Puisimu Masih Api
Detik ini, puisimu masih nyala
Serupa magma di kaldera
Membakar tahun yang tinggal bara,
Beserta kuman-kuman di kulitnya.
Dari puisimu, umpatan berloncatan
Umpama eflata
Menuju nama-nama bisulan
Menuju nama-nama bajingan.
“Puisi memang lahir untuk melaknat
Jam-jam keparat
Yang bakal menjadi jerawat
Di wajah riwayat.”
Ucap bukumu yang kini jadi persemayaman
Setelah anjing istana menghadiahimu nisan.
Dalam puisimu kau suguhkan
Sebuah kota mati.
Di sepanjang jalannya berserak mayat asa
Yang mati ditembaki mimbar penguasa.
Sebuah rindu awut-awutan
Kutemukan di sana
Bersama doa pincang.
Kepadaku mereka berkata
“Puisi ini masihlah api
Terus nyalakan hari
Dengan mimpi
Agar tak selamanya sekadar ilusi”
Detik ini puisimu nyala
Nyala di dada
(Sumenep, 2023)
–
Anjing Kota
Kemudian hari,
Anjing-anjing bakal berlari
Sepanjang jalan ibu kota
Memasuki gedung perkantoran
Juga bangunan lainnya.
“Mari kita mengonggong
Di dunia yang anjing,”
Lalu gonggongan memecah langit malam
Dan menikam bulan
Menembaki bebintang
Hingga mampus
Hingga redup sinarnya.
“Mari kita belajar menjilat
Agar senang para dewa
Yang bersinggasana di istana.”
Jika para dewa senang, kawanku
Putuslah tali kekang di leher kita
Juga seluruh peraturan.
Kita akan berpesta sepanjang malam
Sambil memanen umpatan
Juga makian
Dari orang-orang
Yang sebentar lagi
Akan kita santap
(Sumenep, 2023)
–
Ode untuk Alina
Alina,
duduklah di sini
dan biarkan mata
mengupas kata
yang tak sempat terucap.
buku di tas kusutmu
telah lama jadi riwayat bahwa;
buana, seperti pantat panci
ialah sarang bagi jelaga.
di sana jam-jam kusam
jadi prasasti yang menceritakan
segenap kegagalan
dalam baris kalimat yang patah tulang.
embus napas kita
akan jadi muasal nostalgia
bagi luka esok lusa
di malam berselimut mega
kita pernah sama-sama
mengutuk bar dan klub malam
juga vodka dan ganja.
sebuah ketakutan
yang lahir dari gelisah doa
membangun benteng dalam jiwa.
kita menasdikkan kata;
“war on drugs,
speed up never let up.”
di sepanjang jalan pulang
ayat akan selalu datang
dalam wujud remaja kurus
dengan puing kuil di wajah,
sebab telah terbakar
kitab suci di tubuhnya.
kita namakan mereka
sebagai mayat asa.
Alina,
kita bersaksi bahwa mimpi
akan lahir dari raga
jika kita terus merawatnya.
kita juga bersaksi
bahwa narkoba
adalah mula berkepingnya tubuh cita,
lahat bagi cerita
yang kita tanak
di didih jam.
menjauhinya …
adalah risalah di kepala
yang disiarkan berulang-ulang
oleh televisi
dan aparatur negara.
tapi Alina,
betapa hujan
datang tanpa pertanda,
banjiri lembah di dada,
saat kulihat wajahmu
melayang di sebuah losmen tua,
di antara kepul asap mariyuana
(Sumenep, 2023)
–
Isyarat Langit
Eksodus burung-burung
Di bawah langit vantablack
Adalah ayat yang membisikkan
Ratapan dalam tabir jam,
sandi yang mengisyaratkan
Badai yang bakal datang
Di antara gedung kota
Pepohonan ialah harapan
Yang tak lagi lebat,
Sebab ia telah jadi tumbal
Bagi jiwa yang selalu dahaga
Pada gemerlap pesta
Juga irama dansa
Sementara sungai tenang
yang membelah kota
Selalu menghitung masa
Untuk jadikan kota itu
Kalimat di buku sejarah.
Kini, telah diterimanya isyarat langit
Dan ia menantikan jam
Meledakkan dirinya
Jadi frasa luka
(Sumenep, 2023)
–
Malam Pertama
Malam merah marjan
Rembulan rebah di ranjang
Bunga mawar yang ditaburkan
Jadi pecut
Ledakkan chrysanthemum di perut
Lalu sebuah nyanyian
Merobek suara jangkrik
Di luar jendela
Dan jam dimatikan
Untuk mengabadikan
Kupu-kupu yang bakal beterbangan
(Sumenep, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA