Netizen, Trolling, dan Anonimitas

Syahira Bahaswan

2 min read

“Sumpah dia ganteng banget, kalo di skip.”

Kalau sering main TikTok, kita pasti nggak asing sama komentar nyeleneh seperti ini, apalagi di konten-konten tentang Vadel Badjideh, mantan pacarnya Loli. Awalnya, komentar ini kelihatannya biasa aja: “sumpah dia ganteng banget.” Kalau berhenti di situ, ya nggak ada yang lucu, kan? Tapi ternyata, ada tambahan di akhir: “kalo di skip.”

Nah, tambahan itu yang bikin ngakak karena nggak nyangka bakal ada punchline kayak gitu. Ternyata, ada penjelasan psikologisnya juga, loh! Dalam teori humor, ada yang namanya Teori Ketidakcocokan (Incongruity Theory). Humor muncul saat ada sesuatu yang nggak sesuai dengan harapan kita. Seperti komentar ini, yang awalnya terdengar seperti pujian, tapi berubah jadi lelucon gara-gara tambahan “kalo di skip.”

Sindiran di Kolom Komentar

Tapi sebenarnya, kenapa sih orang nulis komentar kayak gini? Tujuannya tidak lain adalah buat ngejek Vadel yang sekarang jadi sosok kontroversial di TikTok. Banyak netizen yang bikin komentar lucu tapi sekaligus nyindir, kayak contoh komentar dari @dennysyafar: “mandi mau mandi bang.”

Kalau dilihat sekilas, ini kayak nyuruh mandi aja, kan? Tapi kalau dipikir lagi, maksudnya lebih dari itu. Komentar itu sebenarnya sindiran, ngejek Vadel yang mungkin kelihatan kusam atau nggak fresh, seperti orang yang jarang mandi.

Contoh komentar lainnya ada dari @userrrrr_205 yang bilang: “ya ampun Vadel damagenya, ga ada.” Sampai kata “damagenya,” komentarnya terdengar biasa aja. Tapi ternyata, lanjutannya “ga ada” bikin kita ketawa. Dengan gaya ini, si penulis komentar sengaja pakai humor buat nyindir Vadel, seolah-olah bilang dia nggak punya pengaruh apa-apa atau nggak keren.

Hate Comment dengan Humor

Netizen sekarang emang kreatif banget! Mereka bisa mengubah masalah serius jadi bahan bercandaan yang ringan, bahkan terkesan lucu. Nggak cuma pembuat konten, para komentator juga sering menunjukkan sisi humoris mereka dengan berbagai gaya yang unik dan menghibur. Ini terkait dengan istilah humorous trolling, di mana komentar lucu digunakan bukan hanya untuk membuat orang tertawa, tapi juga menyindir, mengkritik, atau bahkan menghina.

Baca juga: 

Dalam buku De Gruyter Contemporary Social Sciences Handbooks Volume 2 , pada halaman 347 disebutkan bahwa sejak munculnya media sosial, trolling telah menjadi salah satu praktik yang paling bermasalah dan abusif secara daring. Sebagai bentuk manipulasi sosial, unggahan-unggahan reguler yang dapat menghina atau mempermalukan individu maupun kelompok, pengguna sering kali menggunakan humor sebagai alat untuk mengejek atau menyindir, yang dikenal sebagai humorous trolling (Fichman & Sanfilippo, 2016).

Jadi, komentar lucu yang kita lihat di TikTok atau medsos lainnya sering kali bukan cuma buat hiburan, tapi juga berfungsi sebagai cara menyindir atau bahkan menghina orang lain.

Toxic Disinhibition

Kenapa sih orang-orang di media sosial bisa sebebas itu nulis komentar pedas? Jawabannya: anonimitas. Di dunia maya, orang sering merasa bebas ngomong apa saja karena identitas mereka tidak terlihat. Anonimitas bikin mereka lebih percaya diri buat komentar, baik itu yang positif atau negatif.

Baca juga:

Tapi, ada sisi gelapnya juga. Ketika orang merasa tidak dikenali, mereka cenderung jadi lebih berani, bahkan kasar. Fenomena ini disebut toxic disinhibition, di mana anonimitas membuat batasan sosial seperti sopan santun jadi kabur. Akibatnya, kolom komentar di media sosial sering penuh dengan reaksi yang beragam—dari yang mendukung sampai yang mengejek.

Anonimitas dan Trolling

Anonimitas jadi alasan utama kenapa trolling marak di media sosial. Saat menggunakan akun anonim atau nama samaran, orang merasa lebih aman untuk menyampaikan kritik, humor sarkastik, atau penghinaan tanpa takut dengan konsekuensi sosial. Mereka merasa tidak terlihat, sehingga norma sosial yang biasanya membatasi perilaku cenderung hilang.

Hal ini menciptakan kondisi di mana trolling bisa berkembang pesat. Dalam konteks humorous trolling, anonimitas juga membuka ruang bagi kreativitas. Orang-orang bebas bikin komentar lucu yang menyindir tanpa khawatir reputasi mereka terganggu. Tapi, ini juga jadi masalah. Anonimitas membuat korban sulit melawan balik. Akibatnya, komentar-komentar toksik semakin subur berkembang.

Anonimitas memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, hal ini mendorong kreativitas dan kebebasan berekspresi. Tapi di sisi lain, ini juga memicu konten beracun dan perilaku trolling yang merugikan banyak pihak.

Lalu Harus Bagaimana?

Sebagai pengguna media sosial, kita akan selalu dihadapkan pada realitas digital yang tidak bisa dihindari. Kini tinggal kebijaksanaan dan decision making kita sebagai bagian netizen yang seperti apa.

Sekarang, coba tanya diri sendiri, kalian termasuk tim yang suka pakai humorous trolling buat komen di media sosial nggak? Atau kalian lebih suka jadi penonton aja, sambil ketawa-ketawa baca komentar orang? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Syahira Bahaswan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email