satir adalah humor | romuh halada ritas

Kata Asu di Atas Kata Negara dan Puisi Lainnya

Muhammad Syahroni

1 min read

KATA ASU DI ATAS KATA NEGARA

Diam-diam buku menyembunyikan kata asu
di dalam tubuhnya yang banyak
mengandung kata-kata.
Kata asu ini tak pernah berdiam diri
di satu halaman tertentu.
Sering lompat ke halaman ini
terjun ke halaman itu
pulas tidur di lebar ini
dan kadang-kadang
menggigit kata-kata lainnya
yang dianggapnya nakal dan menyebalkan.

Jika saya pada suatu waktu
membaca sebuah buku
dan menemukan kata asu
sedang duduk-duduk manis
di atas kata negara,
saya akan sedikit bertanya:
“Kau ini asu atau anjing lucu
yang diam-diam seperti bapakmu;
menggigit tuannya?”

Dengan petantang-petenteng dan enteng,
kata asu rupanya menjawab
pertanyaan yang kuajukan:
“Mau anjing atau asu, aku tetap anak bapakku.”

Aku terbelalak, buku kesukaanku
telah berubah jadi horor penuh teror.

DONGENG TIDUR

Sebelum tidur tiba,
kantukmu membacakan sebuah dongeng tidur
kepadamu agar kau bisa tidur nyenyak
dan menemukan di ujung tidur sana
ada mimpi yang tak banyak.

“Tidur adalah pulang ke kampung sepi
dari riuh tubuhmu,” kata kantuk mengecup matamu.

Tubuhku kota macet penuh polusi,
jalan yang pegal-pegal menampung kendaraan.

“Tidur adalah rumah mimpi yang kenyal
dan kental menghidupi umurmu,”
kata kantuk mengecup keningmu.

Umurku kemacetan yang linu
menghitung waktu,
jeda antara tetas dan tiada.

“Tidur adalah terbebas dari tuduhan
dan tuntutan negara,” kata kantuk
mengelus rambutmu.

Negaraku pulas tertidur,
sedang aku sengsara menyulam nasib
di atas tubuh agama.

“Tidur adalah membiarkan dirimu
menjadi milik bukan siapa-siapa,”
kata kantuk yang perlahan mulai mengantuk.

Bahkan tidurku diganggu negaraku.

Kantuk tertidur
membacakan dongeng tidur,
sementara kau masih terang menyala
memikirkan nasib negara
yang entah akan bagaimana.
Aku dan negara sama kacau riuhnya.

KEMACETAN

Ada banyak kemacetan di dunia ini.
Terutama jalan yang sumuk
menggendong kau dan kendaraanmu.
Bukan, bukan mobil atau motor,
becak atau sepeda,
tapi tubuhmu yang gempal
dengan kemacetannya.
Kemacetan di tubuhmu
yang bikin sumuk.

Tiba-tiba hujan bersambang
menjenguk jalan yang kelelahan,
“Apa kabar, Jalan?”
tanya hujan kelelahan
sebab dalam perjalanan ada kemacetan.

“Ada aduh yang tak berkesudahan
di bibirku. Retak dan pecah-pecah
mencungkil satu per satu kerikil tubuhku,”
kata jalan mengingat kembali
kerikil kesukaannya yang terpelanting
jauh ke suatu halaman.

“Bisakah kau menolongku
mengembalikan kerikil itu di tempatnya?”
pinta jalan.

Hujan menggeleng lalu berangsur reda,
jalan makin menjerit diterjang dera.
Kemacetan tumbuh semakin liar,
jalan menjadi gila.

Oleh sebabnya, jalan itu kini entah
mengarah ke arah tak tentu.

DEBU JALAN

“Ada gumpalan rindu yang mengganggu
di permukaan aspalku.
Menyebar dan pecah-pecah,
merembes masuk ke pori-poriku,”
kata jalanan, mengenang
debu yang dulu tertiup jauh ke tepian.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Muhammad Syahroni
Muhammad Syahroni satir adalah humor | romuh halada ritas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email