Semua orang tahu, Nyai Lehan seorang dukun. Wanto yang masih kecil saja tahu. Ketika pertama kali ibunya mengatakan bahwa tidak boleh dekat-dekat dengan rumah Sang Nyai, Wanto awalnya tidak pernah menghiraukan. Kenapa pula ibunya melarang-larang? Bukannya dulu lahirnya ia berkat pertolongan tangan, jampi-jampi, juga belis-belis Nyai?
Maka bocah itu membandel, mbedil. Ia suka mengisengi rumah nenek peyot itu dengan melemparkan bekicot-bekicot. Atau ulat-ulat bulu yang besarnya nyaris sama dengan pisang. Karena sering berulah, Wanto ditakuti semua muazin masjid dusun yang biasanya ngebut lari jika mendapati suara tes-tes maik cek wan tu tri hendak berkumandang. Itu artinya Si Biang Kerok hendak azan, yang isinya diganti-ganti dengan lirik-lirik lagu dangdut kesukaan para sopir truk.
Wanto hanya percaya nenek itu seorang dukun, tapi tidak begitu paham dukun yang macam apa. Kalau mendengar bagaimana ibunya mengatakan bahwa Nyai Lehan biasa membantu persalinan para perempuan binal yang hamil di luar nikah dan kelak diazab Gusti Allah, Wanto mempercayainya. Oh, berarti cuma dukun bayi, masa sih punya belis yang bisa nyantet, pikirnya macam itu.
Yang ia tidak tahu pula, ketua RT Dusun Jumbleng—Pak Rahmat—pernah “katanya” disantet Nyari Lehan. Kejadian itu belum lama, sekitar seminggu yang lalu. Rumor disantet itu pun berasal dari buah bibir para ibu-ibu kampung ketika mereka belanja sayur di warung Mbak Sukiyah. Wanto hanya pernah sekali dua kali menguping, selebihnya melempar ludah ke tanah seraya berkata puh, tidak percaya.
“Bukannya aku mau ikut campur, memangnya apa kaitannya Nyai sama suami njenengan, Bu?” tanya salah seorang ibu-ibu berbadan tambun luar biasa. Celak matanya begitu hitam, seolah Wanto melihat seorang perempuan dengan dandanan cetar berlagak seperti Semar.
Bu Rahmat mengelus dadanya yang kecil. Kerudungnya yang nyaris menutupi bokongnya itu sedikit mengganggu tangannya mengambil ayam potong. “Ndak tahu, Bu Iyem. Ndak lama sejak suami saya menegur Nyai Lehan biar ndak menerima klien untuk aborsi, eh… suami saya langsung demam tiga hari tiga malam. Kalau bukan karena Nyai, emangnya karena apa?”
Wanto yang menguping hanya bisa tertawa. Bu Rahmat sejujurnya tidak tahu sepertinya jika Pak Rahmat itu tukang bohong, atau mungkin sudah tahu, tapi tak ingin citra suaminya buruk saja. Asal kelamin dan uangnya tetap bisa turn on, sepertinya baik-baik saja.
Bukan sekali dua kali Wanto memergoki Pak Rahmat menampol bokong gendakan kampung, Lilis. Mbak Lilis—yang waktu itu masih belia saat Wanto kecil—sudah langganan ditampol bokongnya oleh Pak Rahmat. Bapak tua itu tidak tahu sepertinya jika Wanto yang tinggi badannya baru sepinggang kala itu menyimpan memori tersebut lamat-lamat.
Namun, siapa sangka, perkara Pak Rahmat disantet Nyai Lehan ini menjadi buah bibir untuk dua pekan ke depan, sampai di mana kejadian lebih menggegerkan terjadi lagi.
***
“Emak sudah kasih kau makan, kenapa masih minta duit? Kau mau ke mana lagi?”
Emaknya berseru galak sekali, matanya melotot dan kuncir di rambut sapu ijuknya terlihat nyaris putus. Wanto terdiam. Mana mungkin dia ingin mengatakan pada emaknya akan memergoki Pak Rahmat main cewek lagi? Itu jalan haram. Meskipun celup kelamin di mana-mana lebih haram karena kelamin Pak Rahmat sudah ada sertifikatnya.
“Mainlah, Mak. Ke talang. Sebentar saja, nanti pulang lagi sebelum isya.”
Setelah mengatakan itu, ia pergi dengan riang. Sudah lama ia membuntuti Pak Rahmat untuk mendapatkan foto atau video amatir lewat HP barunya, tapi Pak Rahmat benar-benar sedang berpuasa celup kelamin rupanya. Kali ini malam Minggu, istrinya pun sedang menjenguk ibu mertuanya yang sakit. Sudah pasti malam inilah kegiatan celup-celup kelamin itu kembali terlaksana.
Wanto pergi mengendap-endap, ia hendak membawa temannya dalam misi blackmail terpuji itu, tapi tidak ada seorang pun yang berani pada Pak Rahmat. Kabar bahwa Pak RT akan mengangkut ibu dari anak-anak nakal yang kerap bikin bising masjid untuk dijual ke luar negeri sebagai TKW benar-benar efektif. Entah bagaimana rumor itu berjalan, yang jelas tidak ada anak kampung yang tidak sayang emaknya.
Pak Rahmat terlihat berseri. Baju berkerah yang dipakainya basah oleh keringat. Saat itu sudah begitu malam, para laki-laki yang sedang ronda menanyakan ke mana Pak RT hendak pergi dan dijawab pendek, “hendak ke kuburan.”
Semua orang tidak menaruh curiga ataupun pertanyaan, kenapa ke kuburan malam-malam. Yang pertama, pamali menanyakan itu kepada orang paling terhormat se-RT. Yang kedua, pamali juga bertanya pada seorang juru kunci (dari buyut-buyutnya, keluarga Pak Rahmat memanglah juru kunci kuburan dusun).
Wanto tak mengira apa yang akan ia lihat selanjutnya ketika Pak Rahmat memasuki rumah Nyai Lehan. Awalnya tak terdengar suara apa pun sampai sayup-sayup terdengar dialog tidak masuk akal yang masuk ke telinga bocah SMP itu.
“Kau serius mau melakukannya lagi, Rahmat? Kau sendiri tahu risikonya bukan?”
“Apa yang harus aku pedulikan, Lehan? Istriku sedang tidak di rumah, ia pun sudah paham kegemaranku dan sepertinya tutup mulut karena tidak mungkin menceraikan orang paling kaya sedusun.”
“Bukan itu …,” suara Nyai Lehan terdengar lumayan aneh di telinga Wanto. Seperti centil? Astaga, apa nenek tua itu… waras?
“Yang kumaksud, risiko yang harus kau tanggung sendiri, oleh badanmu.”
“Oh, Sayangku, aku akan menerima segala siksaan yang belis-belis itu tanamkan padaku, setelah mereka selesai memuaskanku.”
“Rahmat…”
“Sekarang, buka bajumu. Bacalah jampi-jampimu, panggil belis-belismu untuk datang. Aku siap menerimamu yang cantik jelita, aku siap menanggungnya dengan kenikmatan tiada tara dari perjumpaan kelamin kita.”
Setelah itu, hanya ada suara desahan dan ranjang reyot yang nyaris rubuh. Rumah di tengah hutan belantara dan diapit dua kuburan kampung itu begitu panas, didukung belis-belis, genderuwo-genderuwo yang haus tontonan seks, juga aura mistis di tubuh nyaris sempurna Nyai Lehan.
Sore itu, Wanto terkencing di celana. Tangannya gemetar tiada tara, menggapai dengan susah payah burungnya yang masih mengucurkan kencing. Sekarang ia mengakui santet-santet dan belis-belis, saat melihat tubuh peyot buruk rupa Nyai Lehan berubah menjadi belia nan molek.
***
Beberapa hari kemudian, tersebar kabar Pak Rahmat sakit demam berkepanjangan lagi. Sakit itu bebarengan dengan kelamin Wanto yang sakit sepanjang dua minggu, nyaris tidak bisa kencing.
Banyak alur dn bagian yang terpotong begitu saja. Mungkin itu karena tkoh utamanya bergeser.
Terima kasih atas komen berbalut kritik dan sarannya, Mas. Saya usahakan untuk menulis lebih baik lagi. Matur nuwun.