Ironi terbesar dalam politik adalah sering kali rezim tirani paling otokratik lahir dari suatu proses demokrasi. Demokrasi yang menjanjikan inklusivitas, limitasi kekuasaan, dan kebebasan, dalam beberapa episode sejarah justru menjadi awal dari lahirnya rezim yang sentralistik dan despotik yang menjadi antitesa dirinya sendiri.
Ratusan definisi telah dilekatkan pada arti demokrasi. Namun, apa yang dikatakan Plato kiranya yang paling sederhana namun representatif. Plato menyebutkan bahwasanya demokrasi penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan. Gagasan idealnya memang demikian. Demokrasi membatalkan monopoli kekuasaan oleh segelintir orang dan memungkinkan semua manusia untuk terlibat aktif, bebas, dan merdeka sebagai subjek politik dengan prinsip egalitarianisme universal.
Namun, politik praktis sering kali tak seindah teori ideal tentang demokrasi. Demokrasi bisa menjadi gerbang awal otoritarianisme. Sejarah menyimpan rekam jejaknya.
Baca juga:
Kita mulai di pertengahan abad 19, di Prancis. Revolusi liberal 1848 di beberapa negara Eropa seakan menjadi secercah sinar harapan bagi lahirnya sebuah era baru. Revolusi yang menggugat tatanan konservatif Eropa yang didominasi monarki, terutama setelah terbentuknya Sistem Metternich sejak 1815, membuat Eropa dipenuhi antusiasme akan demokrasi dan liberalisme. Prancis menjadi salah satu negara yang mengalami revolusi 1848. Dalam pidatonya pada 27 Januari 1848, Alexis de Tocqueville telah memprediksi bahwa revolusi akan segera terjadi. Tak lama berselang, meletuslah Revolusi Februari 1848.
Revolusi Februari 1848 menjadi tanda pupusnya rezim monarki Louis Philippe I dan terbentuknya Republik Prancis Kedua. Pemerintahan berbentuk republik yang baru ini memilih presidennya secara demokratis pada Desember 1848. Pemilihan Presiden dimenangkan oleh Louis Napoleon, yang merupakan keponakan Kaisar Napoleon Bonaparte.
Louis Napoleon, presiden yang terpilih melalui pemilihan umum itu ternyata tak tahan atas godaan kekuasaan yang memabukkan. Ia terlena dalam buaian empuk kursi kekuasaan yang didudukinya. Langkah awalnya adalah berusaha memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden melalui amandemen yang berakhir dengan kegagalan. Kegagalan ini membuat Louis Napoleon melakukan kudeta pada 2 Desember 1851 dan pada 1852 Louis Napoleon menjadi Raja Napoleon III. Demokrasi yang masih bayi itu mati di tangan orang yang dipilih melalui proses demokrasi.
Di abad 20, Hitler menjadi monumen historis bagi proses sekarat hingga matinya demokrasi Jerman. Pada pemilu Maret 1933, Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman (NSDAP) atau Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler meraih 288 jumlah kursi dari 647 kursi Reichstag. Pada 2 Agustus 1934, Presiden Jerman yang sudah tua, Paul von Hindenburg meninggal dunia. Meninggalnya Hindenburg, orang yang mengangkat Hitler menjadi kanselir pada 30 Januari 1933, membuat kekuasaan tersentralisasi di tangan Hitler.
Setelah kematian Hindenburg, Hitler memperkenalkan suatu undang-undang yang akan menyatukan jabatan kanselir dan presiden. Jelas rencana seorang despot yang ingin memonopoli kekuasaan di tangannya sendiri. Namun, ironisnya, hampir 90 persen rakyat Jerman mendukung undang-undang yang diajukan Hitler dan muncullah Hitler sebagai despot mengerikan yang memberangus habis demokrasi Jerman. Ya, demokrasi telah memberi jalan bagi penguasa paling kejam dalam sejarah dunia itu.
Abad 21, lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun pada 1998 menandai awal demokratisasi di Indonesia, lazim disebut era Reformasi. Angin segar kebebasan politik dan partisipasi aktif rakyat sempat dirasakan meski terseok-seok di awal. Inklusivitas politik mulai terasa, terlihat dari banyaknya partai dan bebasnya kompetisi. Hebatnya, demokrasi Indonesia telah memberi jalan bagi seorang tukang kayu dari Solo untuk naik ke tampuk kekuasaan. Ya, Joko Widodo orangnya. Jabatan wali kota dan gubernur pernah dijabatnya dan, puncaknya, ia terpilih menjadi Presiden RI pada 2014 dan 2019.
Pada awalnya, Jokowi adalah harapan. Seseorang yang lahir dari keluarga biasa-biasa saja, bukan keturunan aristokrat atau pejabat, mampu menduduki kekuasaan tertinggi sebagai Presiden RI. Ini membuktikan inklusivitas politik dan demokrasi Indonesia. Majalah ternama dunia, TIME, pada 2014 memajang foto Jokowi di sampulnya dengan judul A New Hope.
Ternyata, orang yang dikenal sebagai figur sederhana, bahkan cenderung polos—tak tahu dan tak ngerti apa-apa—ternyata menyimpan segunung ambisi kekuasaan. Kekuasaan telah menjadi candu bagi Jokowi. Ia tak kenyang menjabat selama sepuluh tahun dan ingin memperpanjang masa jabatannya. Namun, ambisi memperpanjang jabatan ini pupus sudah. Karena tak bisa memperpanjang masa jabatannya sebagaimana Louis Napoleon tahun 1851, Jokowi tidak mengukuhkan diri sebagai kaisar, melainkan mendorong putra mahkotanya untuk menjadi wakil presiden.
Berbagai manipulasi dan otak-atik aturan dihalalkan untuk membuat putranya, Gibran, terpilih. Ia memperkuat cengkraman dinastinya dalam politik Indonesia melalui dua anak kandungnya dan satu menantunya. Bukan hanya itu, ia juga melakukan intervensi di beberapa partai politik untuk kepentingan kekuasaannya. Baru-baru ini, Partai Golkar menjadi korban. Airlangga Hartarto mundur dari kursi ketua umum dan Bahlil Lahadalia—seorang hamba Jokowi—ditetapkan menjadi ketua umum dalam Munas 21 Agustus 2024.
Jokowi juga menjadi arsitek terbentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang membuat bobot kekuasaan begitu bengkak dalam kendalinya. Dinamika dalam Pilkada Jakarta membuktikan bagaimana KIM dengan skenario busuknya mencegah Anies Baswedan untuk maju dalam kontestasi dengan cara mengiming-imingi PKS kursi calon wakil gubernur mendampingi Ridwan Kamil.
Bengkaknya koalisi KIM membuat PDIP ditinggal sendirian dan tak bisa mencalonkan gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Jakarta. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang diperbolehkannya suatu partai politik mencalonkan kepala daerah dengan syarat minimal 7,5 persen suara sedikit memberi angin segar bagi PDIP dan demokrasi dalam kontestasi.
Akan tetapi, ternyata skenario gila rezim dan partai koalisinya tak berhenti. Segera diadakan rapat Badan Legislatif di DPR untuk tidak mengindahkan hasil putusan MK. Jokowi, dibantu partai koalisi yang dikendalikannya, sekali lagi hendak membawa demokrasi Indonesia pada kehancuran tak terperikan. Ketika manuver Badan Legislatif dirasa gagal, Jokowi masih tak menyerah dengan memasukkan orang dekatnya di Istana, Pramono Anung, sebagai calon gubernur Jakarta yang diusung PDIP.
Baca juga:
Seperti Napoleon III dan Hitler, Jokowi yang dulu dipilih secara demokratis dalam iklim politik yang inklusif, kini menjadi penghancur nyata demokrasi. Di antara ketiganya, Jokowi adalah yang paling hipokrit karena selalu memajang diri seakan-akan ia adalah seorang demokrat sejati yang menghargai nilai-nilai demokrasi. Ia adalah pecandu kekuasaan. Ya, kekuasaan itu selalu candu, terutama bagi orang-orang yang serakah dan tak tahu malu.
Editor: Emma Amelia