Suatu pagi, Linda, istriku, bercerita padaku. Saat itu kami sedang duduk di teras rumah. Burung-burung perkutut terbang mencari nafkah untuk anak-anaknya di sangkar pohon. Tak seperti hari-hari biasa, kulihat wajah Linda begitu cerah hari itu.
“Kau tahu, mengapa burung bisa terbang?”
Aku menggeleng. Tentu saja, karena burung punya sayap, batinku.
“Kau pastinya berpikir karena mereka mempunyai sayap. Tapi jawaban itu terlalu naif. Banyak hewan yang memiliki sayap tapi tidak mampu terbang, seperti ayam, angsa, dan bebek,” ucap Linda seolah tahu isi kepalaku.
Aku tetap terdiam hingga Linda melanjutkan ucapannya. “Suatu hari, di puncak Gunung Arjuna, seekor burung sedang bersedih. Burung itu biasa dipanggil Burung Hijau oleh burung-burung dan hewan-hewan lain.”
“Mengapa dia bersedih?” tanyaku menyela. “Apakah karena dia tidak bisa terbang?”
“Bukan. Ia bersedih, karena dua hari lalu ia ditinggal oleh pasangannya. Ya, Burung Biru.”
“Lalu apa hubungannya dengan terbang?”
“Cerita belum dimulai, Sayang. Dengarlah dulu. Simpan segala pertanyaanmu sebentar.”
***
Sewaktu muda, Burung Hijau adalah hewan pecundang. Burung-burung lain, terutama para Elang Jawa, sering meledeknya lantaran ia begitu payah saat terbang. Bahkan, sesekali Burung Hijau gagal mengepakkan sayapnya ketika angin sedang berembus kencang.
Dengan demikian, amarah tumbuh berangsur-angsur di dada Burung Hijau. Ia bersikeras untuk bisa terbang melampaui para Elang Jawa. Setiap hari ia berlatih dan terus berlatih. Sesering itu ia berlatih, sesering itu juga ia terjatuh, dan luka adalah sahabat baginya.
Satu bulan kemudian, Burung Hijau melihat perkembangan dari hasil latihannya. Ia sudah mulai bisa berlama-lama di langit. Ia juga sudah mulai bisa mendarat dengan selamat, tanpa ambruk ke tanah dengan mursal. Namun, ia masih belum bisa menukik hebat seperti peluru, seperti aksi para Elang Jawa.
Suatu hari Burung Hijau berada di atas tebing. Ia melihat hamparan pohon dari atas sana. Ya, waktu itu ia akan mencoba teknik menukik. Dengan berhasilnya menguasai teknik itu, pikir Burung Hijau, ia akan benar-benar menandingi Elang Jawa.
Percobaan dimulai. Burung Hijau sudah meninggalkan daratan. Ia mengepakkan sayapnya beberapa kali. Di langit, sayapnya dibentangkan begitu saja seperti layangan. Burung Hijau menembus angin yang menghalanginya serupa tembok. Sesekali ia melihat ke bawah. Ia ragu untuk memulainya. Untuk mengatasi keraguan itu, Burung Hijau memejamkan mata. Di hitungan ketiga dalam hatinya, ia mulai menerjang ke bawah.
Aku berhasil, pikirnya. Ya, Burung Hijau kini sedang menukik. Tubuhnya menerjang ke bawah dengan kecepatan tinggi. Sayangnya, ia belum terbiasa dengan kecepatan. Tubuhnya terus menerjang ke bawah. Sebisa mungkin ia mengendalikan tubuhnya agar terangkat. Namun, naas, daratan sudah di depan mata.
Burung Hijau berhasil selamat meskipun kedua sayapnya patah. Menyadari kedua sayapnya sudah tidak bisa digunakan sepenuhnya, ia sangat bersedih. Ia merasa setengah jiwanya hilang. Sejak hari itu Burung Hijau menjadi penyendiri. Setiap kali berpapasan dengan kerumunan burung-burung lain, ia selalu menghindar.
***
“Apakah itu penyebab ia bersedih?” tanyaku menyela.
“Bukan, sudah kubilang, ia bersedih karena ditinggal pasangannya! Cerita belum selesai, Sayang, dengarkan dulu.”
***
Pada titik tertentu, Burung Hijau merasa begitu tak berdaya. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke sungai Brantas. Malam itu bulan sedang purnama. Ia bisa melihat wajahnya di pantulan air. Namun, ketika hendak mulai mengakhiri hidupnya, sesosok wajah muncul dari dalam air. Burung Hijau terbelalak.
“Siapa kau?”
“Peri sungai,” ucap sesosok wajah.
“Aku tahu kau sangat bersedih. Tapi penyebab kesedihanmu begitu naif. Dan kau akan mengakhiri hidupmu. Dasar burung pecundang!”
Burung Hijau tidak bisa berkata-kata. Hatinya semakin tercabik-cabik mendengar hinaan itu.
“Kau tahu, wahai burung, bagian tubuhmu yang lain sangat cemburu akhir-akhir ini. Terutama bulu-bulumu yang hampir setiap jam berjatuhan. Bukankah, kau tak pernah bersedih untuknya?”
Burung Hijau hanya mematung membiarkan Peri Sungai terus berbicara.
“Aku bisa saja mengembalikan sayapmu, bahkan lebih hebat dari semula. Namun, ada satu syarat.”
***
“Itu merupakan cerita klise,” komentarku. “Bisa kutebak, si Burung Hijau akan mendapatkan sayapnya kembali dengan syarat itu. Namun, beberapa waktu kemudian ia melanggarnya. Aih, gampang sekali.”
“Ya, memang seperti itu ceritanya, tapi biarkan aku melanjutkan,” ucap Linda bersikukuh.
***
Syarat itu mengatakan bahwa si Burung Hijau tidak boleh mempunyai pasangan. Jika hal itu dilanggar, maka kedua sayapnya akan kembali patah dan lumpuh.
Setelah mendapatkan sayapnya kembali, dan bahkan lebih hebat dari semula, Burung Hijau kini mampu terbang begitu piawai. Tak hanya bisa menukik, ia kini bisa terbang begitu rendah di atas air. Sesekali dengan tidak sengaja, kakinya mencengkeram seekor pelus atau mujair. Namun, karena ia tidak makan ikan, maka dilepaskannya ikan-kan itu. Para Elang Jawa kini tidak lagi mengejeknya. Bahkan beberapa dari mereka kini menjadi temannya.
Dan tiba juga masalah itu. Musim kawin telah tiba. Di malam hari, ia menyaksikan teman-temannya sibuk dengan pasangannya masing-masing. Tentu saja ia tidak lupa dengan syarat Peri Sungai itu. Sekuat-kuatnya ia menahan nafsu yang bergejolak. Beberapa hari setelah musim kawin berakhir, Burung Hijau diajak oleh salah satu teman Elang Jawa-nya ke suatu tempat. Di tempat itu ternyata terdapat berbagai jenis burung yang mahir terbang. Di sanalah ia bertemu dengan pasangannya, Burung Biru.
***
“Mengapa berhenti?” tanyaku. “Sudah selesai ceritanya?”
“Belum, aku hanya sedang mengingat-ingat.”
“Apakah ia jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Tentu saja, tapi aku tak begitu ingat mengapa mereka sampai kawin.”
Setelah terdiam sejenak, akhirnya Linda meneruskan ceritanya (yang kemudian kuketahui bahwa Linda melewatkan beberapa bagian).
***
Burung Hijau sempat berada di ambang kepiluan. Ia bimbang, antara mempertahankan ketangkasan sayapnya atau mempertahankan cintanya. Sampai pada titik tertentu, akhirnya Burung Hijau memutuskan untuk kawin dengan Burung Biru. Burung Hijau masa bodoh atas kehilangan kemampuan terbangnya. Namun, Ternyata Peri Sungai itu berbohong. Sayapnya tidak lumpuh. Ia mendapat dua hal yang menguntungkan di waktu yang sama. Dan, pasangan burung itu menjalani hidupnya dengan sangat bahagia.
***
“Cerita selesai,” ucap Linda.
“Hei, katamu si burung bersedih karena ditinggal pasangannya. Mengapa ending-nya jadi bahagia?” protesku. Entah mengapa aku sedikit kesal.
“Cerita sudah direvisi,” jawab Linda sembari terkikik.
Sesaat kemudian kami masuk ke dalam rumah. Matahari mulai menyengat tubuh kami. Di kamar, Linda membuka ponselnya. Ia melihat beberapa panggilan tak terjawab oleh nomor tak dikenal. Aku menyuruhnya untuk meneleponnya kembali, barangkali penting, pikirku. Namun, Linda tidak melakukannya. Ia percaya bahwa nomor itu merupakan nomor penipu. Ya, benar juga, banyak sekali modus-modus kuno yang masih dilakukan sejumlah orang.
Malam harinya, seusai bercinta, aku teringat dengan cerita Linda tadi. Ia melewatkan banyak sekali bagian. Terutama, mengapa si burung dipanggil Burung Hijau? Apakah karena warna bulunya? Aku ingin menanyakan itu padanya, tetapi saat kulihat ke samping, Linda sudah begitu pulas. Maka biarlah, lagi pula itu hanya cerita.
Sesaat kemudian ponsel Linda berdering. Kulihat nomornya sama seperti tadi. Jika ia seorang penipu, pasti nomornya akan berbeda. Tiba-tiba aku begitu penasaran. Maka kuraih ponsel Linda.
***
Ia bersedih, karena dua hari lalu ia ditinggal oleh pasangannya. Ya, Burung Biru.
Dua hari tepat setelah Linda pergi, aku tiba-tiba teringat pada kalimat pembuka itu. Ya, salah satu hal yang paling kuingat dari Linda adalah cerita tentang Burung Hijau. Suatu pagi ia pergi dengan alasan bertemu teman semasa kuliah. Namun, sebenarnya aku tahu ia akan bertemu siapa. Setelah kubuka ponselnya malam itu, semua begitu jelas, ia akan pergi ke suatu tempat, menemui seorang tentara tampan yang dalam pengakuannya dalam WhatsApp akan menikahi Linda secepatnya.
Satu tahun kemudian Linda datang bersama tentara itu ke rumahku. Ia datang untuk membuat pernyataan cerai. Dengan dibantu oleh si tentara, ia mengurus semuanya. Aku bersikap sangat kooperatif.
Kini, lima tahun kemudian, aku sama sekali tidak mendapat kabar dari Linda. Ya, itulah mengapa, aku begitu ingat cerita tentang burung itu. Cerita yang sengaja dibuatnya untuk menyindir kemandulanku. Aku tahu, ia sangat ingin mempunyai anak lelaki kembar.
*****
Editor: Moch Aldy MA