.

Si Tengleng

Gielang Bina

9 min read

Entah, sejak kapan pemuda itu datang kemari. Yang pasti, setiap hari dia  selalu menghabiskan waktunya dengan memancing ikan di muara sungai yang berada di sebelah kampung. Masyarakat di kampung biasa memanggilnya Si Tengleng. Bukan karena wajahnya yang mirip peranakan Tionghoa, tapi karena kepalanya yang teleng (miring) ke arah sebelah kiri. Tidak seperti masyarakat lain yang tinggal di pesisir pantai, dia membangun gubuknya yang kecil di area tepi hutan, agak jauh dari pemukiman masyarakat. Perangainya yang ramah membuat masyarakat kampung tidak curiga dan dengan senang hati menerimanya.

Tidak banyak yang aku tahu dari Si Tengleng, dia jarang sekali berbicara dengan masyarakat kampung. Bahkan jika berpapasan di jalan, dia hanya mengangkat topi capingnya, menganggukkan kepala dan tersenyum. Biasanya sepulang memancing dia selalu mampir sebentar ke warung untuk membarter hasil tangkapannya dengan beberapa keperluan dapur. Dan, yang membuat kami, orang-orang yang biasa berkumpul di warung senang adalah terkadang jika hasil tangkapannya melimpah, dia akan memberikannya kepada beberapa orang yang berada di warung itu dengan cuma-cuma, termasuk kepadaku. Namun, sudah hampir seminggu aku tidak pernah melihatnya mengunjungi, atau sekadar melewati seraya menegur orang-orang yang berada di warung.

Kadang, sepulang dari mengajar di kota, aku sering bertanya kepada Rahman, si pemilik warung, “Apakah Si Tengleng sudah datang kemari, Man?” Namun, selalu jawaban yang sama kudapat, “Belum, Pak Cik. Sudah lama saya tidak melihatnya datang kemari.” Mungkin, beberapa orang di kampung tetap bisa menjalani hidup tanpa kehadirannya, ataupun kebanyakan dari mereka telah melupakannya, tetapi tidak denganku. Si Tengleng pernah membantuku membenarkan atap rumahku yang bocor, bahkan dia tidak meminta imbalan sedikit pun setelah selesai membenarkannya.

Meski begitu, selepas membenarkan atap, aku tetap memaksanya untuk ikut makan bersama dengan keluargaku. Aku masih ingat raut wajahnya tidak menampakkan perasaan yang riang, berbeda dengan penduduk kampung yang biasa diundang untuk makan bersama.

“Silakan dimakan,” ucapku seraya menyodorkan piring yang telah disendokkan berbagai macam makanan oleh istriku.

Setelah menerimanya, dia hanya mengganguk seraya menyunggingkan seulas senyum yang terlihat agak kaku

“Jangan sungkan-sungkan, anggap saja kami saudaramu,” ucapku seraya menepuk-nepuk bahunya.

Tiba-tiba saja terlintas sebuah firasat buruk di dalam kepalaku. Aku membayangkan kalau dia sedang sakit parah di gubuknya, dan orang-orang di kampung tidak menyadarinya.

Setelah meneguk habis kopi pesananku hingga hanya tersisa ampasnya, aku segera membayarnya. Dan ketika aku hendak beranjak pergi, tiba-tiba Rahman menanyaiku, “Mau ke mana, Pak Cik? Buru-buru sekali.”

“Aku ingin menengok Si Tengleng di gubuknya, Man,” jawabku seraya mengayuh sepedaku, tanpa menunggu tanggapannya.

Namun, sebelum pergi ke sana, aku lebih dulu pulang ke rumah. Di rumah, aku ceritakan permasalahan ini kepada istriku. Bagaimana pikiranku tentang Si Tengleng yang sudah hampir berminggu-minggu tidak menampakkan batang hidungnya di warung. Sehabis mendengarkan semua penjelasakanku, dia lantas menyuruhku untuk segera membesuk Si Tengleng di gubuknya, dan membekaliku dengan berbagai macam jenis buah-buahan sebagai oleh-oleh. Tanpa banyak cakap, kukayuh kembali pedal sepedaku dengan membonceng setandan pisang, dua buah kelapa, dan tiga ikat rambutan yang dibeli istriku di pasar.

Sesampainya di sana, aku mengetuk pintu gubuk itu dengan perlahan, namun tak ada yang menyahut dari dalam. Memang, ini adalah pertama kalinya aku bertamu ke gubuk Si Tengleng. Jaraknya yang agak jauh dari pemukiman membuat masyarakat kampung enggan untuk bertamu ke gubuknya. Setelah agak jenuh memanggil-manggil dari luar, dengan terpaksa aku memutuskan untuk membuka pintu gubuk itu sambil berbisik permisi. Tapi setelah membuka pintu itu, aku tidak mendapati seorang pun yang ada di dalam. Hanya terdengar bunyi decit dari pintu kayu yang bergeser.

Dengan samar-samar aku perhatikan seluruh area dalam gubuknya yang sangat sederhana, namun tertata dengan apik. Sebuah dipan dengan ukuran sedang ditaruh di sudut belakang ruangan, sedangkan sepasang meja dan kursi ditaruh di sudut depan ruangan menghadap jendela dengan sebuah lampu minyak tergantung di dinding samping meja, yang aku tebak biasa digunakan untuk meneranginya ketika menulis pada waktu malam hari.

Di atas meja itu terdapat beberapa tumpuk buku, dan kertas yang telah menguning. Sebenarnya, bukan hal yang sopan membaca tulisan pribadi milik orang lain, tapi karena dihantui rasa penasaran, aku memutuskan untuk membaca beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja itu.

20 Mei 1969

Siang hari sehabis memantjing di muara, aku bertemu dengan Pak Tjik Amir di warung. Dia meminta tolong kepadaku untuk membantu membenarkan atap rumahnja pada sore hari. Selepas membantunja aku menolak untuk menerima imbalan jang diberikan oleh keluarganja. Walaupun begitu, dia tetap menjuruhku untuk makan bersamanja di rumahnja sebagai utjapan terima kasih. Ketika berkumpul bersama keluarganja, kurasai sebuah kehangatan jang sudah lama tak kudjumpai mendjalar di dalam dadaku.

Ternyata hanya kumpulan catatan harian yang menceritakan tentang aktivitasnya di kampung ini, bahkan ada catatan ketika dia membantu membenarkan atap rumahku. Namun, salah satu catatan yang diselipkan di tumpukan buku—seakan memberikan sebuah pesan—berhasil membuat aku mengernyitkan dahi ketika membacanya. Berbeda dengan catatan lainnya, catatan ini ditulis agak panjang dan di beberapa bagian kalimatnya tak dapat dibaca karena memudar seperti bekas tertimpa oleh air.

***

2 Djuni 1969

Siang itu di penghudjung bulan Maret, aku sedang berdjaga di salah satu pos jang berada di perbatasan. Setelah berhasil menepuk seekor njamuk jang hinggap di lengan kanan, radio transistor jang tersambung dengan markas pusat pun berbunji. Terdengar suara dari seorang perwira jang menjuruh pasukan kami untuk berkumpul di markas pusat. Tidak hanja itu, perwira itu juga menjuruh kami untuk membawa seluruh persediaan senjata jang kami punja.

Aku jang agak ragu ketika mendengar perintah itu langsung meninggalkan pos dan menemui komandanku, Bong, di ruangannja. Setelah kuberitahu tentang perintah jang kudengar barusan, Bong mulai mentjium gelagat aneh dari perintah itu. Dia lantas menjuruhku untuk berbitjara melalui radio, memberitahu kepada seluruh pasukan agar tidak mengindahkannja, dia djuga menjuruh seluruh pasukan untuk meninggalkan seluruh pos jang ada di perbatasan dan berkumpul di satu titik rahasia jang ada di dalam hutan. Segera aku kembali ke pos, dan mulai melakukan apa jang diperintahkannja.

Tidak butuh waktu lama, setelah aku selesai berbitjara di radio, pasukan kami jang berada di pos segera bergegas menjiapkan apa sadja jang berguna untuk dibawa. Aku pun menenteng satu putjuk senapan, dan menggendong sebuah ransel jang berisi beberapa helai pakaian. Kami semua mulai berpentjar memasuki hutan, tapi tetap menudju satu titik rahasia jang telah direntjanakan.

Di dalam hutan, di balik lindungin pohon-pohon ulin raksasa, Bong mulai memberitahu kepada kami bahwa di Djakarta telah terdjadi kudeta dan kedudukan Presiden Soekarno mulai terantjam. Bong djuga memerintahkan kepada kami untuk meningkatkan kewaspadaan, karena sekarang musuh kami bukan hanja tentara Malaysia.

Awalnja aku tidak mengerti dengan apa jang Bong katakan, tapi setelah beberapa insiden baku tembak jang kualami, barulah aku tahu apa jang dimaksud olehnja. Belakangan telah terdjadi beberapa kali upaja penjerangan terhadap pasukan kami jang dilakukan oleh tentara Indonesia jang dulu pernah melatih kami. Namun, karena kebanjakan dari mereka jang diturunkan adalah pradjurit muda jang tidak mengenali medan pertempuran, tanpa banjak usaha, pasukan kami dapat memukul mereka dengan telak.

Sampai beberapa bulan, akhirnja tak ada lagi kontak sendjata. Pasukan kami hanja disibukkan dengan kegiatan mengumpulkan persediaan bahan makanan. Akan tetapi, Bong menjuruh kami untuk tetap waspada. Dia mendapatkan kabar tentang ketegangan jang terdjadi di beberapa kampung antara orang-orang Tionghoa dengan suku asli Dayak. Ketegangan itu dipitju oleh … (sebagian kalimat tak dapat dibaca karena kertas mengalami pemudaran) … tak lama ketegangan itu akhirnja petjah. Kabar itu berasal dari Liem, kawanku jang biasa bertugas menjelinap ke dalam perkampungan mentjari persediaan makanan.

Kedjadian itu terdjadi ketika dia hendak memasuki salah satu kampung. Dari djauh dia melihat banjak masjarakat Tionghoa jang ditangkapi. Rumah-rumah mereka habis dibakari, asap membumbung membelah langit hutan, suara tangis dan teriakan saling berpaduan, sehingga Liem mengurungkan niatnja untuk memasuki kampung. Bukan hanja itu, ketika dia hendak melewati sungai, dia melihat beberapa majat bergelimpangan terseret aliran sungai. Menurut kesaksiannja, bau anjir tak habis-habisnja menghantui indra pentjiumannja.

Mendengar tjerita dari Liem, seketika aku teringat dengan Ajah dan Ibu, karena kampung jang Liem maksud djaraknja tidak djauh dengan kampung tempat tinggalku. Dengan sedikit memelas, aku meminta Liem untuk mengantarkanku menengok kampung tempat tinggalku. Tapi, menurut Liem itu adalah hal jang bodoh … (sebagian kalimat tak dapat dibaca karena kertas mengalami pemudaran) … lagi pula, hampir tiap kampung jang biasa dia masuki telah habis dibabat, tiada jang tersisa selain aroma bara api dari rumah jang terbakar.

Tubuhku terkulai lemas. Senapan jang sehari-hari kubawa, kulemparkan ke tanah. Hampir seharian aku bersandar di salah satu pohon ulin sambil membajangkan apa jang telah menimpa kedua orang tuaku. Dalam kebimbangan, aku pun bertanja-tanja, apa mereka termasuk dalam orang-orang jang ditangkap, atau termasuk dalam kumpulan djasad jang terombang-ambing oleh aliran air sungai.

Keesokan harinja, aku terpaksa menjelinap sendiri ke dalam kampung tempat tinggalku. Persis seperti jang dikatakan Liem, tiada jang tersisa, bahkan aroma bara api pun telah tiada. Di sana-sini hanja teronggok tiang-tiang rumah jang tak berdaja, hitam legam sudah tak berbentuk apa-apa. Dan ketika aku hendak pergi meninggalkan kampung, tiba-tiba sebuah timah panas menghadjar kaki kananku, membuat aku terdjatuh terpintjang-pintjang. Lalu, beberapa pasukan mulai mengerubungiku dan menodongkan sendjatanja ke arahku, menjuruhku untuk mendjatuhkan sendjata dan mengangkat tangan.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Kepalaku terasa berputar. Beberapa kali aku dibuat tertegun dengan isi catatan itu. Kami, para masyarakat di kampung memang pernah mendengar tentang pasukan gerilya yang dibentuk untuk mengagalkan pembentukan negara Malaysia, tetapi informasi itu tidak cukup jelas.

Menurut cerita yang kudengar ketika mengajar di kota, pasukan itu tidak akan pernah sampai ke kampung kami yang berada di pesisir. Mereka hanya beroperasi di pedalaman hutan Sarawak, keluar-masuk kampung untuk mencari perbekalan makanan, dan menyerang pos-pos penjagaan tentara Malaysia yang ada di perbatasan.

Dengan perlahan, kukuatkan tekad untuk membaca kalimat selanjutnya.

Malamnja, aku bersama beberapa pemuda jang dituduh sebagai pemberontak dibawa menggunakan truk ke tepi sungai. Suasana teramat sunji, makhluk hutan pun enggan untuk berbunji. Hanja aliran sungai jang tetap berdesir memetjah kebisuan. Di sana, satu per satu dari kami mulai dieksekusi … (sebagian kalimat tak dapat dibaca karena kertas mengalami pemudaran) … djasad mulai bergelimpangan terseret arus sungai, mengubah air sungai itu mendjadi merah bata, dan berbau anjir.

 Ketika tiba giliranku, bunji desiran air sungai seakan membandjiri dadaku. Tubuhku terasa bergetar hebat. Hawa dingin di tepi sungai tak sedikit pun membantu menahan keringat jang mulai mengalir lamban di leherku. Aku hanja bisa bertekuk lutut, karena kurasai rohku sudah tertjerabut sebelum algodjo itu mengajunkan parangnja ke leherku. Dan dengan sekali sabetan, darah segar mengutjur  membasahi sekudjur tubuhku.

Untuk beberapa saat, aku tidak dapat memastikan penglihatanku, walau kain hitam itu telah ditanggalkan dari wadjahku. Tubuhku terasa teramat ringan. Kurasai sebuah dorongan jang kasar menggeser tubuhku. Aku terdjatuh, dan air sungai jang dingin mulai menjelimuti seluruh tubuhku. Sambil mengerdjapkan mata, kulihat sebuah tjahaja teramat berkilau di dasar sungai. Dengan susah pajah, tubuhku terasa dituntun menuju tjahaja itu.

Semakin dalam aku tenggelam, semakin kuteringat dengan tjerita ibuku tentang kehidupan baru, di mana manusia akan terlahir kembali sesuai dengan amal perbuatan mereka. Sedjatinya aku tidak terlalu memertjajai tjerita itu. Tetapi, ketika seluruh tubuhku djatuh ke dasar sungai, kukira telah sampailah aku ke sana.

Dan njatanja nasib berkata lain, sebuah djimat jang tak sengadja terselip di saku tjelanaku berhasil menjelamatkanku. Djimat itu adalah pemberian ajahku, dia memberikannja ketika aku hendak pergi mengikuti latihan militer sebagai seorang sukarelawan. Meski akibat dari goresan parang di leherku itu meninggalkan bekas tjatjat di bagian kepalaku jang mendjadi miring ke arah sebelah kiri. Tetapi, djimat itu berhasil mengantarku ke kehidupan baruku dengan tjara jang lain. Entah bagaimana tjaranja, aku mendapati tubuhku terdampar di tepi muara jang berada di pesisir Sarawak.

Kali ini bukan hanya kepalaku yang terasa berputar. Beberapa saat aku hampir kesulitan untuk mengatur napas. Kalau saja aku tidak keburu lari ke luar gubuk untuk menghirup udara segar, mungkin aku sudah tergeletak tak sadarkan diri di dalam.

***

Keesokan harinya, seperti yang sudah-sudah, aku menyempatkan untuk mampir ke warung sebentar, sekadar untuk menyantap segelas kopi hangat yang dapat mengusir penat selepas mengajar. Ketika sepedaku masih menyusuri jalan kampung, dari jauh sudah terdengar riuh rendah suara para penghuni warung yang seakan-akan telah menunggu kedatanganku. Karena penasaran, kukayuh sepedaku lebih kencang agar lekas sampai. Setibanya di warung, ternyata orang-orang tengah digegerkan dengan sebuah poster hitam putih yang tertempel di dinding warung. Poster hitam putih itu menggambarkan seorang pemuda bermata sipit dan berambut cepak, dengan tulisan keterangan yang tebal di bawahnya “Ditjari! Tan Lang Gie, anggota geriljawan Gerombolan Tjina Komunis.”

Aku yang baru datang merasa tidak asing dengan potret orang yang terpampang di poster itu. Setelah lama berpikir, benar saja tebakanku, orang yang ada di poster itu adalah Si Tengleng, hanya saja di poster itu dia tidak berkumis dan rambutnya belum tumbuh sampai sebahu. Aku sempat tertegun barang sejenak. Namun aku lantas memasang tampang normal agar orang-orang tidak mencurigai perubahan raut wajahku.

Di antara nada-nada sumbang yang tengah bertebaran, Ahmad—yang dikenal dengan reputasinya sebagai tukang cerita—mencoba mengambil alih suara orang-orang yang ada di warung. Dia mulai membeberkan kesaksiannya tadi pagi ketika melewati rumah Kepala Kampung.

Pagi itu, seperti biasa, Kepala Kampung tengah mengaso di teras rumahnya. Ketika dia tengah menyeruput kopi hangat buatan istrinya, dari jauh tampak dua orang pemuda berseragam hijau melangkah ke arah rumahnya. Dia sudah bisa menebak dari seragam yang dikenakan oleh kedua pemuda itu, kalau mereka adalah tentara Malaysia yang biasa berjaga di wilayah perbatasan. Saat itu, tahulah dia ada yang tidak beres di kampungnya.

 Ketika dilihatnya kedua orang tentara itu menghampiri rumahnya, dia lantas menaruh kopinya untuk menyambut kedatangan mereka. Dipersilakannya mereka untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya. Setelah duduk, kedua tentara itu mulai menerangkan kepada Kepala Kampung bahwa mereka berdua sedang ditugaskan oleh Komandan mereka untuk membantu tentara Indonesia mencari seorang pemuda bernama Tan Lang Gie. Tan Lang Gie adalah salah satu anggota gerilyawan Gerombolan Tjina Komunis (GTK) yang berhasil melarikan diri ke perbatasan dan menyeberang ke Sarawak.

Setelah menjelaskan tujuannya, salah seorang tentara mulai membuka isi tasnya dan mengeluarkan potret seseorang yang tengah dicarinya. Awalnya Kepala Kampung merasa tidak mengenali potret yang disodorkan kepadanya, tapi setelah diberi keterangan lanjutan, dia mulai ingat bahwa beberapa bulan lalu ada seorang pemuda peranakan Tionghoa yang datang dan menetap di kampungnya. Dia sendiri tidak mengetahui nama pemuda itu, dia hanya tahu bahwa masyarakat biasa memanggilnya dengan sebutan Si Tengleng. Dia tidak menaruh rasa curiga kepada pemuda itu karena pemuda itu tidak menggangu kehidupan masyarakat kampung, malah yang terjadi sebaliknya, pemuda itu disenangi masyarakat di kampungnya karena suka membantu pekerjaan masyarakat.

Dengan perasaan ragu-ragu, Kepala Kampung mulai memberikan keterangan tentang Si Tengleng kepada kedua tentara itu. Setelah dirasai keterangan yang diberikan telah cukup, kedua tentara itu segera bergegas pergi ke gubuk Si Tengleng yang berada di tepi hutan. Sebelum pergi, mereka menitipkan beberapa lembar poster kepada Kepala Kampung untuk ditempelkan di sudut-sudut kampung agar masyarakat yang melihat dapat melaporkannya.

Sesampainya kedua orang tentara itu di sana, sama seperti kedatanganku kemarin sore, mereka tidak menemukan seorang pun yang berada di dalam gubuk itu. Tidak ingin pulang dengan tangan hampa, mereka berinisiatif untuk menggeledah seisi gubuk itu. Dan akhirnya mereka menemukan beberapa lembar kertas serta buku catatan yang membuktikan Si Tengleng adalah Tan Lang Gie, anggota gerilyawan GTK yang selama ini dicari-cari oleh tentara Indonesia.

Setelah mendengarkan cerita itu, reaksi orang-orang yang berada di warung bermacam-macam. Ada yang mengatakan bahwa Si Tengleng memang pantas ditangkap karena kedatangannya kemari suatu saat dapat menimbulkan permasalahan, ada yang tidak menyangka bahwa orang baik seperti Si Tengleng adalah anggota dari sebuah gerombolan pemberontak.

Aku tidak ikut berkomentar, namun Rahman malah melontarkan pertanyaan kepadaku, “Kalau menurut, Pak Cik Amir, bagaimana? Bukankah seminggu belakangan ini, Pak Cik, sedang mencarinya?”

Aku tertegun. Tak bisa membuka mulut. Dan kurasai tatapan orang-orang di warung seakan hendak menghakimiku.

Bintaro, 28 Juli 2021

Gielang Bina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email