Mimpi Buruk dan Puisi Lainnya

Imam Fawaid

1 min read

Mimpi Buruk

Aku menjerit dalam fragmen-fragmen peristiwa yang tercerai-berai
Betapa mengerikan dunia yang tak mengenal logika dan kronologi
Detik kedua aku di sini,
detik yang entah aku tak di mana-mana

Waktu menyerupai benang kusut dalam kaleng biskuit di laci nenek
Aku menyelinap, aku mengendap-endap,
dan hanya kutemukan kekecewaan
Sementara ruang adalah lubang jarum yang senantiasa menghindar
Di dunia yang melipat waktu dan ruang seperti celana,
tidak ada yang pasti selain kesedihan

Konon, mimpi laksana jendela alam bawah sadar
Dan rasa, kau tahu
adalah bahasa ibu yang lebih purba daripada wicara
Bagian lain diriku memberiku isyarat
dalam bahasa rasa,
bagai Tuhan menunjukkan takdir manusia dalam perut Ibu;

Aku terbangun—ataukah terlahir—menjerit
dalam kecemasan, aku tak mengingat apapun.

Arah Zaman Baru

Hari ke hari kian runyam
di suatu negeri
pemuka agama menjelma benalu
demi melayani oligarki, hukum dikebiri
nepotisme dirayakan tanpa malu-malu

Di zaman baru yang salah arah
Intelektual merevisi, merekayasa sejarah
Pemilik modal kian leluasa menjarah
Kaum marginal menangis darah

Komodifikasi Perhatian

Layar komputer memancarkan cahaya biru
Ponsel pintar berdering cemburu
Televisi tak berhenti merayu
Semua berebut perhatianku

Aku terjerat sistem yang dikendalikan pemilik modal
Jalanan sesak dengan iklan yang dirancang merebut atensi
Di dunia yang merekayasa segala atas nama kapital,
kebebasan hanyalah ilusi

Memori Masa Kecil

Pada suatu sore di hari Rabu
Ayah membelikanku mainan baru
mobil-mobilan dengan kerlap-kerlip di atasnya
hatiku senang berbunga-bunga

Di pekarangan rumah
Aku memainkan remote control dengan lincah
mobilku meraung-raung, meliuk-liuk dengan gagah
sebelum seorang raksasa menginjaknya tanpa rasa bersalah

Aku menangis, ia murka
‘‘Anak laki tak boleh cengeng,’’ katanya

Aku protes, ia menghardik.

Dalam hati, aku bertanya, ‘‘beginikah rupa manusia dewasa tak terdidik?’’

Bulan Sake’ 

Tatkala bulan nyaris habis dimakan siluman
Ibu, nenek, dan semua orang menabuh kentungan
Kami berteriak membangunkan rumah dan pepohonan
agar bulan selamat dari terkaman siluman

Aku melihat bulan semakin merah
Tubuhnya terpenggal, cahayanya bersemburat darah
Malam bagai sejarah kelam yang tak diajarkan di sekolah
tentang orang-orang tak berdosa, korban kebencian terhadap partai merah

Bulan pun habis tiada sisa
Dan malam menjadi gelap gulita

*****

Editor: Moch Aldy MA

Imam Fawaid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email