Hari ini selasa, waktunya aku mencari uang sebanyak mungkin. Seharusnya pembeli berdatangan ke warung ini. Pengunjung di pasar tradisional ini tidaklah sedikit. Mereka senantiasa singgah menikmati pecal ulekanku. Namun itu dulu, sebelum Nek Lena beraksi.
Mereka menyebutnya Nek Lena, mertuaku yang sesungguhnya baik hati. Terikat sebagai menantu dan mertua, hubungan kami cukup baik. Ia tidak pernah membuat masalah denganku. Ia juga sangat ramah. Saking gemarnya menyapa, pembeli menjadi ilfeel. Satu-persatu mulai malas singgah ke warung ini. Ini semua karena ulah Nek Lena.
“Lihatlah, Mas. Ibu mulai lagi,” bisikku pada suami yang tengah menyuapi anak semata wayang kami.
Di dapur, kami melihat jelas Nek Lena mendekat ke salah seorang kakek. Bukan karena Nek Lena mendekat yang membuat kakek itu risih. Tapi saat dompet kakek itu keluar dari saku celana, kemudian ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Saat lembaran uang berpindah tangan, Nek Lena tersenyum lebar, terbalik dengan wajah kakek yang berubah enggan. Suamiku hanya tertegun. Ia tidak berkata sepatah pun. Melalui wajahnya dapat kubaca bahwa ia sedikit malu dengan perilaku ibunya saat itu.
Bukan sekali dua kali Nek Lena mengemis pada orang-orang. Setiap sosok yang ia kenal singgah di warung kami akan menjadi korban Nek Lena. Suatu ketika, seorang ibu membeli pecal. Ia sudah lama tidak bertemu dengan Nek Lena. Selama satu bulan Nek Lena tinggal di rumah anaknya yang di luar kota. Tanpa diminta, ibu tersebut memberikan uang dua puluh ribu pada Nek Lena. Betapa senangnya Nek Lena, ia langsung memeluk dan mendoakan ibu tersebut. Pada hari selasa berikutnya, ibu tersebut singgah lagi membeli pecal. Ia menyapa Nek Lena yang sedang duduk sendiri.
“Ini bulan muda,” ucap Nek Lena setelah menengadah tangan pada ibu tersebut. Secara terpaksa, ibu tersebut memberikan uang pada Nek Lena. Aku melirik wajahnya sekilas, ia tidak siap untuk ditodong karena sudah memberikan uang hari selasa pekan sebelumnya. Seolah ia berkata, “Aku ‘kan sudah memberi Nek Lena uang minggu lalu, kenapa ini diminta lagi?”
Saat itu, aku diam dan pura-pura tidak tahu. Sesungguhnya aku tidak tahu hendak menyembunyikan wajah ke mana. Aku sangat malu setiap Nek Lena meminta uang pada orang-orang. Nek Lena terkadang seperti preman yang meminta pajak, terkadang pula seperti pengemis. Akulah yang selalu menanggung malu tersebut. Sedangkan suamiku selalu tidak terlihat tatkala Nek Lena beraksi.
“Kita yang menjadi bahan pembicaraan orang-orang, Mas!” Aku setengah berteriak saat di kamar. Aku sudah lelah dengan ulah Nek Lena.
“Tidak usah hiraukan,” ucap suamiku. Melihatnya cuek, amarahku mendidih.
“Ya, bukan kita memang. Tapi akulah yang dicap sebagai menantu pelit. Tidak memberikan kebahagiaan materi pada keluarga. Sehingga mertua pun meminta belas kasih pada orang lain.” Suamiku tidak tahu apa-apa. Aku yang dianggap kejam. Hanya aku yang mengatur keuangan keluarga. Aku dianggap tidak memberikan uang pada Nek Lena sehingga harus meminta pada orang lain.
Brakkk!
Sebuah meja menjadi sasaran amarah suamiku. Anakku seketika menangis. Aku langsung menenangkannya. Sekilas kulihat darah mengalir pada buku-buku tangan suamiku. Setelahnya ia pergi dengan membanting pintu.
Aku tahu ia kesal dengan pembahasan yang selalu berulang. Namun, aku tahu bahwa ia juga malu terhadap kelakuan Nek Lena. Di satu sisi ia tidak dapat mengungkapkan kekesalan secara langsung. Sedangkan aku selalu menjejalinya terus-menerus dengan keluhan yang sama. Ia sangat menyayangi Nek Lena. Ia benar-benar takut hati sang ibu sakit jika menyampaikan keresahan kami.
Kami sudah sering mencari jalan keluar dari masalah ini. Mulai dari memberikan Nek Lena uang jajan, hingga menanggung semua kebutuhannya. Kami juga selalu bertanya apa yang ingin Nek Lena beli. Para saudara ipar di perantauan juga kerap mengirim uang bulanan untuk kebutuhan Nek Lena. Jadi sebenarnya Nek Lena memiliki materi lebih dari cukup untuk diri sendiri.
Nek Lena hanya senang mencari perhatian pada orang-orang. Ia mengakrabkan diri pada orang lain dengan cara yang salah. Bukan malah bertambah senang, satu-persatu pelanggan malah pergi. Akibatnya warung kami kini sepi pelanggan. Tak ada lagi bapak-bapak yang mengobrol sambil menikmati secangkir kopi di warung kami. Tak ada lagi pelanggan yang antre menunggu beberapa porsi pecal atau lontong. Orang-orang lebih memilih singgah di tempat lain. Mereka mencari tempat yang tenang dan damai untuk menyesap minumannya.
Jika sudah seperti ini, akulah yang pusing mengatur keuangan rumah tangga. Suami hanya menunggu panen dari lahan kebun yang tak seberapa untuk mencukupi kebutuhan. Penghasilan yang sedikit harus kubagi sedemikian rupa pada semua kebutuhan rumah tangga. Belum lagi setiap bulan harga kebutuhan pokok meningkat.
Aku tak mau mengeluh pada suami. Bukan karena jera pada amarahnya tempo hari. Namun aku malas berdebat, toh tidak ada gunanya. Jika ada uang aku akan mengolah masakan lezat, jika tidak ada uang ya aku masak seadanya. Suamiku juga tidak berani bertanya saat melihat hanya beberapa potong tempe goreng yang tersaji di meja makan. Aku melihat ia menjadi lebih giat mencari pekerjaan pada tetangga. Setiap hari ada saja uang yang ia serahkan walaupun sedikit, hasil menjadi buruh pada kebun tetangga.
Nek Lena, tak ada yang berubah darinya. Ia seolah tak merasa bersalah akan keadaan ekonomi kami yang berubah drastis. Ia juga tidak merasa kehilangan saat tak ada satu pembeli lagi yang datang ke warung kami.
***
Nek Lena pergi, katanya ingin berkelana ke rumah anak-anaknya. Aku tidak tahu apakah karena keadaan kami mulai tidak nyaman atau sebab Nek Lena sudah sadar akan kesalahannya. Orang-orang mulai berdatangan. Awalnya mereka ragu menghampiri warung kami. Setelah memastikan Nek Lena tidak ada di rumah, barulah mereka duduk dan memesan secangkir kopi. Selasa berikutnya pembeli mulai ramai. Beberapa kali mereka bertanya terhadap Nek Lena. Setelah mendengar jawabanku, ada kelegaan di wajah mereka.
Begitulah hidup. Uang tidak dapat ditukar dengan seseorang. Keadaan ekonomi kami sudah membaik, namun Nek Lena tak jua kembali hingga sekarang.
*****
Editor: Moch Aldy MA