Kasus kekerasan oleh anak yang terjadi secara beruntun akhir-akhir ini membuat saya khawatir. Mulai dari kasus pencolokan mata siswa SD di Gresik, pembacokan guru oleh siswa SLTA di Demak, serta pembulian antarsiswa di Cilacap.
Saya tidak habis pikir, ada apa dengan anak-anak kita? Mengapa mereka begitu berani? Mengapa mereka begitu lihai dalam melakukan kekerasan? Seolah-olah sebilah pedang adalah mainan biasa bagi mereka. Bukan hanya secara verbal atau simbolik, kekerasan fisik juga dilakukan hingga berdampak terhadap fisik dan mental pada korban. Ada apa dengan generasi kita hari ini?
Baca juga:
Produk Institusi Pendidikan yang Rusak
Saya sempat ikut berkomentar di konten pemberitaan tentang kekerasan atau bullying oleh anak. Intinya, saya menyalahkan pihak sekolah, institusi pendidikan, dan guru selaku aktor yang mendidik.
Tak berselang lama, saya dihajar dengan berbagai komentar yang tidak setuju dengan saya. Mereka sangat membela guru dan sekolah. Intinya mereka menganggap institusi pendidikan sekaligus para aktornya itu tidak mungkin bisa mengawasi para siswanya selama 24 jam hingga kiamat kelak.
“Jangan ngasal nyalahin guru, beban mereka sudah besar, jangan disangkutpautkan dengan persoalan yang memberatkan guru,” kata netizen.
Padahal, saya tidak menyuruh guru untuk menjadi pengawas ala CCTV selama 24 jam kepada siswanya. Tentu itu adalah hal yang tak mungkin dilakukan. Namun, maksud saya guru dan institusi pendidikan adalah pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan oleh anak.
Materi, metode, dan praktik pembelajaran serta pengukuran sejauh mana pengajaran tersebut membentuk karakter siswa menjadi hal yang sangat kompleks dalam dunia pendidikan.
Talcott Parsons, sosiolog beraliran struktural fungsional Amerika, mengatakan bahwa individu dibentuk oleh struktur sosial. Apa yang ada dalam diri individu adalah produk dari struktur sosial. Jika individunya baik, berarti struktur sosialnya baik. Jika individunya bobrok, itu adalah ulah struktur sosial yang bobrok.
Begitu pun dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak. Tindakan itu menunjukkan betapa bobroknya pendidikan kita sebagai elemen struktur sosial. Anak-anak yang melakukan kekerasan merupakan produk dari institiusi pendidikan kita. Ketika anak-anak ini bobrok, berarti itu ulah institusi kita yang bobrok.
Peniru yang Baik dan Penyaring yang Lemah
Saya khawatir kekerasan yang dilakukan anak-anak ini adalah hasil praktik dari apa yang mereka lihat, khususnya di lingkungan pendidikan mereka. Kita pasti pernah melihat ada guru yang menjewer, memarahi, atau memukul siswanya. Entah apa pun alasannya, entah serasional apa pun alasannya, itu adalah kekerasan. Dan itu menjadi sebuah praktik yang bisa dicontoh dan dilakukan oleh para siswa.
Anak merupakan peniru yang sangat handal. Menurut Peter L. Berger, tahapan sosialisasi paling utama dalam diri manusia terjadi pada saat sosialisasi primer, yakni ketika seorang anak baru dilahirkan hingga mereka melewati fase remaja. Pada tahap sosialisasi itu, menurut George Herbert Mead, terdapat tahapan play stage alias tahap peniruan.
Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, bahkan yang telah dinormalisasi itu, adalah wujud sosialisasi paling nyata bahwa kekerasan itu seolah-olah layak dilakukan. Dan para siswa mencontoh itu.
Mirisnya, anak-anak adalah individu yang paling lemah dalam menyaring apa yang mereka lihat. Mereka masih belum begitu bisa menyaring mana yang baik dan buruk bagi mereka. Mereka hanya melihat, oh guru saya melakukan ini. Karena dia adalah guru saya, berarti saya wajib menirunya.
Program Anti Kekerasan Hanya Sebatas Simbol
Lantas apakah ada program-program untuk mengatasi masalah kekerasan ini?
Ketika saya berkunjung ke beberapa sekolah, saya memang menemui program-program anti kekerasan. Misalnya Sekolah Ramah Anak yang merupakan program dari pemerintah dan sekolah untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan, baik dari guru ke siswa, guru ke guru, maupun siswa ke siswa.
Memang program itu bagus, niatnya sangat mulia, dan visi misinya sangat brilian. Namun sayangnya, sebagaimana kebanyakan program-program pemerintah, proyek tersebut hanya simbolik belaka, mangkrak, dan tak berkelanjutan.
Baca juga:
Program-program semacam ini hanya sebatas mencetak banner bertuliskan anti kekerasan, berkumpul bersama, mendengar pidato, tanda tangan bersama, dan ditutup oleh foto bersama. Sudah begitu saja, selebihnya sekolah berlangsung sebagaimana sebelumnya. Kekerasan masih sering ditemui, entah verbal, fisik maupun simbolik.
Mirisnya lagi, pemangku kebijakan yang berada di singgasana dan para pejuang pendidikan di atas sana masih sibuk mengurusi kurikulum yang katanya merdeka, masih sibuk dengan wacana skripsi yang dihapuskan, dengan persoalan asesmen nasional, atau mengurusi soal ujian esai atau pilihan ganda. Sementara itu, persoalan karakter masih dilirik sebelah mata.
Di Cina, pendidikan tidak begitu mengurusi persoalan ujian akhir siswa, tidak sibuk mengurusi penilaian akhir atau hal-hal birokratis lainnya. Di negara itu, mereka sibuk menyusun program untuk membangun karakter siswa. Persoalan kecerdasan nomor dua, yang penting adalah karakter bagi mereka.
Bagaimana dengan Indonesia? Jangankan mengurusi pendidikan karakter, kasus kekerasan oleh anak yang viral saja tidak membuat lembaga pendidikan turun tangan, yang mengurus kasus tersebut justru aparat kepolisian.
Sampai detik ini saya percaya bahwa siswa atau anak yang melakukan kekerasan itu bukanlah pelaku. Mereka juga korban, lebih tepatnya korban dari struktur sosial yang bobrok, korban dari institusi pendidikan yang amburadul, dan korban dari betapa tidak becusnya pendidikan kita.
Editor: Prihandini N