Di Pesta yang Biasa dan Puisi Lainnya

salman aristo

2 min read

Di Tengah Uluru Sepi

Kaset tua memutar gema,
sunyi membelai seperti bayang air.
Yang hilang kembali tanpa tubuh,
berdiri di ambang senja yang rumpang.

Langit memeluk batu dan cahaya,
pasir merah menelan jejak samar.
Uluru melarutkan mimpi di alirannya,
janji tersangkut di ingatan memar.

Ada badai yang abadi,
bersarang di sela retak kenangan.
Di balik teduh,
isak merekah seperti luka basah.

Aku bertanya pada hujan yang berhenti,
mengapa ia tak lagi menyentuh.
Namun jawabnya adalah diam:
suaranya kini menyimpan hidup di dadaku.

(Maret ’05 – Januari ‘25)

*kelar nonton ulang Crying Out Love in the Center of the World

Di Pesta yang Biasa

Di pesta, lampu menyalakan wajah-wajah lelah,
Seorang lelaki berdansa dengan kesepiannya.
Gelas-gelas tak bicara, musik menua,
Dan waktu duduk mengunyah dosa-dosa kecil.

Seseorang memungut patah hati di lantai,
Seperti daun gugur yang ragu untuk pergi.
“Aku ini tak banyak,” katanya,
“Tapi layak untuk tidak pulang sendiri.”

Malam itu, janji tak dibuat dari emas,
Hanya kalimat sederhana di ujung meja:
“Maukah kau jadi alasan aku tertawa?”
Dan dunia merangkul mereka dengan pelan.

Pagi membakar gerlap pesta,
Tapi cinta tak memerlukan lampu.
Ia menyala dalam kekurangan,
Dan berbisik: kita ini cukup.

(April ’05)

*kelar nonton Marty

Sabda Pasir

Bulan kapak gurun berpendar
Memantulkan iman-iman gemetar
Menanti gaib yang berjanji besar
Air-air yang diisap dari nyawa
Menyiram tandus nan bergema
Tentang juru penyembuh duka-dosa
Ramalan jadi harapan
Doa-doa berbelati dan tajam
Niat baik yang bertabir dendam
Gadis bermata jeli pun berpaling
Dari cinta yang bersuling ambisi kuasa
Tatapnya sudah jauh, perang akan belah
Di masir pasir yang coba bersabda

(Maret ’24)

*kelar nonton Dune Part Two

Nyawa Logam

Di pulau yang tak punya nama,
sinar pagi menggambar garis-garis logam,
angin melantun tanya pada tubuh keras itu:
apakah ia tahu bagaimana bertahan?

Di sungai, arus membawa bulu kecil
yang tersangkut di mata yang dingin tapi iba.
Ia belajar, mungkin cinta adalah
keberanian memberi napas pada sayap yang kalah.

Hutan berbisik: kau tak punya akar,
kau cuma besi, tak paham musim gugur.
Tapi tangan-tangan yang kaku itu,
sabar menanam rumah di hati yang liar.

Langit retak, logam berdetak,
keheningan tak lagi asing baginya.
Ternyata, ia bukan hanya mesin,
tapi nyawa yang lahir dari luka-luka bumi.

(Oktober ’24)

*kelar nonton The Wild Robot

Di Lorong Tanpa Suara

Aku dengar jerit itu, sunyi,
memukul dinding-dinding tua,
di mana cahaya merangkak sembunyi,
bersama asa yang hampir tiada.

Kau tatap dunia yang tak peduli,
tanpa surat, tanpa nama,
di lorong ini, siapa berhak berdiri?
Hidup hanya tarian di gerbang neraka.

Darah di kuku, napas tertahan,
dua tubuh berkukuh dari robeknya waktu.
Takdir itu, pahit dan perlahan,
menyatu di suara patah, tak tentu.

Langit hitam, kelam mencangkung,
kita bertahan di bawah amuk bumi.
Sepi adalah kawan, harapan berisyarat lirih:
“Jangan lupa, kau hidup meski sendiri.”

(November ’24)

kelar nonton Abang Adik

Di Balik Doa

Di bawah kubah doa yang tak bertepi,
remang menggeliat di dinding marmer lama,
para penjaga rahasia bersenandung sunyi,
menimbang surga dalam kilatan mata.

Hening itu memanggul seribu bisikan,
manusia dan dosa berdansa dalam bayang salib.
Siapa yang berhak mengeja cahaya Ilahi
di tengah gelap yang menempel di nadi?

Langit melipat waktu di balik sutra merah,
nama-nama diserahkan kepada api tungku.
Di sela doa, mereka merajut kekuasaan
seperti tangan yang gemetar memintal benang dosa.

Tapi di antara ledakan tembok tua,
tubuh berserah pada iman,
bahwa Tuhan mungkin telah berbisik
di lekuk-lekuk yang tak bisa ditekuri mata.

(Desember ’24)

*kelar nonton Conclave

Musim Luruh

Angin menjerit di padang sepi,
aku mendekap mikrofon seperti memeluk sunyi.
Desau dedaunan mencatatkan sajak,
tapi tak satu pun berbicara tentang kita yang retak.

Luka di jarimu mengangin-anginkan duka,
seiris kertas menggiris lebih dari darah.
Kau tertawa kecil, sementara aku mengucil,
menyadari cinta hanyalah gema yang terpencil.

Di studio, suara itu tersiar abadi,
tapi kita tak saling mendengar.
Langkahmu seperti hujan yang menjauh,
menyisakan genangan di hatiku yang rapuh.

Hari-hari pecah di dada,
serupa kaca yang merintih.
Dingin gigil merayap jernih,
aku tinggal debu yang tak lagi kau pandangi.

Musim semi memeluk daun yang runtuh,
aku tak lagi menunggu,
menggenggam gema tawa yang tak pernah utuh,
sementara kau telah menjadi layang di langit biru.

(Januari ’25)

*kelar nonton ulang One Fine Spring Day

Di Tepi Waktu

Debur laut menyungkit bisik,
membawa dongeng dari tanah jauh,
di mana cahaya senja tak pernah pudar,
di mana benih meretas batas.

Langkah-langkah kecil menatah pasir,
menjaga jejak yang hampir hilang,
mengingat setiap doa yang gugur,
di pangkal hari, di tepi perpisahan.

Diam itu suara paling jujur,
tentang ombak yang tak pernah tidur,
tentang akar yang tak ingin hancur,
meski debu memanggil dengan hambur.

Kita, selalu kita,
menganyam waktu menjadi jaring,
menangkap kisah yang melintas,
lalu melepaskannya ke pelukan angin.

(Januari ’25)

*kelar nonton ulang The Daughters of The Dust

*****

Editor: Moch Aldy MA

salman aristo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email