat ya, aku akan menjemputmu di sini, tiga hari lagi.”
Aganis, perempuan berkulit putih pucat yang duduk di samping Duratno, hanya tersenyum dan mengangguk lembut. Tiada kata yang menyempal. Kemudian, dielusnya rahang Duratno yang kasar akibat cambang tipis yang urung dicukur. Tak lama, Aganis membuka pintu mobil dan segera meluncur sambil menjinjing tas tangan kecilnya, menyisakan butir-butir kesedihan yang tampak di wajah Duratno.
Usai matahari tenggelam petang itu, seperti yang telah dilakoninya selama enam bulan terakhir, Duratno mengantar Aganis ke sebuah hotel berbintang. Dan setiap kali mereka berpisah di depan lobi yang sama, entah mengapa, keduanya selalu mengenang seluruh adegan perjumpaan awal mereka di Rumah Ceria lebih dari setahun yang lalu.
Rasa cinta mereka tumbuh subur tanpa hambatan. Aganis, yang sedari kecil hidup sebagai yatim piatu pekerja keras, dengan mudahnya membuat rasa sayang Duratno menggebu-gebu. Sementara di sisi lain, bunga cinta Aganis merekah saat dirinya menyadari bahwa Duratno adalah lelaki pertama yang menatap matanya selepas bersanggama.
Lambat laun, mereka pun membangun komitmen untuk menetap di sebuah rumah. Mereka mengamini bahwa rumah adalah kebutuhan dasar dan manusia harus memperjuangkannya sendiri tanpa ketergantungan yang mengikat. Semboyan itu ibarat mantra yang mereka pegang dalam situasi bahagia maupun pelik.
“Aku berandai-andai,” ucap Duratno suatu waktu menggunakan gerakan tangannya, “bisakah seorang sopir angkot sepertiku menikah dengan seorang pelacur sepertimu, lalu menetap di sebuah tempat bernama rumah?”
“Entahlah,” balas Aganis singkat, “yang pasti, kita harus saling menguatkan.”
Sejak pertemuan mereka di Rumah Ceria, Duratno sangat takjub dengan kepribadian Aganis. Duratno percaya, nasib mujur cepat atau lambat akan menghampirinya. Dan benar saja, karier perempuan berparas manis itu menanjak pesat. Namanya tersiar luas bagaikan burung-burung yang beterbangan.
Seiring bergulirnya waktu, kiprahnya yang apik itu membuat Aganis dipungut oleh Pak Parbu, seorang pejabat tinggi provinsi, untuk dijadikan alat pemuasnya tiap akhir bulan saat kantor mengadakan perjalanan dinas. Namun Aganis tak melupakan tujuannya. Dengan privilese yang ada, ia mulai bersiasat, merancang taktik paling cemerlang di abad ini.
Setelah menunggu selama dua bulan, momen itu pun hadir. Aganis membuka jalan bagi Duratno untuk menjadi sopir pribadi Pak Parbu yang juga merupakan pelanggan tetapnya. Melalui kelihaiannya di ranjang, Aganis sukses merayu Pak Parbu untuk mempekerjakan seorang sopir khusus bagi dirinya agar permainan gelap mereka tak mudah terbongkar.
“Aku punya adik yang pandai menyetir,” bisik perempuan itu dengan nada menggoda sesaat setelah merebahkan tubuhnya.
“Oh, ya?”
“Ya. Lebih dari itu, dia jago menyimpan rahasia kita berdua, Mas.”
“Jangan gegabah,” Pak Parbu mengernyitkan dahi, “asal kamu tahu, banyak orang bermuka dua di sekelilingku.”
“Tapi aku menjamin yang ini, Mas.”
“Kenapa kamu begitu yakin?”
“Karena dia bisu.”
Pak Parbu setuju. Maka setiap akhir bulan, Duratno akan menjemput perempuan itu di Rumah Ceria, mengantarnya ke hotel untuk melayani hasrat liar Pak Parbu, lalu kembali menjemputnya tiga hari berselang. Dengan cara ini, mereka pun dapat lebih sering bersua dan bercumbu. Dan selama berbulan-bulan lamanya, mereka sedapat mungkin bersandiwara.
***
Musim hujan masih betah menyelimuti seantero langit, seakan tak bosan-bosannya membasahi jiwa yang dirundung kerinduan, tak terkecuali Duratno. Di atas sofa usang yang terhampar di garasi rumah kedua Pak Parbu, lelaki itu masih sabar menanti kabar dari Aganis. Gairahnya meluap-luap tak keruan. Tidurnya pun diliputi kegelisahan.
Di sela-sela kesepian itu, Duratno sering kali menatap koleksi swafotonya bersama Aganis di layar ponsel sambil menyesap kopi. Kemudian ia memejamkan mata, meresapi dialognya di masa lampau, ketika perempuan bertato kelinci itu digaet Pak Parbu menjadi wanita simpanan.
“Mengapa kamu tidak menolaknya?” Duratno memulai dengan mengibaskan jemarinya, “padahal kamu bisa meraup pundi-pundi uang di Rumah Ceria. Kamu bisa menaikkan tarif.”
“Sayangku, anggap saja itu seperti perjalanan dinas,” sahut Aganis, “aku bisa memperoleh penghasilan tambahan. Sederhananya, banyak amplopnya!”
Duratno tak serta-merta menimpalinya. Ia sadar, kehidupan mereka memang berangsur membaik. Aganis mendapat uang berlipat ganda, sementara Duratno punya penghasilan tetap sebagai sopir pejabat.
Namun demikian, Duratno masih saja berusaha meneguhkan hatinya. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa pekerjaan menyebalkan yang mereka jalani adalah satu-satunya rute tercepat untuk menggapai semua mimpi-mimpi mereka.
“Kamu tahu sendiri, aku kini mempunyai segudang profesi,” sambung Aganis lagi, “aku toh bisa menjadi seorang sekretaris handal, suster atau dokter, penjaga kebun binatang, pengacara, pahlawan super, bahkan anak sekolahan dengan rok sepan selutut.”
Duratno lantas terpaku pada cuping hidung kekasihnya itu, membikin darah panasnya mengalir deras di sekujur badan.
“Kamu cemburu, No?”
Lelaki kurus itu tetap diam membatu, tak menampilkan secuil pun gestur kecuali membuang pandangannya. Demi menangani kecanggungan, Aganis menebar tawa kecil di sudut bibirnya lalu mencolek pinggang Duratno seraya mengedipkan mata dengan manja.
“Aku hanya mengkhawatirkanmu,” Duratno akhirnya meladeni dengan kibasan tangan.
“Tidak usah risau, No.”
“Bagaimana jika hal buruk terjadi?”
“Aku bisa jaga diri.”
“Tapi siapa yang bisa dan sudi menolong orang-orang seperti kita jika kelak terjadi sesuatu?”
“Barangkali, kita bisa minta tolong pada gerimis itu?” tandas Aganis.
Detik berikutnya, seluruh bayangan itu mengabur. Duratno menghela napas.
***
Malam betul-betul telah singgah. Duratno terkesiap saat ponselnya bergetar kencang. Aganis mengirim pesan. Tak seperti biasanya, ia meminta Duratno buru-buru menjemputnya di sebuah jalan arteri yang berlokasi tak jauh dari hotel. Tanpa pikir panjang, Duratno memacu mobilnya laksana peluru sembari menyusun pecahan mosaik di benaknya.
Berkat intuisi yang terlatih, tak begitu sulit bagi Duratno untuk menemukan keberadaan perempuan itu. Setibanya di tempat perjanjian, Duratno segera memberi tanda dengan menyorotkan dim. Aganis, yang tengah berteduh di bawah kanopi toko, langsung menghambur sambil menenteng tas tangan mungilnya. Aroma parfumnya tercium dari jarak sekian depa.
“Ada apa?” Duratno gelagapan seraya mengayunkan tangannya dengan gerakan yang nyaris tak teratur.
“Begitulah, ada insiden,” Aganis merengkuh tubuh Duratno dalam dekapannya yang separuh kuyup.
“Apa yang terjadi?”
Bola mata perempuan itu seketika kuyu. Dagunya berguncang halus. Air matanya mulai meleleh di pipi. Aganis sudah tak tahan ingin menumpahkan segala sengkarut yang mengendap di kepalanya. Sementara itu Duratno mengerling sepintas lalu, berupaya menunjukkan ketenangan dengan membenarkan posisi duduknya.
“Istri Pak Parbu hendak menyambangi hotel,” jelas Aganis lambat-lambat, “aku menguping pembicaraan Pak Parbu dengan manajer hotel. Manajer hotel memberi tahu bahwa polisi baru saja mengunjungi kediaman Pak Parbu. Sialnya, istrinyalah yang menyambut. Untung saja polisi belum sempat datang ke rumah keduanya, atau kamu bisa-bisa diringkus.”
Duratno bergeming. Tapi Aganis dengan sigap melanjutkan kata-katanya.
“Yang aku dengar, Pak Parbu diduga korupsi dan sekarang semua orang mencarinya, termasuk kita.”
Duratno sontak terkejut. Dadanya bergejolak hebat. Ia gagal menutupi kegetiran di wajahnya. Alhasil, hanya terdengar bunyi gemeletuk air hujan yang mengguyur kaca depan mobil.
“Sialan,” umpat Duratno dalam hati.
“Kita harus bagaimana? Aku takut, No.”
“Kita pergi dari sini,” Duratno memaparkan rencananya lewat bahasa isyarat, “masih ada bus terakhir yang bisa kita naiki. Mobil keparat ini mesti ditinggalkan karena pasti akan jadi barang bukti. Dengan tabungan yang ada, kita minggat sejauh mungkin.”
“Ke mana?”
Duratno termangu sebentar.
“Ah, mungkin kita bisa bertanya pada rintik gerimis itu?”
Suasana lengang. Aganis dan Duratno mematung, mengharapkan sepotong jawaban pada rintik gerimis yang kian lebat.
*****
Editor: Moch Aldy MA