@Safisahri Silakan temukan tulisan saya di akun Instagram tersebut Member of Harmony Biarkan tulangku menulis dengan darah sebagai tintanya.

Akrobat Pekerja di Panggung Sandiwara

koko fii

3 min read

Membicarakan dunia kerja memang menyenangkan. Selalu ada bahan cerita baru berkaitan dengannya. Selain bahasan seputar persyaratan rekrutmen pekerja yang tak masuk akal, sandiwara yang dilakoni banyak pekerja di kantor jugalah bahan perbincangan yang tiada habis dan mengena dengan pengalaman orang-orang.

Faktanya, dunia kerja tidak sesederhana soal skill yang dimiliki seseorang, pekerjaan beres sesuai deadline dan KPI (key performance indicator) yang ditentukan, atau performa kerja yang hendaknya terus meningkat. Lebih dari itu, dunia kerja adalah panggung drama yang sesungguhnya. Miniatur kehidupan sosial dengan berbagai pola karakter manusia. Adu ego, pamor, kekuasaan, pengaruh, hingga jilat sana-sini demi mengamankan posisi dan mendapatkan kenyamanan adalah hal biasa. Sampai-sampai, tercipta adagium “jadi penjilat, pasti selamat”.

Diakui atau tidak, subjektivitas dunia kerja di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Tidak peduli apakah ruang lingkup pekerjaan itu ada di daerah ataupun metropolitan Jakarta. Fenomena orangku bukan orangmu, orangmu belum tentu jadi orangku adalah gejala umum yang terlalu naif untuk ditolak. Di sisi lain, gejala circle pertemanan juga marak di lingkungan sosial dunia kerja. Kadang, terbentuknya circle dilakukan secara diam-diam melalui gerakan bawah tanah, tidak jarang pula circle terekspos secara terang-terangan. Adu hantam antar circle juga menjadi hal yang tidak terelakkan.

Pada dasarnya, strategi menjilat adalah mengaminkan seluruh keputusan atasan, terlepas itu masuk akal atau tidak. Kemudian, penjilat juga kerap menunjukkan dukungan penuh dan menyatakan diri berada di sisi atasan meski tetap membicarakan atasan di belakang. Namun, yang terpenting adalah bersikap manis di depan, serta tidak membuka ruang protes atau meragukan setiap keputusan yang dibuat oleh atasan. Jika hal ini dilakukan, sudah dapat dipastikan orang atau kelompok yang melakukannya akan duduk manis dengan tenang serta mendapat privilege sebagai staf jinak yang tidak membahayakan.

Budaya itu memaksa banyak pekerja untuk membiasakan diri tertawa karier dan menjadi aktor yang ulung bersandiwara. Imbauan soal jangan percaya terlalu berlebih atau oversharing terhadap rekan kerja memang banyak betulnya. Dinding mendengar suara hingga pintu-pintu menebar cerita menjadi hal yang lumrah di lingkungan kerja. Sudah begitu, setiap cerita di tempat kerja sering kali dibumbui dan dinarasikan ulang dengan perspektif penceritanya. Kabar burung dan desas-desus jadi cara yang renyah untuk menjatuhkan seseorang lewat fitnah.

Wajah Bertopeng di Mana-Mana

Sebagai orang yang sudah cukup lama bergelut di dunia kerja, saya menyaksikan bagaimana dinamika orang-orang yang come and go dari tempat kerjanya. Melihat sendiri ada begitu banyak orang yang rela bertopeng dan menggadaikan identitasnya selalu menggelitik perasaan. Harus diakui bahwa memang dunia kerja kerap menuntut seseorang memiliki banyak muka.

Selain skill menjilat, keahlian yang tidak kalah penting untuk mengamankan posisi dan menghindari malapetaka dunia kerja adalah menyiapkan stok topeng yang berlimpah. Tidak cukup hanya satu atau dua, kalau bisa sedia berlapis-lapis topeng sampai tidak ada satu orang pun yang tahu bagaimana rupa aslinya. Dengan begitu, seseorang bisa survive dan tetap terlihat manis meski menyimpan banyak manuver yang siap ditembakkan sewaktu-waktu perlu.

Koleksi topeng itu akan berfungsi efektif sebagai alat pertahanan diri, membuka ruang promosi, hingga menciptakan iklim circle yang bisa ditunggangi demi memuluskan kepentingan-kepentingan sendiri. Sebab, kinerja kadang diukur dari hal-hal non substansial yang bahkan sama sekali tidak bisa diukur. Biarpun tidak semua perusahaan berpola demikian, tetapi tidak bisa disangkal pula fenomena itu masih menggejala di dunia kerja kita.

Maka dari itu, ungkapan rekan kerja adalah keluarga seringnya hanya berakhir jadi jargon bernuansa dusta. Nyatanya, yang bisa dipercaya di dunia kerja hanyalah uang yang menjadi orientasi utama seseorang bekerja. Tidak ada persahabatan sejati di dunia kerja. Yang ada hanyalah bermanuver mengamankan kepentingan diri dan posisi, serta mendapatkan benefit

Yang Lurus Terancam Mampus

Mereka yang berideologi lurus sejak awal bekerja secara profesional, tidak membangun manuver-manuver untuk meraih posisi prestisius, tidak pula menjatuhkan orang lain, tidak ingin terlibat dalam carut marut drama dunia kerja, cukup bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya saja.

Sayangnya, dalam banyak hal, dunia kerja bukan wadah yang bisa menampung idealisme pekerja. Tetap berdiri tegak di tengah pusaran kepentingan dan pergolakan hanya memiliki dua kemungkinan: terempas karena tidak cukup kuat untuk bertahan atau melebur dalam kubangan pesta kepentingan. Sebenarnya, masih tersisa satu opsi terakhir, yaitu dijadikan santapan para pemain yang sedang beradu di arena pertandingan. Orang-orang lurus inilah yang lezat untuk dijadikan kambing hitam dan bidak umpan yang bisa disalahkan sewaktu-waktu.

Di hadapan uang dan kekuasaan, manusia memang bisa menjadi versi paling primitif dirinya yang tak segan melegalkan segala cara. Setiap orang bisa menjadi pribadi manipulatif kepada siapa pun. Di hadapan dua hal tadi, manusia rela beradu taring dan menghambakan diri kepada orang lain yang mampu memberikan keduanya. Yang tak mau ikut arus harus rela tergerus atau mampus.

Asal Bapak Senang

Pekerja yang senantiasa menyenangkan hati atasannya tentu akan memiliki akses yang lebih nyaman. Tidak membantah, ikuti saja aturan mainnya, telan saja—rasional atau tidak, jangan berikan tanggapan negatif atas setiap keputusan yang dibuat bos—adalah aturan tidak tertulis yang harus dicatat baik-baik oleh setiap pekerja. Siapa pun yang menentang akan dianggap sebagai pembangkang.

Bagaimana cara untuk memadamkan pembangkang? Mudah saja, koreksi kinerja dan beri nilai tidak kredibel untuk si pembangkang, lalu tambah beban kerja, dan evaluasi kinerjanya dengan tolok ukur yang mengada-ada. Toh, pada akhirnya, seorang pekerja hanya bisa mengiakan saja. Atur saja, ‘kan Anda bosnya.

Menjadi anak manis di dunia kerja sebenarnya mudah saja: kerjakan apa yang diperintahkan, jangan membantah, berikan senyuman yang layak dan apresiasi setingggi-tingginya kepada atasan, serta menjilat dan cari muka secara repetitif. Jaminannya tentu saja kenyamanan dan kelancaran karier. Jika tidak mendapat keduanya, minimal seseorang dijauhkan dari prahara koreksi kinerja yang membuat mental down.

Hidup adalah pilihan. Sama halnya dengan peran apa yang akan kita ambil di dunia kerja. Setiap orang bebas menentukan pilihannya, terlepas konsekuensi yang akan membuntuti.

Lagipula, seorang pekerja tentu lebih dari cukup untuk mampu memikirkan secara bijak peran apa yang akan dilakoninya. Menjadi pekerja pragmatis yang melegalkan segala cara  tentu itu haknya. Menjadi pekerja yang ideologis juga bagian dari pilihan. Sifat dasar pilihan selalu sama, ada sisi negatifnya dan ada sisi positifnya. Tentu, positif dan negatif di sini bersifat relatif. Semua bisa mengukur dengan kacamatanya masing-masing. Hal yang perlu digarisbawahi adalah, pastikan kita siap dengan segala konsekuensi atas pilihan yang telah kita tentukan, apa pun itu bentuknya.

 

Editor: Emma Amelia

koko fii
koko fii @Safisahri Silakan temukan tulisan saya di akun Instagram tersebut Member of Harmony Biarkan tulangku menulis dengan darah sebagai tintanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email