Kepergiannya begitu menyakitkan. Tanpa perlu penghakiman lebih, akupun menyadari ada kesahalanku di sana. Perpisahan ini begitu mendadak. Dengan skenario terburuk yang tak pernah aku bayangkan. Pertengkaran kami tiga bulan yang lalu, belum menemukan ruang maaf satu sama lain. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi dari rumah. Mencari jeda agar bisa saling introspeksi.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Ada perasaan lega, barangkali—menang, yang mengelus egoku sebagai seorang perempuan. Perempuan harus bisa membela dirinya. Apalagi jika suami lalai akan perannya, sekaligus berkhianat. Aku tak mau bertemu dengannya sampai ia benar-benar memperbaiki semuanya.
Seminggu, dua minggu, rumah ini terasa damai. Tak ada jerit pertengkaran, tak ada tangisan, tak ada ujaran kebencian. Semua terasa pas. Sudah seharusnya aku pisah sejak lama. Kadang aku bertanya, mengapa Tuhan memberikan jodoh jika pada akhirnya harus berpisah?
Nala tak pernah bertanya ke mana Papanya pergi. Ia cukup memahami untuk tak bertanya lebih. Melihat kedua mataku yang terus-terusan sembab setiap malam, membuatnya bersikap lebih manis. Anak usia tujuh tahun itu berusaha memahami perasaan Mamanya.
Pertengkaran kami bermula hanya karena masalah sepele. Gawai yang biasanya tak pernah ia kunci, kini terkunci rapat oleh sebuah kata sandi. Sepele, tapi perkara ini merembet ke mana-mana. Uang bulanan yang terlambat dikirim, tabungan sekolah Nala berkurang drastis, cicilan rumah tidak dibayarkan, hingga ia selalu pulang larut malam.
Aku tidak mempermasalahkan aliran uang yang tersendat. Sebab aku juga bekerja, masih bisa menyisihkan gajiku untuk keperluan keluarga. Tapi, masalah semakin pelik tatkala kepulangannya yang larut menjadi ajang perdebatan, kehangatan pelukan melebur bersama dinginnya malam, setiap kalimat yang diucapkan adalah rententan kebohongan. Kebersamaan kami bukan lagi berlandaskan kasih sayang, hanya sebatas menjalankan peran.
Kepergiannya adalah keputusan terbaik sekaligus terburuk. Terbaik karena aku akhirnya tahu ada orang lain yang mengisi hatinya. Dan ia sudah tak menginginkanku sejak lama. Alasannya klise, aku susah diatur—terlalu mandiri. Kulihat perempuan baru pilihannya, biasa saja. Tapi sikapnya yang manut membuat ia berkali-kali lipat lebih baik daripada aku.
Terburuk karena perpisahan ini tak hanya sekedar pisah rumah, tetapi perpisahan selamanya. Di apartemen yang ia beli untuk tinggal bersama perempuan itu, ia meregang nyawa. Tak ada siapa-siapa, entah ke mana perempuan pujaannya itu pergi. Tidak ada yang tahu alasan pasti kepergiannya.
Meskipun ia telah bersama orang lain, tetap saja aku yang dihubungi pihak berwajib. Hanya karena status kami masih sebagai suami-istri. Tangisku pecah melihat ia terbujur kaku. Seberapapun dalam kebencianku, pernah tertanam perasaan cinta di sana.
Nala menjerit ketika melihat Papanya pergi untuk selamanya. Ia memelukku erat dengan air mata yang bersimbah deras. Hatiku hancur, menyesali beberapa bulan belakangan ketika kami saling bertengkar. Ada setitik penyesalan dalam diriku, mengapa aku tak membujuknya kembali ke rumah. Seandainya kami bicara baik-baik, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Perasaan bersalahku menggunung ketika mendengar bisikan para pelayat yang mengatakan aku perempuan sulit diatur. Pantas suami pergi bersama perempuan lain, istrinya tak pernah melayani. Mereka dengan tega memberikan penghakiman tanpa tahu duduk perkara sebenarnya. Aku adalah korban tapi seolah akulah pelaku. Semua tuduhan itu aku telan bulat-bulat. Jangankan memberi pembelaan, untuk menopang tubuhku saja aku tak kuat.
Beberapa kali aku pingsan, menangis tiada henti. Itu saja masih dianggap akting, pura-pura sedih ketika suaminya pergi. Sahabatku datang berusaha menghiburku. Tapi kalimat penghiburannya berlalu begitu saja karena kepalaku bising oleh kalimat-kalimat kebencian yang mengarah kepadaku.
***
Para pelayat terus berdatangan. Menanyakan hal yang sama, bagaimana kronologi ia meninggal. Seperti kaset rusak, aku menjawab terbata-bata. Ada rasa sesak setiap kali mengulang cerita tersebut. Perasaan bersalah menghantuiku, membuatku merasa tak layak melanjutkan hidup.
Beberapa dari mereka menyampaikan belasungkawa, aku tak peduli lagi mana yang sungguh-sungguh dan mana yang pura-pura. Aku disibukkan dengan skenario seandainya yang bercokol dalam kepalaku. Seandainya aku mendatangi apartemennya minggu lalu, seandainya aku bisa lebih bersabar, seandainya aku lebih lembut kepadanya, seandainya aku tidak terlarut dalam pekerjaan, seandainya… seandainya… semua terasa sia-sia.
***
Duka ini membawa aku pada penyesalan terbesar. Meski ia telah pergi, namun kenangan-kenangan bersamanya abadi dalam ruang waktu yang pernah kami lewati. Setiap sudut rumah menjadi saksi bagaimana dulu kami tertawa bersama, membangun mimpi-mimpi. Semua terasa kosong ketika ia benar-benar pergi.
“Biarlah cerita kebaikan tentangnya abadi. Biarlah aku menjadi pihak yang bersalah, jika dengan begitu ia pergi dengan tenang,” kataku kepada Andin, sahabatku.
“Jangan terlalu menyalahkan dirimu, Nan. Tidak ada yang tahu akhirnya seperti ini.” Andin berusaha menghiburku.
“Seandainya.. Seandainya..” Aku terisak, tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Tidak ada seandainya. Ingat Nala, ingat hidupmu. Kalian harus terus melanjutkan hidup, bagaimanapun kondisinya. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang orang lain pikirkan tentangmu. Besok, lusa, seminggu ke depan, sebulan kemudian, orang sudah sibuk dengan cerita lain yang lebih menarik. Dan kamu terus terpuruk menyalahkan dirimu.”
Aku terdiam. Meresapi apa yang barusan Andin ucapkan kepadaku.
“Nan, akhiri perjalanan dukamu dengan memaafkan.”
Maaf. Satu kata yang belum bisa aku lakukan. Bahkan ketika jasadnya sudah tak bisa kulihat lagi.
*****
Editor: Moch Aldy MA
selalu bagus ceritanya, nunggu yang selanjutnyaaa 🔥🥰