Bapakmu akan pulang. Hari ini perayaan upacara tujuh bulananmu, Nak. Kemarin Ibu sudah pergi ke pasar membeli bahan-bahan untuk keperluan acara tujuh bulananmu. Kata orang tua-orang tua dulu, sebaiknya si jabang bayi sejak masih berada di rahim ibunya harus dikenalkan dengan kondisi hidup di dunia. Upacara tujuh bulananmu bukan sekadar memenuhi kewajibanku sebagai orangtua. Lebih dari itu, ada pengharapan besar di sana. Supaya kelahiranmu nanti lancar, mudah, dan menjadi berkah. Bukan menjadi penyebab bertambahnya masalah di keluarga dan lingkungan kita.
Di dapur, Bude Lastri, Bude Parni, dan Bude Sadiyem sedang memasak. Ibu menuruti saran mereka bertiga. Budhe Lastri bilang, setidaknya ada telur utuh. Terserah mau dimasak apa yang penting ada telur utuh. Mau dimasak balado, bumbu Bali, atau direbus tanpa bumbu, semua boleh. Kata Bude Lastri, telur itu perlambang cikal bakal kehidupan baru. Ibu maunya telur ayam kampung, tapi kata Bude Lastri harganya lebih mahal dari telur ayam pedaging.
Lain lagi saran Bude Parni. Budhe Parni menyarankan ada jajan pasar yang lembek. Katanya, pokoknya makanan yang lembek atau lembut. Yang gampang belinya kata Bude Parni, beli klepon saja. Bude Parni punya langganan penjual klepon di pasar. Ibu mampir ke sana. Untungnya persediaannya masih banyak. Jadi ibu beli semua kleponnya. Penjualnya bisa mengerti. Penjualnya juga bilang, “oh, untuk tujuh bulanan? Iya biasanya pada pesen klepon di sini. Itu, biar besok proses persalinannya lancar penuh kelembutan. Selembut klepon kalau dimasukkan ke mulut.”
Semuanya Ibu turuti karena baru pertama kali ini Ibu mengalami.
Acaranya menunggu bapakmu pulang. Katanya sebelum magrib sudah sampai. Syukur sebelum ashar sudah sampai. Kata Bude Sadiyem, kalau acaranya dimulai malam takutnya nanti banyak makanan yang basi. Seperti gudhangan ini. Makanan ini paling lama bertahan sekitar delapan jam. Kalau masaknya pagi, paling tidak siang harus dikonsumsi. Kalau masaknya siang, malam nanti rasanya sudah berubah. Soalnya memakai parutan kelapa. Meski parutan kelapa dan sayurannya sudah direbus terlebih dahulu, tapi ya tetap saja lebih baik dimakan ketika masih hangat. Bude Sadiyem ini lebih terbuka orangnya. Tidak terlalu terpaku dengan satu pakem saja soal upacara tujuh bulanan. Karena setiap daerah punya ciri khas sendiri. Itu berarti aturannya tidak baku. Mau masak apa saja yang penting layak makan. Kata Bude kalau mau memberi ya berikan yang terbaik.
Untungnya kita punya tetangga sebaik mereka. Tadinya Mbah Nah mau membantu juga. Tapi karena kondisi kesehatannya sedang menurun, Mbah Nah hanya duduk-duduk saja sambil wiridan menggunakan biji-biji tasbih di beranda rumah. Mbah Nah ini yang sering mengelus-elus perut Ibu sambil wiridan. Rasanya Ibu tenang kalau perut Ibu sudah dielus-elus sama Mbah Nah. Kata Mbah Nah, raut muka Ibu berubah sejak hamil. Seperti orang yang cemas. Terlalu khawatir terhadap sesuatu. Mbah Nah bilang, kalau sedang mengandung, pikiran dan hati tetap harus dijaga apa pun kondisi Ibu. Karena itu akan berpengaruh juga terhadap kondisimu, Nak. Mungkin ini karena yang pertama kalinya. Ditambah lagi Ibu jauh dari bapakmu. Wajar kalau Ibu seperti orang kebingungan.
Untungnya bapakmu kemarin memberi kabar kalau hari ini dia akan pulang. Ibu sedikit tenang. Bapakmu sudah pergi cukup lama. Sewaktu upacara empat bulanan, bapakmu pulang tapi hanya sebentar. Pagi datang, siang harus segera pergi lagi. Makanya, acaranya dulu dimajukan. Yang semula akan dilaksanakan sore hari, dengan terpaksa dimulai siang hari. Untungnya para tetangga bisa memaklumi. Karena orang-orang sini tidak banyak juga yang melaksanakan ritual empat bulanan untuk jabang bayi mereka.
Katanya yang penting pas tujuh bulan. Orang sini bilang mitoni yang berasal dari kata pitu. Pitu artinya tujuh. Kenapa diambil angka pitu atau tujuh, supaya nanti datang pitulungan yang artinya pertolongan. Baik dari langit maupun dari bumi. Termasuk dari tetangga kanan dan kiri. Maka dari itu, seburuk apa pun kelakukan kita, tetap harus diusahakan untuk berbuat baik kepada para tetangga.
Begitu acara empat bulanan selesai bapakmu pergi lagi. Pamit sama Ibu dan bilang kalau tujuh bulanan, Bapak pasti pulang. Tak banyak barang yang dibawanya. Hanya lima pasang baju ganti, sama sedikit nasi dan lauk sisa masakan suguhan acara empat bulanan untuk bekal di jalan.
Ini Ibu baru saja selesai merebus air untuk membuat teh. Beberapa bungkus rokok juga sudah Ibu siapkan. Tinggal tikar-tikar saja yang belum digelar. Belum diambil. Masih berada di gudang di sebelah pos kamling di perempatan jalan sana. Katanya agak siang nanti mau diantar oleh salah satu pemuda di sini. Mungkin Mas Ismail. Anaknya Bude Sadiyem yang baru saja menjadi ketua karang taruna yang baru. Mas Mail, begitu panggilannya, dipilih sebagai ketua karang taruna karena dia memiliki rasa sosial yang cukup tinggi. Ulet dan mudah bergaul juga. Selain itu di kampusnya, katanya Mas Mail adalah ketua BEM. Tentu tidak usah lagi diragukan lagi kemampuannya soal kepemimpinan.
Ibu bertemu bapakmu dulu juga di organisasi kampus. Ibu terkesima dengan sosok bapakmu. Wajahnya tampan, jalannya tegak, penuh wibawa, tak banyak bicara, cerdas pula. Bapakmu salah satu motor penggerak dunia aktivis kampus. Seperti Mas Mail itu. Bapakmu orator sekaligus negosiator yang handal, Nak. Hampir semua aksi yang bapakmu pimpin tidak pernah ada yang berakhir ricuh. Semuanya berjalan tertib. Bahkan sangat tertib. Tidak ada sampah berserakan setelah aksi. Tidak ada bekas pembakaran ban. Paling sekadar saling dorong antara demonstran dan petugas. Itu pun tidak berlangsung lama. Begitu bapakmu memegang komando, semuanya berlangsung damai.
Begitu lulus, bapakmu tidak lama menganggur. Banyak perusahaan yang mencarinya. Dari sekian banyak perusahaan yang memberikan tawaran, bapakmu memilih bekerja di perusahaan yang dimiliki oleh salah satu pendiri partai politik terbesar di negeri ini. Kata bapakmu, siapa tahu karirnya akan cepat melesat. Seolah bapakmu sudah memiliki perhitungan yang sangat akurat, bapakmu dengan rasa optimis bergabung di perusahaan itu. Dan benar, selama dua tahun bekerja, bapakmu sudah terlibat di dalam pertemuan-pertemuan penting dengan pemilik perusahaan tersebut. Melancong ke luar negeri sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Kabar terakhir dari bapakmu, ada tawaran untuk beberapa bulan tinggal di China. Ibu sendiri tidak tahu apakah bapakmu mengambil tawaran tersebut.
Sekarang ibu mau mengambil ponsel dulu. Siapa tahu bapakmu mengirim pesan atau melakukan panggilan. Bapakmu orangnya memang sedikit pendiam. Ibu dan Bapak jarang saling berkirim kabar. Kata bapakmu kalau bukan hal yang sangat penting tidak usah sering-sering menelepon. Bicara seperlunya saja. Setelah menikah bapakmu tidak banyak berubah. Kecuali perutnya yang mulai buncit. Seperti sedang balapan membesarkan perut dengan Ibu.
Hari sudah hampir zuhur. Bapakmu seharusnya sedang dalam perjalanan menuju rumah. Tetapi belum ada kabar juga. Mungkin sulit sinyal. Atau mungkin baterai ponselnya sedang kehabisan daya. Mbah Nah sudah berkali-kali menanyakan kapan bapakmu pulang. Ibu bilang paling sebentar lagi. Sambil menunggu bapakmu pulang, Mbah Nah lagi-lagi mengelus-elus perut Ibu. Mbah Nah seperti sedang berbicara denganmu. Kata mbah Nah, besok kalau besar jangan nakal, harus nurut sama orangtua, tidak membantah, dan satu lagi harus sering pergi ke musola. Kata Mbah Nah, percuma pintar kalau tidak mengerti ilmu agama. Kamu sudah dianggap cucu sendiri sama Mbah Nah.
Bapak dan Ibu sangat bersyukur atas kehadiranmu di tengah-tengah kami. Setelah empat tahun mengupayakan, akhirnya Ibu bisa mengandungmu. Dan sekarang, tidak terasa usiamu di kandungan Ibu sudah masuk bulan ke tujuh.
Sebentar, ini ada pesan masuk dari bapakmu.
“Aku sudah di dekat rumah. Kabari aku kalau mobil sedan hitam di depan rumah Bude Parni itu sudah pergi.”
***
Editor: Ghufroni An’ars